perbedaan Analytical Jurisprudence dan Sociological Jurisprudence
- Jelaskan perbedaan Analytical Jurisprudence dan Sociological Jurisprudence?
Analytical Jurisprudence
|
Sociological Jurisprudence
|
1.
|
Penjelasan :
Kemunculan teori hukum sejalan dengan pertumbuhan disiplin hukum pada paruh kedua Abad ke-19 setelah mendapat pengaruh pemikiran John Austin (1790–1859) dan Hans Kelsen. Sejak saat itu, disiplin hukum telah diperkaya dengan kajian-kajian teoretis yang disebut analytical jurisprudence. Ia memperkenalkan analisis konsep-konsep kunci hukum seperti hak, kewajiban, keabsahan, subjek hukum, status, tindak pidana, dan sumber hukum, dengan meninggalkan pendekatan yang biasa dilakukan seperti sosiologi dan sejarah. Analisis Austin dikenal sebagai pendekatan analitis (analytical approach), yakni menganalisi struktur formal hukum beserta konsep-konsepnya. Ajaran inilah yang kemudian pada tahun 1970 mengemuka kembali sebagai suatu bidang disiplin hukum baru, yang disebut teori hukum sebagai terjemahan dari istilah “jurisprudence” atau “Rechtstheorie.” Dalam hubungan hukum dan logika dibahas tentang argumentasi yuridis, penerapan logika deontik (logika yang bertalian dengan keniscayaan atau kewajiban), serta hubungan antara hukum dan bahasa.
Teori Analytical Jurisprudence dikenal juga dengan Positivisme Hukum yang bersifat formalistik artinya Hukum dan moral merupakan dua bidang terpisah dan harus dipisahkan. Menurut Salmond, Analytical Jurisprudence, yaitu : analisis dari prinsip-prinsip utama hukum tanpa memperhatikan aspek historis maupun aspek etisnya.
Analytical jurisprudence disebut juga Ilmu Hukum Dogmatik yang hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Jadi, kegunaan dari Ilmu Hukum Dogmatis ini tidak lebih hanya menelaah bangunan logis-rasional dari deretan pasal-pasal peraturan. Oleh karenanya, yang dalam praktik sangat bertumpu pada dimensi bentuk formal dan prosedural dalam berolah hukum untuk mencapai (aksiologi) kepastian. Yang benar dan adil adalah peraturan hukum itu sendiri. Ilmu hukum lebih dikenal dengan dogmatik hukum atau ilmu hukum dogmatik. Mengapa ilmu hukum disebut sebagai dogmatik hukum ialah oleh karena ilmu hukum mempelajari hukum positif, sedang hukum positif dianggap sebagai dogma, dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh dibuktikan lebih lanjut, tidak boleh diganggu-gugat. Bukan berarti bahwa hukum positif itu sama sekali tidak boleh diubah, akan tetapi kalau mau mengubah memerlukan prosedur dan makan biaya. Kecuali itu kata “dogmatis” digunakan untuk menunjukkan metode tertentu, yaitu metode sintetis.
Bruggink dalam bukunya yang telah diterjemahkan oleh Sidharta mengatakan bahwa Ilmu hukum dogmatis mencirikan penalaran hukum sebagai kegiatan berpikir monodisipliner, yaitu kajian norma-norma positif dalam sistem undangan. Kajian ini menghasilkan pola penalaran yang doktrinal-deduktif (closed logical system), tujuan penalaran hukum terhadap pencapaian nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan bukanlah tujuan yang difokuskan oleh ilmu hukum dogmatis (melainkan antara lain oleh filsafat hukum dan sosiologi hukum). Ia juga mengatakan, Penstudi hukum yang berposisi sebagai pengamat adalah mereka yang bukan berangkat dari disiplin hukum, sekaligus juga tidak menjadikan sistem hukum (suatu negara) sebagai dasar studi mereka. Mereka ini antara lain adalah para sejarahwan hukum, sosiolog hukum, antropolog hukum, psikolog hukum, dan ahli politik hukum. Sebaliknya, para penstudi yang berangkat dari disiplin hukum dan menjadikan system hukum sebagai dasar studi mereka adalah para pengemban hukum, baik yang teoretis maupun praktis. Dasar pembedaan keduanya terletak pada pandangan mereka terhadap sistem (norma) hukum positif. Sementara itu, pada posisi antara terletak para penstudi hukum yang menggunakan model penalaran Sociological Jurisprudence. Mereka berstatus partisipan sekaligus pengamat.
Aliran sosiologis dalam ilmu hukum berasal dari pemikiran orang Amerika bernama Roscoe Pound, dalam bahasa asalnya disebut the Sociological Jurisprudence adalah suatu aliran pemikiran dalam jurisprudence yang berkembang di Amerika Serikat sejak tahun 1930-an. Aliran dalam ilmu hukum tersebut disebut sociological karena dikembangkan dari pemikiran dasar seorang hakim bernama Oliver Wendel Holmes, perintis pemikiran realisme dalam ilmu hukum yang mengatakan bahwa sekalipun hukum itu memang benar merupakan sesuatu yang dihasilkan lewat proses-proses yang dapat dipertanggungjawabkan menurut imperative-imperatif logika, namun the life of law has not been logic, it is experience. Yang dimaksud dengan experience oleh Holmes adalah the sosial atau mungkin the socio psychological experience. Oleh karena itu dalam sociological jurisprudence, walaupun fokus kajian tetap pada persoalan kaidah positive berikut doktrin-doktrinnya yang logis untuk mengembangkan sistem normative hukum berikut prosedur-prosedur aplikasinya guna kepentingan praktik professional, namun faktor-faktor sosiologis secara realistis (walaupun tidak selalu harus secara normative-positif) senantiasa ikut diperhatikan dalam setiap kajian.
Sociological jurisprudence menurut Lily Rasjidi, yaitu :
- sociological jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang dari sosiologi.
- sociological jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat.
- sociological jurisprudence (yang dikemukakan oleh Pound) menitikberatkan pada hukum dan memandang masyarakat dalam hubungannya dengan hukum.
Menurut aliran sociological jurisprudence, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. aliran ini memisahkan secara tegas antara positivisme hukum (analytical jurisprudence). Menurut Eugen Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dgn kaidah-kaidah sosial lainnya. Roscoe Pound juga mengatakan, hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering).
Ilmu Hukum Non-dogmatik atau bisa juga disebut sociological jurisprudence tidak berhenti kepada menyibukkan diri dengan bangunan logis-rasional dari sebuah peraturan. Tujuan (aksiologi) yang ingin dicapai oleh Ilmu Hukum Non-Dogmatik adalah untuk mencari dan mencapai kebenaran hukum sebagai institusi kemanusian dan kemasyarakatan. Kebenaran hukum yang demikian itu jelas tidak dapat diperoleh jika hanya bertumpu pada peraturan hukum semata-mata. Bukankah hukum dihadirkan untuk manusia? Gagasan yang demikian ini jelas berbeda dari aliran hukum positif yang menggunakan sarana analytical jurisprudence yang bertolak dari premis peraturan dan logika.
- Jelaskan apa yang dimaksud dengan Keadilan menurut Hans Kelsen, Lon L. Fuller, Anthony D’amato dan H.L.A Hart?
- Keadilan menurut Hans Kelsen, yaitu : tidak ada kriteria yang obyektif tentang keadilan karena pernyataan benar atau tidak benar merupakan judgement atas nilai berdasarkan tujuan akhir dan syarat akan subyektifitas dari kepribadian. Kelsen dalam teori tidak dapat menjawab elemen esensial keadilan yang dapat dijawab hanyalah bahwa tata aturan tersebut mengatur perilaku manusia yang berlaku bagi semua orang dan semua orang menemukan kegembiraan didalamnya. maka keadilan sosial adalah kebahagiaan sosial. Jika keadilan dimaknai sebagai kebahagiaan sosial, maka kebahagiaan sosial tersebut akan tercapai jika kebutuhan individu sosial terpenuhi.
- Keadilan menurut Lon L. Fuller adalah keadilan harus menekankan pada isi hokum positif oleh karena harus dipenuhinya persyaratan moral tertentu antara lain :
- Harus ada aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan dan persyaratan bersifat keumuman serta aturan-aturan tidak boleh dirahasiakan tapi harus diumumkan.
- Aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatan-kegiatan dikemudian hari dan tidak berlaku surut.
- Hukum dibuat sedemikian rupa dan dapat dimengerti oleh rakyat serta aturan-aturan hokum tidak boleh bertentangan dengan aturan hokum yang lainnya.
- Hokum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan dan dalam hokum harus ada ketegasan serta harus konsisten antara aturan-aturan dengan pelaksanaannya.
Dengan demikian, keadilan didasarkan atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan buruk serta didasarkan pula atas kekuasaan yang lebih tinggi.
- Keadilan menurut Anthony D’amato adalah lebih mudah menemukan ketidakadilan dari pada mengatakan apa itu keadilan. Anthony D’amato menyampaikan bahwa pengalaman hidup hidup, sejarah hidup, pelajaran yang diambil oleh seseorang terhadap segala perisitiwa dan sesuatu hal disekitarnya merupakan hal yang sangat penting dan mempengaruhi tingkat penilaian seseorang terhadap keadilan. Sebegitu pentingnya hal ini, Anthony mengemukakan bahwa “ kalau kamu bertanya kepadaku tetang makna keadilan, maka hanya ada satu cara , saya akan menyarankan kepada kamu untuk menghidupkan/menjalankan video recorder pikiran saya, saya tidak dapat menjelaskan keadilan dengan kata-kata karena saya tidak mempelajarinya dengan kata-kata. Dari ungkapan ini, bisa disimpulkan bahwa mempelajari keadilan tidak dapat dengan kata-kata maupun sebuah definisi. Keadilan hanya bisa dipelajari dari pengalaman yang kita peroleh selama kita berproses dalam hidup. Proses hidup kita membentuk perasaan kita dalam memberikan makna keadilan. Dengan proses hidup yang kita jalani tersebut kita bisa merasakan. Ini berbeda jika kita mempelajari keadilan hanya sebatas pada definisi dan kata saja.
- Keadilan menurut H.L.A Hart, dalam bukunya General Theory of Law and State, 1965, sebenarnya adalah harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan. Karena itu hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral dan aturan. (Jeffrie Murphy dan Jules Coelman, The Philosophy of Law, 1984). Prinsip umum keadilan menurut Hart adalah individu-individu perlu saling menghormati posisi relative tertentu antara kesetaraan dan ketidaksetaraan. Karya HART memang lahir dari analisa kritis atas pemikiran filosof hukum positivis, seperti JOHN AUSTIN yang menguraikan hukum sebagai suatu perangkat penghukum yang didukung oleh suatu kekuasaan tertentu. Hart, pendukung positivisme hukum, menyatakan, penghormatan terhadap aturan-aturan hukum mencakup pula pengakuan terhadap berlakunya hukum yang mendahuluinya sebagai suatu hal yang sah. Hukum tertulis yang berlaku sebelumnya, meski tidak bermoral, tetap harus dinyatakan berlaku dan harus diikuti oleh pengadilan-pengadilan sesudahnya hingga ia dinyatakan tidak berlaku atau diganti dengan yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar