Integritas Buruk Pilkada
Pemilu daerah (pilkada) telah dilaksanakan di 244 daerah di Indonesia selama 2010. Praktik memilih kepala daerah secara langsung itu sesungguhnya mulai diadopsi dalam sistem politik di Indonesia pada 2005. Pilkada dimaksudkan sebagai mekanisme warga negara untuk menentukan sendiri pemimpin yang dianggap lebih cakap, jujur, dan dapat dipercaya.
Dengan mekanisme dipilih secara langsung oleh warga, diharapkan kepala daerah yang memenangi pilkada akan lebih bertanggung jawab dan memihak kepentingan warga. Pilkada juga ditujukan sekaligus untuk mendekatkan jarak antara pemimpin dan warga sehingga pelayanan publik dapat disediakan dengan kualitas yang lebih baik.
Tapi, secara faktual, sulit melihat cita-cita itu hadir dalam realitas sosial-politik di tingkat lokal. Tujuan pilkada telah digerus oleh sebuah proses politik lokal yang kotor, penuh manipulasi, serta kental dengan berbagai praktik pelanggaran. Demokrasi lokal yang dipraktikkan dalam pilkada telah menjelma menjadi ajang transaksi politik belaka antara para kandidat dengan cukong yang membiayainya dan para pemilih.
Relasi yang terbangun antara pemilih dan kandidat tidak lebih layaknya penjual dengan pembeli di pasar. Penjual suara adalah pemilih, sedangkan pembelinya adalah kandidat. Yang bisa membeli dengan harga tertinggi hampir pasti akan menjadi pemenang. Dalam kondisi seperti itu, tujuan demokrasi elektoral telah dibajak hingga berhenti pada praktik yang prosedural belaka.
Mulai A hingga Z
Dari catatan pemantauan ICW di berbagai media massa maupun atas putusan sengketa pilkada yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010, ditemukan praktik pilkada yang kecurangannya bisa dikategorikan sistemik, masif, serta terstruktur.
Pernyataan itu juga sering digunakan majelis hakim MK untuk membatalkan hasil perhitungan suara dalam pilkada sekaligus meminta pilkada ulang sebagaimana yang baru terjadi di Kota Tangerang Selatan, Banten.
Atas berbagai praktik pelanggaran pilkada, kita bisa membaginya ke dalam beberapa kategori pelanggaran, baik yang masuk dalam ranah administrasi maupun pidana. Kecurangan yang paling banyak terjadi dalam pilkada adalah praktik yang biasa didefinisikan sebagai politik uang (money politics). Per definisi, politik uang bukan sekadar praktik membagi-bagikan uang cash kepada calon pemilih, melainkan juga bisa berbentuk pembagian barang atau menjanjikan sesuatu yang bisa diukur nilainya dengan uang saat kampanye pilkada, baik yang dilakukan sendiri oleh kandidat maupun tim suksesnya. Kurang lebih telah terjadi 1.517 praktik politik uang di berbagai daerah saat pilkada.
Pelanggaran lain yang bisa diamati secara kasatmata adalah penyalahgunaan fasilitas negara dan birokrasi untuk mendukung salah satu kandidat. Netralitas aparatur birokrasi, baik di level kepala daerah incumbent hingga perangkat RT/RW, sulit untuk ditegakkan dalam situasi Panwaslu yang kerap terkooptasi oleh kekuasaan lokal serta KPUD yang cenderung partisan.
Sudah menjadi pandangan yang jamak, dalam pilkada, kendaraan dinas digunakan salah satu kandidat, dana APBN/APBD disulap menjadi program-program terselubung dan populis oleh kepala daerah incumbent, gedung-gedung pemerintah dipakai untuk pertemuan tim sukses dengan kandidat, PNS dan pejabat daerah dimobilisasi, dan mengerahkan kekuatan untuk mendukung calon tertentu.
Jika loyalitas birokrasi tidak diperlihatkan secara nyata untuk mendukung calon tertentu, ancaman pemecatan sebagai PNS siap-siap dihadapi. Selama 2010, ICW setidaknya menemukan 504 pelanggaran semacam itu.
Integritas Pilkada Hilang
Pilkada yang penuh kecurangan, manipulatif, dan koruptif akhirnya akan menyisihkan prinsip integritas yang melekat pada sistem demokrasi. Etika dan moralitas politik dalam pilkada hampir tidak dijunjung sama sekali, baik dalam desain regulasi maupun dalam praktik demokrasinya.
Bagaimana mungkin seorang calon kepala daerah yang telah menjadi tersangka atau bahkan terdakwa korupsi bisa mengikuti kontestasi pilkada? Yang lebih tak masuk akal, banyak di antara mereka justru dipilih warganya dan menang dalam pilkada. Berdasar data per Desember 2010, sudah ada 10 kandidat yang memenangi kompetisi pilkada meski berstatus hukum sebagai tersangka dan terdakwa korupsi.
Serangan terhadap integritas pilkada (baca: demokrasi lokal) yang sedemikian kuat dan gencar telah membuat persepsi publik atas hak politiknya sebagai warga negara untuk menentukan calon pemimpinnya bergeser menjadi sebuah konsep yang transaksional belaka. Sepanjang pada satu hari yang teramat pendek calon pemilih bisa memperoleh harga yang pantas dari suara yang dimiliki, mereka tidak peduli kepala daerah yang menang dengan cara menyuap pemilih akan membawa derita dalam jangka panjang.
Lebih jauh dari itu, pemilih juga tidak peduli kepala daerah yang berkuasa menjadi pelaku korupsi. Atau, yang lebih mengenaskan, calon pemilih juga tidak ambil pusing jika calon kepala daerah yang mereka pilih sedang menjadi tersangka/terdakwa korupsi. Transformasi nilai etika politik yang penuh moralitas dan kesantunan pada level pemujaan terhadap para pelaku korupsi merupakan fase kegagalan yang paling tinggi dalam usaha membangun demokrasi yang sehat dan bermakna.
Dalam situasi demikian, harapan bahwa pilkada merupakan arena publik untuk memberikan penilaian yang bebas atas para calon pemimpinnya sekaligus memberikan hukuman yang berat bagi kepala daerah incumbent yang gagal dalam membangun daerahnya hampir mustahil terjadi. Pasca pilkada, ketika seluruh ritual politik uang dan segala bentuk korupsi pilkada selesai, semua akan kembali pada urusan masing-masing. Kepala daerah yang menang karena politik uang mendapatkan ruang yang teramat besar untuk mengelola sumber daya publik dengan cara sendiri.
Sementara itu, publik yang diwakili dan pernah memilihnya berada dalam ketidakberdayaan untuk menghentikan kesewenang-wenangan. Ingar-bingar pilkada sebagai pesta demokrasi rakyat berhenti setelah uang senilai puluhan hingga ratusan ribu diterima pemilih dan kepala daerah pemenang menikmati kekuasaannya. (*)
Dengan mekanisme dipilih secara langsung oleh warga, diharapkan kepala daerah yang memenangi pilkada akan lebih bertanggung jawab dan memihak kepentingan warga. Pilkada juga ditujukan sekaligus untuk mendekatkan jarak antara pemimpin dan warga sehingga pelayanan publik dapat disediakan dengan kualitas yang lebih baik.
Tapi, secara faktual, sulit melihat cita-cita itu hadir dalam realitas sosial-politik di tingkat lokal. Tujuan pilkada telah digerus oleh sebuah proses politik lokal yang kotor, penuh manipulasi, serta kental dengan berbagai praktik pelanggaran. Demokrasi lokal yang dipraktikkan dalam pilkada telah menjelma menjadi ajang transaksi politik belaka antara para kandidat dengan cukong yang membiayainya dan para pemilih.
Relasi yang terbangun antara pemilih dan kandidat tidak lebih layaknya penjual dengan pembeli di pasar. Penjual suara adalah pemilih, sedangkan pembelinya adalah kandidat. Yang bisa membeli dengan harga tertinggi hampir pasti akan menjadi pemenang. Dalam kondisi seperti itu, tujuan demokrasi elektoral telah dibajak hingga berhenti pada praktik yang prosedural belaka.
Mulai A hingga Z
Dari catatan pemantauan ICW di berbagai media massa maupun atas putusan sengketa pilkada yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010, ditemukan praktik pilkada yang kecurangannya bisa dikategorikan sistemik, masif, serta terstruktur.
Pernyataan itu juga sering digunakan majelis hakim MK untuk membatalkan hasil perhitungan suara dalam pilkada sekaligus meminta pilkada ulang sebagaimana yang baru terjadi di Kota Tangerang Selatan, Banten.
Atas berbagai praktik pelanggaran pilkada, kita bisa membaginya ke dalam beberapa kategori pelanggaran, baik yang masuk dalam ranah administrasi maupun pidana. Kecurangan yang paling banyak terjadi dalam pilkada adalah praktik yang biasa didefinisikan sebagai politik uang (money politics). Per definisi, politik uang bukan sekadar praktik membagi-bagikan uang cash kepada calon pemilih, melainkan juga bisa berbentuk pembagian barang atau menjanjikan sesuatu yang bisa diukur nilainya dengan uang saat kampanye pilkada, baik yang dilakukan sendiri oleh kandidat maupun tim suksesnya. Kurang lebih telah terjadi 1.517 praktik politik uang di berbagai daerah saat pilkada.
Pelanggaran lain yang bisa diamati secara kasatmata adalah penyalahgunaan fasilitas negara dan birokrasi untuk mendukung salah satu kandidat. Netralitas aparatur birokrasi, baik di level kepala daerah incumbent hingga perangkat RT/RW, sulit untuk ditegakkan dalam situasi Panwaslu yang kerap terkooptasi oleh kekuasaan lokal serta KPUD yang cenderung partisan.
Sudah menjadi pandangan yang jamak, dalam pilkada, kendaraan dinas digunakan salah satu kandidat, dana APBN/APBD disulap menjadi program-program terselubung dan populis oleh kepala daerah incumbent, gedung-gedung pemerintah dipakai untuk pertemuan tim sukses dengan kandidat, PNS dan pejabat daerah dimobilisasi, dan mengerahkan kekuatan untuk mendukung calon tertentu.
Jika loyalitas birokrasi tidak diperlihatkan secara nyata untuk mendukung calon tertentu, ancaman pemecatan sebagai PNS siap-siap dihadapi. Selama 2010, ICW setidaknya menemukan 504 pelanggaran semacam itu.
Integritas Pilkada Hilang
Pilkada yang penuh kecurangan, manipulatif, dan koruptif akhirnya akan menyisihkan prinsip integritas yang melekat pada sistem demokrasi. Etika dan moralitas politik dalam pilkada hampir tidak dijunjung sama sekali, baik dalam desain regulasi maupun dalam praktik demokrasinya.
Bagaimana mungkin seorang calon kepala daerah yang telah menjadi tersangka atau bahkan terdakwa korupsi bisa mengikuti kontestasi pilkada? Yang lebih tak masuk akal, banyak di antara mereka justru dipilih warganya dan menang dalam pilkada. Berdasar data per Desember 2010, sudah ada 10 kandidat yang memenangi kompetisi pilkada meski berstatus hukum sebagai tersangka dan terdakwa korupsi.
Serangan terhadap integritas pilkada (baca: demokrasi lokal) yang sedemikian kuat dan gencar telah membuat persepsi publik atas hak politiknya sebagai warga negara untuk menentukan calon pemimpinnya bergeser menjadi sebuah konsep yang transaksional belaka. Sepanjang pada satu hari yang teramat pendek calon pemilih bisa memperoleh harga yang pantas dari suara yang dimiliki, mereka tidak peduli kepala daerah yang menang dengan cara menyuap pemilih akan membawa derita dalam jangka panjang.
Lebih jauh dari itu, pemilih juga tidak peduli kepala daerah yang berkuasa menjadi pelaku korupsi. Atau, yang lebih mengenaskan, calon pemilih juga tidak ambil pusing jika calon kepala daerah yang mereka pilih sedang menjadi tersangka/terdakwa korupsi. Transformasi nilai etika politik yang penuh moralitas dan kesantunan pada level pemujaan terhadap para pelaku korupsi merupakan fase kegagalan yang paling tinggi dalam usaha membangun demokrasi yang sehat dan bermakna.
Dalam situasi demikian, harapan bahwa pilkada merupakan arena publik untuk memberikan penilaian yang bebas atas para calon pemimpinnya sekaligus memberikan hukuman yang berat bagi kepala daerah incumbent yang gagal dalam membangun daerahnya hampir mustahil terjadi. Pasca pilkada, ketika seluruh ritual politik uang dan segala bentuk korupsi pilkada selesai, semua akan kembali pada urusan masing-masing. Kepala daerah yang menang karena politik uang mendapatkan ruang yang teramat besar untuk mengelola sumber daya publik dengan cara sendiri.
Sementara itu, publik yang diwakili dan pernah memilihnya berada dalam ketidakberdayaan untuk menghentikan kesewenang-wenangan. Ingar-bingar pilkada sebagai pesta demokrasi rakyat berhenti setelah uang senilai puluhan hingga ratusan ribu diterima pemilih dan kepala daerah pemenang menikmati kekuasaannya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar