2.1 Kepailitan Perusahaan
Kepailitan perusahaan merupakan suatu fenomena yang sering terjadi disekitar lingkungan kita dan hukum perseroan yang sangat ditakuti, baik oleh pemilik perusahaan atau oleh manajemennya. Karena dengan kepilitan perusahaan, berarti perusahaan tersebut telah gagal dalam berbisnis atau setidaknya telah gagal dalam membayar hutang-hutangnya.
2.2 Pengertian dan Syarat-syarat Kepailitan
Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah “bangkrut” manakala perusahaan tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, daripada pihak kreditur ramai-ramai mengeroyok debitur dan saling berebutan harta debitur tersebut, hukum memandang perlu mengaturnya, sehingga hutang-hutang debitur dapat dibayar secara tertib dan adil.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepailitan adalah suatu sitaan umum yang dijatuhkan oleh pengadilan khusus, dengan permohonan khusus, atas seluruh aset debitur yang mempunyai lebih dari 1 (satu) hutang/kreditur dimana debitur dalam keadaan berhenti membayar hutang-hutangnya, sehingga debitur segera membayar hutang-hutangnya tersebut.
Agar seorang debitur dapat dinyatakan oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, maka berbagai persyaratan yuridis harus dipenuhi. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Debitur tersebut haruslah mempunyai lebih dari 1 hutang.
2. Minimal 1 hutang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.
3. Permohonan pailit dimintakan oleh pihak yang diberikan kewenangan untuk itu,yaitu pihak-pihak sebagai berikut:
4. Pihak debitur.
5. Pihak kreditur.
6. Pihak jaksa (untuk kepentingan umum).
7. Bank Indonesia, jika debiturnya adalah bank.
8. Bapepam, jika debiturnya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
9. Menteri Keuangan, jika debiturnya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dibidang kepentingan publik.
Setelah permohonan pailit dikabulkan oleh hakim, maka segera diangkat pihak-pihak sebagai berikut:
1. Panitia kreditur jika diperlukan.
2. Seorang atau lebih kurator.
3. Seorang hakim pengawas.
Kepailitan atas debitur tersebut baru akan berakhir manakala:
1. Setelah adanya perdamaian yang telah dihomologasikan.
2. Setelah insolvensi dan pembagian.
3. Atas saran kurator karena harta debitur tidak ada atau tidak cukup.
4. Dicabutnya kepailitan atas anjuran hakim pengawas.
5. Jika putusa pailit dibatalkan di tingkat kasasi atau peninjauan kembali.
6. Jika seluruh hutang di bayar lunas oleh debitur.
2.3 Prosedur Kepailitan
Prosedur untuk kepailitan adalah di pengadilan khusus, yaitu di Pengadilan Niaga dengan tata cara dan prosedur yang khusus pula. Tata cara berperkara dengan prosedur khusus tersebut pada prinsipnya menyimpang dari prosedur hukum acara yang umum. Akan tetapi jika tidak diatur secara khusus dalam hukum acara kepailitan tersebut, maka yang berlaku adalah hukum acara perdata yang umum.
Adapun yang merupakan kekhususan dari hukum acara kepailitan dibandingkan dengan hukum acara perdata yang umum adalah sebagai berikut:
1. Di tingkat pertama hanya pengadilan khusus yang berwenang, yaitu Pengadilan Niaga.
2. Adanya hakim-hakim khusus di Pengadilan Niaga.
3. Jangka waktu berperkara yang singkat dan tegas.
4. Prosedur perkara dan pembuktiannya simpel.
5. Tidak mengenal upaya banding, tetapi langsung kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
6. Adanya badan-badan khusus yang berhak mengajukan permohonan pailit untuk perusahaan tertentu.
7. Adanya lembaga hakim pengawas, panitia kreditur dan kurator.
8. Penangguhan hak eksekusi dari pemegang hak jaminan.
2.4 Konsekuensi Yuridis dari Kepailitan
Kepailitan membawa konsekuensi yuridis tertentu, baik terhadap kreditur maupun debitur. Di antara konsekuensi-konsekuensi yuridis tersebut yang terpenting adalah sebagai berikut:
1. Berlaku penangguhan eksekusi selama maksimum 90 hari.
2. Boleh dilakukan kompensasi antara hutang debitur dengan piutang debitur.
3. Kotrak timbal balik boleh dilanjutkan.
4. Demi hukum berlaku sitaan umum atas seluruh harta debitur.
5. Kepailitan berlaku juga terhadap suami/istri.
6. Debitur atau direksi dari debitur kehilangan hak mengurus.
7. Perikatan setelah debitur pailit tidak dapat dibayar.
8. Gugatan hukum haruslah oleh atau terhadap kurator.
9. Semua perkara pengadilan ditangguhkan dan diambil alih oleh kurator.
10. Pelaksanaan putusan hakim dihentikan.
11. Semua penyitaan dibatalkan.
12. Putusan pailit dan hakim bersifat serta-merta.
13. Berlaku juga ketentuan pidana bagi debitur.
2.5 Tentang Kurator
Korator adalah pihak yang memiliki peran sentral dalam suatu proses kepailitan. Setelah ditunjuk oleh pengadilan maka kuratorlah yang mengurus dan membereskan proses kepailitan sampai akhir. Jadi kurator hanya ada dalam proses kepailitan, sedangkan dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang semacam peran kurator dilaksanakan oleh pihak yang disebut dengan “pengurus” Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Kurator dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Balai Harta Peninggalan.
2. Kurator swasta, yang dapat berupa:
3. Akuntan Publik
Apabila para pihak tidak menunjuk kurator, maka Balai Harta Peninggalan bertindak menjadi kurator. Akan tetapi, jika kurator swasta yang dipilih, maka dia tidak boleh mempunyai konflik kepentingan dengan kreditur maupun debitur.
Disamping kurator (kurator tetap), terdapat juga apa yang disebut dengan kurator sementara (interim receiver). Kurator sementara ini dapat diangkat (tetapi tidak wajib) dan penunjukkannya dilakukan sebelum putusan pailit dijatuhkan, dengan tujuan agar harta perusahaan yang akan pailit tersebut ada yang mengurusnya dan tidak disalahgunakan oleh pihak debitur. Setelah pailit, tidak diperlukan lagi kurator sementara dan posisinya digantikan oleh kurator tetap.
Kurator mempunyai tugas utama untuk membereskan harta pailit sampai tuntas, mulai dari menghitung kewajiban debitur pailit, membuat pengumuman dan pemberitahuan-pemberitahuan, menjual aset, dan membagi-bagikannya kepada kreditur yang berhak.
Kurator dapat melakukan hampir segala hal yang menyangkut dengan pemberesan perusahaan debitur, dengan atau tanpa persetujuan pihak tertentu. Memang dalam menjalankan tugasnya, pihak kurator adakalanya wajib memperoleh izin dari pihak tertentu, bergantung jenis tugas yang dilakukan oleh kurator, izin atau persetujuan tersebut adalah berupa izin atau persetujuan dari hakim pengawas atau dari majelis hakim ataupun kadang-kadang diperlukan persetujuan dari panitia kreditur.
Di antara kewenangan yang penting dari kurator dalam membereskan harta pailit adalah sebagai berikut:
1. mengalihkan harta pailit sebelum pemberesan.
2. menjual barang-barang yang tidak diperlukan dalam melanjutkan usaha.
3. menjual harta pailit dalam pemberesan.
4. meminjam uang dari pihak ketiga.
5. membebankan hak jaminan atas harta pailit.
6. menghadap di muka pengadilan.
7. melanjutkan usaha debitur sebelum insolvensi.
8. melanjutkan usaha debitur setelah insolvensi.
Dalam melakukan pemberesan, salah satu pedoman yang harus selalu dipenuhi oleh kurator adalah prinsip menguangkan sedapat mungkin seluruh harta pailit atau yang dikenal dengan sebutan Cash is the King. Karena itu, menagih piutang dan menjual aset debitur adalah di antara tugas-tugas kurator yang sangat penting. Kurator berwenang menjual aset debitur dalam hal-hal sebagai berikut:
1. menjual aset debitur yang hasilnya akan diserahkan kepada pihak yang berwenang.
2. menjual aset untuk menutupi ongkos kepailitan.
3. menjual aset, karena menahan aset tersebut dapat mengakibatkan kerugian.
4. menjual barang jaminan hutang dalam masa penangguhan eksekusi jaminan hutang atau setelah masa penangguhan eksekusi jaminan hutang.
5. menjual aset yang tidak diperlukan untuk kelangsungan usaha.
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir. Dr., S.H., M.H., LL.M., Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Jono, Hukum Kepailitan, Jakarta : Sinar Grafika, 2008
Sari Ela Kartika dan Advendi Simangunsong, SH, MM. 2008, Hukum dalam Ekonomi, Jakarta, Grasindo
Sjahdeini, Sutan Remy. Prof.,Dr.,SH, Hukum Kepailitan Memahami Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 2009.
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
http://leninurmayanti04.wordpress.com/2014/04/06/kepailitan-dan-likuidasi perusahaan/
http://desarancawiru.blogspot.com/2014/01/makalah-kepailitan-disertai-contoh.html
http://madthomson.blogspot.com/2014/06/tugas-makalah-kepailitan-fakultas-hukum.html
http://www.hukumperseroanterbatas.com/2011/11/03/tahap-tahap-likuidasi-perseroan-terbatas/#more-36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar