keterpurukan hukum di Indonesia
I. PENDAHULUAN
Ketika bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triyulnan rupiah dibebaskan oleh pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam. Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.
Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak ayal hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan otoriter tahun 1998, hamper setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini, sehingga keberadaan bangka kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun, dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kegidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya. Hal ini menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai komunitas yang sangat lamban dalam menangkap momentum.
Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi kehidupan social dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang troble maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission impossible) . Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor utama. Pertama, perilaku penegak hukum (professional jurist) yang koruptif dan yang kedua, pola pikir para penegak hukum Indonesia sebagian besar masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik, meskipun system kelembagaan hukum telah ditabuh ke arah perubahan-perubahan namun paradigma para penegak hukum masih berpola lama (orde baru).
Bahwa dalam harian Kompas tanggal 31 Mei tahun 2002, halaman 27 ditulis, panggung peradilan Indonesia…., dikepung oleh pelbagai hal yang sangat rawan dengan urusan KKN…, dan hedoisme…, uang yang bersileweran-pun bukan alang kepalang jumlahnya. Dalam harian yang sama pada halaman 4 seorang Denny Indrayana mengatakan “sebenarnya persoalan perilaku jurist itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun yang berlangsung di Indonesia sungguh sudah keterlaluan.
Selanjutnya ketika dikaji dari sisi penegakan hukum yang legal-positivistik, menurut Anis Ibrahim, rasanya kita sudah lebih dari cukup memiliki peraturan hukum yang dapat digunakan sebagai garansi kepastian dan keadilan bagi mereka yang sedang berurusan dengan hukum, Namun, sungguh sangat sulit mendapatkan data yang menggembirakan tentang keadilan yang muncul dari hukum. Misalnya, Indonesia telah menyatakan korupsi merupakan extra ordinary, dan karenanya dinyatakan Negara Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi. Hal ini, melahirkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU nomor 20/2001 yang mengubah UU Nomor 31/1999). Dan karena Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak mampu menangani korupsi kelas kakap, maka lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Namun pemberantasan korupsi yang dilakukan hanya sebatas popularitas, asal sikat dan sering salah sasaran. Hal ini terbutki, koruptor kelas kakap yang menjarah BLBI trilyunan rupiah nyaris belum tersentuh. Ironisnya menurut Anis Ibrahim, seandainya ada yang dibawa ke pengadilan terdapat dua kemungkinan putusan, jika tidak dibebaskan dengan dalih kekurangan alat bukti, bisa jadi vonisnya tidak jauh dari putusan penjahat sekelas preman jalanan.
II. PERMASALAHAN
Dari latar pemikiran sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan maka pertanyaanya adalah “bagaimana cara keluar dari keterpurukan hukum di Indonesia ini”?
III. PEMBAHASAN
Menurut Satjipto rahardjo, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi keadilan subsatansial. Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata-mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan.
Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH., progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih saying serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selam ini terjadi di Negara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila kita berfikir jernih dan berkesinambungan, tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu-satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di Indonesia.
Memang sangat menyedihkan hati, ketika melihat kondisi hukum di Indonesia dengan segala bentuk praktisnya. Penggunaan hukum yang serba formal-prosedural dan teknikal , pada dasarnya telah banyak melupakan sisi kebenaran materiil, keadilan substansial dan kemanusiaan. Praktis-praktis hukum yang diterapkan dinegara kita, hingga kini belum mampu memberi garansi untuk mencapai harkat kemanusiaan yang berkeyakinan, kebenaran materiil dan keadilan substansial. Kepedulian terhadap hukum yang menjanjikan kebenaran, kemanusian dan keadilan menurut Satjito Raharjo, baru dapat dicapai jika kita mau keluar dari tawan-tawanan undang-undang yang serba formal procedural. Manakala menginginkan dan mempercayai hukum beserta praktiknya masih dapat dijadikan media pencerah bangsa, maka harus berani mencari agenda alternative yang sifatnya progresif.
Berfikir secara progresif, menurut Satjipto Raharjo berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudianmenempatkan hukum dalam posisi yang relative. Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusian. Bekerja berdasarkan pola pikir yang determinan hukum memang per;uj. Namun itu bukanlah suatu yang mutlak dilakukan manakala para ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika hukum modern akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran. Bekerja berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang tentu berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi. Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusua itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum peositivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif berfikir bahwa justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mencdukung eksistensialitas kemanusian, kebenaran dan keadilan.
Agenda utama paradigma hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan tentang hukum. Penerimaan faktor manusia di pusat pembicaraan hukum tersebut membawa kita untuk mempedulikan faktor perilaku (behavior, experience) manusia. Dalam bahasa Oliver W. Holmes, logika peraturan disempurnakan dengan logika pengalaman. Jika dalam filosofi paradigma hukum praktis posisi manusia adalah untuk hukum dan logika hukum, sehingga manusia dipaksa untuk dimasukkan ke dalam hukum, maka sebaliknya filosofi dalam paradigma hukum progresif adalah hukum untuk manusia. Apabila faktor kemanusiaan yang ada didalammnyua termasuk juga kebenaran dan keadilan telah enjadi titik pembahasan hukum, maka faktor etika dan moralitas dengan sendirinya akan ikut tersert masuk ke dalamnya. Membicarakan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan tidak bisa dilepaskan dari membicarakan etika dan moralitas. Jadi, dengan tegas paradigma hukum progresif menolak pendapat yang memisahkan hukum dari faktor kemanusiaan dan moralitas. Disinilah letak pembebasan dan pencerahan yang dilakukan oleh paradigma hukum progresif.
Hukum progresif mengingatkan, bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti, oleh karena hukum terus menerus berada pada status membangun diri, dengan demikian terjadinya perubahan social dengan didukung oleh social engineering by law yang terencana akan mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum progresif yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Untuk itu, perlu mendapatkan kehidupan hukum yang berada. Dalam hal ini, menurut Prof. Dr. Muladi, SH., dibutuhkan predisposisi sebagai berikut :
1. menegakkan Rule of Law. Untuk menegakkan Rule of Law, ada empat hal yang harus dipenuhi yaitu : Government is under the law, adanya independence of yurisdiction, access to the counrt of law dan general acqual in certain application and same meaning .
2. Kedua; Democracy, prinsip-prinsip dasar demokrasi yaitu ; constitutional, chek and balance, freedom of media, judicial independence of precident, control to civil to military, protection to minoritary.
Kedua hal ini, adalah menjadi bagian dari prinsip-prinsip dari hukum progresif, dimana hukum bukan sebagai raja, tetapi alat untuk menjabarkan kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia, hukum bukan sebagai tehnologi yang tak bernurani melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusian. Pembahsan hukum tidak menyumbat pintu bagi issue manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu masalah manudia dan kemanusiaan akan terus menyertai dan ikut mengalir mnemasuki hukum. Maka hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mengabdi dan melestarikan manusia dengan segala perbincangan tentang kebenaran dan keadilan di dalamnya.
Kontribusi terbesar dari paradigma hukum progresif adalah menjadikan para jurist untuk menjadi sososk manusia sebenar-benar manusia, bukan manusia sebagai robot/computer yang berisi software hukum. Jika demikian, apa bedanya dengan computer jika dalam praktiknya para jurist sekedar mengikuti perintah dan prosedur yang tercetak dalam undang-undang? Untuk apa bertahun-tahun susah payah dan sibuk mencetak ahli hukum kika kerjanya tidak lebih dari computer yang tinggal mencer-mencet? Jadi, paradigma hukum progresif akan mengarahkan jurist menjadi sosok yang arif-bijaksana dan memiliki wawasan komprehensif dalam mencapai kebenaran dan keadilan dalam setiap persoalan yang dihadapinya. Paradigma hukum progresif akan dapat menjinakkan kekakuan dan kebekuan undang-undang. Bukankah UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman kita, mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
IV. PENUTUP/KESIMPULAN
Untuk keluar dari situasi keterpurukan hukum di Indonesia yang selalu dimuat diberbagai media, bahkan menjadi bahan olok-olok dikampung-kampung, maka harus ada usaha pembebasan diri dari cara kerja yang konvensional yang diwariskan oleh madzab hukum positif dengan segala doktrin dan prosedurnya yang serba formal procedural yang justru melahirkan keadilan yang bersifat formal bukan keadilan substansial. Pencerahan dan pembebasan dari belenggu formal procedural itu barang tentu hanya dapat ditempuh melalui paradigma hukum progrosif yang sangat peduli kepada kebenaran, kemanusiaan dan keadilan. Bukankah keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tidak hanya dibatasi untuk mencapai kepastian, tapi yang jauh lebih besar dari itu adalah untuk mencapai kedilan sejati. Hal ini, hanya dapat terwujud dan didapatkan melalui penegakan hukum secara progresif.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia ; penyebab dan solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.
Anis Ibrahim, Hukum Progresif : Pencarian, pembebasan dan pencerahan, Majalah Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, April 2006.
Denny Indrayana, Let’s Kill the Lawyer (catatan kasus Elza Syarief), Kompas, 13 Mei 2002.
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah dalam Seminar Nasional Kerja sama IAIN Walisongo dengan Alumni Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 8 Desember 2004.
Ketika bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triyulnan rupiah dibebaskan oleh pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam. Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.
Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak ayal hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan otoriter tahun 1998, hamper setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini, sehingga keberadaan bangka kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun, dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kegidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya. Hal ini menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai komunitas yang sangat lamban dalam menangkap momentum.
Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi kehidupan social dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang troble maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission impossible) . Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor utama. Pertama, perilaku penegak hukum (professional jurist) yang koruptif dan yang kedua, pola pikir para penegak hukum Indonesia sebagian besar masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik, meskipun system kelembagaan hukum telah ditabuh ke arah perubahan-perubahan namun paradigma para penegak hukum masih berpola lama (orde baru).
Bahwa dalam harian Kompas tanggal 31 Mei tahun 2002, halaman 27 ditulis, panggung peradilan Indonesia…., dikepung oleh pelbagai hal yang sangat rawan dengan urusan KKN…, dan hedoisme…, uang yang bersileweran-pun bukan alang kepalang jumlahnya. Dalam harian yang sama pada halaman 4 seorang Denny Indrayana mengatakan “sebenarnya persoalan perilaku jurist itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun yang berlangsung di Indonesia sungguh sudah keterlaluan.
Selanjutnya ketika dikaji dari sisi penegakan hukum yang legal-positivistik, menurut Anis Ibrahim, rasanya kita sudah lebih dari cukup memiliki peraturan hukum yang dapat digunakan sebagai garansi kepastian dan keadilan bagi mereka yang sedang berurusan dengan hukum, Namun, sungguh sangat sulit mendapatkan data yang menggembirakan tentang keadilan yang muncul dari hukum. Misalnya, Indonesia telah menyatakan korupsi merupakan extra ordinary, dan karenanya dinyatakan Negara Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi. Hal ini, melahirkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU nomor 20/2001 yang mengubah UU Nomor 31/1999). Dan karena Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak mampu menangani korupsi kelas kakap, maka lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Namun pemberantasan korupsi yang dilakukan hanya sebatas popularitas, asal sikat dan sering salah sasaran. Hal ini terbutki, koruptor kelas kakap yang menjarah BLBI trilyunan rupiah nyaris belum tersentuh. Ironisnya menurut Anis Ibrahim, seandainya ada yang dibawa ke pengadilan terdapat dua kemungkinan putusan, jika tidak dibebaskan dengan dalih kekurangan alat bukti, bisa jadi vonisnya tidak jauh dari putusan penjahat sekelas preman jalanan.
II. PERMASALAHAN
Dari latar pemikiran sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan maka pertanyaanya adalah “bagaimana cara keluar dari keterpurukan hukum di Indonesia ini”?
III. PEMBAHASAN
Menurut Satjipto rahardjo, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi keadilan subsatansial. Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata-mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan.
Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH., progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih saying serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selam ini terjadi di Negara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila kita berfikir jernih dan berkesinambungan, tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu-satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di Indonesia.
Memang sangat menyedihkan hati, ketika melihat kondisi hukum di Indonesia dengan segala bentuk praktisnya. Penggunaan hukum yang serba formal-prosedural dan teknikal , pada dasarnya telah banyak melupakan sisi kebenaran materiil, keadilan substansial dan kemanusiaan. Praktis-praktis hukum yang diterapkan dinegara kita, hingga kini belum mampu memberi garansi untuk mencapai harkat kemanusiaan yang berkeyakinan, kebenaran materiil dan keadilan substansial. Kepedulian terhadap hukum yang menjanjikan kebenaran, kemanusian dan keadilan menurut Satjito Raharjo, baru dapat dicapai jika kita mau keluar dari tawan-tawanan undang-undang yang serba formal procedural. Manakala menginginkan dan mempercayai hukum beserta praktiknya masih dapat dijadikan media pencerah bangsa, maka harus berani mencari agenda alternative yang sifatnya progresif.
Berfikir secara progresif, menurut Satjipto Raharjo berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudianmenempatkan hukum dalam posisi yang relative. Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusian. Bekerja berdasarkan pola pikir yang determinan hukum memang per;uj. Namun itu bukanlah suatu yang mutlak dilakukan manakala para ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika hukum modern akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran. Bekerja berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang tentu berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi. Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusua itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum peositivistis meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif berfikir bahwa justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mencdukung eksistensialitas kemanusian, kebenaran dan keadilan.
Agenda utama paradigma hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan tentang hukum. Penerimaan faktor manusia di pusat pembicaraan hukum tersebut membawa kita untuk mempedulikan faktor perilaku (behavior, experience) manusia. Dalam bahasa Oliver W. Holmes, logika peraturan disempurnakan dengan logika pengalaman. Jika dalam filosofi paradigma hukum praktis posisi manusia adalah untuk hukum dan logika hukum, sehingga manusia dipaksa untuk dimasukkan ke dalam hukum, maka sebaliknya filosofi dalam paradigma hukum progresif adalah hukum untuk manusia. Apabila faktor kemanusiaan yang ada didalammnyua termasuk juga kebenaran dan keadilan telah enjadi titik pembahasan hukum, maka faktor etika dan moralitas dengan sendirinya akan ikut tersert masuk ke dalamnya. Membicarakan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan tidak bisa dilepaskan dari membicarakan etika dan moralitas. Jadi, dengan tegas paradigma hukum progresif menolak pendapat yang memisahkan hukum dari faktor kemanusiaan dan moralitas. Disinilah letak pembebasan dan pencerahan yang dilakukan oleh paradigma hukum progresif.
Hukum progresif mengingatkan, bahwa dinamika hukum tidak kunjung berhenti, oleh karena hukum terus menerus berada pada status membangun diri, dengan demikian terjadinya perubahan social dengan didukung oleh social engineering by law yang terencana akan mewujudkan apa yang menjadi tujuan hukum progresif yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Untuk itu, perlu mendapatkan kehidupan hukum yang berada. Dalam hal ini, menurut Prof. Dr. Muladi, SH., dibutuhkan predisposisi sebagai berikut :
1. menegakkan Rule of Law. Untuk menegakkan Rule of Law, ada empat hal yang harus dipenuhi yaitu : Government is under the law, adanya independence of yurisdiction, access to the counrt of law dan general acqual in certain application and same meaning .
2. Kedua; Democracy, prinsip-prinsip dasar demokrasi yaitu ; constitutional, chek and balance, freedom of media, judicial independence of precident, control to civil to military, protection to minoritary.
Kedua hal ini, adalah menjadi bagian dari prinsip-prinsip dari hukum progresif, dimana hukum bukan sebagai raja, tetapi alat untuk menjabarkan kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia, hukum bukan sebagai tehnologi yang tak bernurani melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusian. Pembahsan hukum tidak menyumbat pintu bagi issue manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu masalah manudia dan kemanusiaan akan terus menyertai dan ikut mengalir mnemasuki hukum. Maka hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mengabdi dan melestarikan manusia dengan segala perbincangan tentang kebenaran dan keadilan di dalamnya.
Kontribusi terbesar dari paradigma hukum progresif adalah menjadikan para jurist untuk menjadi sososk manusia sebenar-benar manusia, bukan manusia sebagai robot/computer yang berisi software hukum. Jika demikian, apa bedanya dengan computer jika dalam praktiknya para jurist sekedar mengikuti perintah dan prosedur yang tercetak dalam undang-undang? Untuk apa bertahun-tahun susah payah dan sibuk mencetak ahli hukum kika kerjanya tidak lebih dari computer yang tinggal mencer-mencet? Jadi, paradigma hukum progresif akan mengarahkan jurist menjadi sosok yang arif-bijaksana dan memiliki wawasan komprehensif dalam mencapai kebenaran dan keadilan dalam setiap persoalan yang dihadapinya. Paradigma hukum progresif akan dapat menjinakkan kekakuan dan kebekuan undang-undang. Bukankah UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman kita, mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
IV. PENUTUP/KESIMPULAN
Untuk keluar dari situasi keterpurukan hukum di Indonesia yang selalu dimuat diberbagai media, bahkan menjadi bahan olok-olok dikampung-kampung, maka harus ada usaha pembebasan diri dari cara kerja yang konvensional yang diwariskan oleh madzab hukum positif dengan segala doktrin dan prosedurnya yang serba formal procedural yang justru melahirkan keadilan yang bersifat formal bukan keadilan substansial. Pencerahan dan pembebasan dari belenggu formal procedural itu barang tentu hanya dapat ditempuh melalui paradigma hukum progrosif yang sangat peduli kepada kebenaran, kemanusiaan dan keadilan. Bukankah keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat tidak hanya dibatasi untuk mencapai kepastian, tapi yang jauh lebih besar dari itu adalah untuk mencapai kedilan sejati. Hal ini, hanya dapat terwujud dan didapatkan melalui penegakan hukum secara progresif.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia ; penyebab dan solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.
Anis Ibrahim, Hukum Progresif : Pencarian, pembebasan dan pencerahan, Majalah Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, April 2006.
Denny Indrayana, Let’s Kill the Lawyer (catatan kasus Elza Syarief), Kompas, 13 Mei 2002.
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah dalam Seminar Nasional Kerja sama IAIN Walisongo dengan Alumni Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 8 Desember 2004.
disparitas penjatuhan sanksi pidana
A.LATAR BELAKANG
Berdasarkan catatan Komisi Yudisial (KY) “dalam kurun tahun 2005 sampai 2007tercatat ada 3.120 putusan hakim yang dianggap bermasalah/menyimpang (Suara Merdeka Edisi Senin 31 Desember 2007). Hal ini tentu membuat kita prihatin karena semakin hari nasib penegakan hukum di Negara Indonesia tidak mengalami kemajuan akan tetapi justru sebaliknya mengalami kemunduran.
Sebuah doktrin hukum yang berbunyi “Res Judicate Pro Veritate Hebetur”, yang artinya bahwa apa yang diputus oleh Hakim itu benar walaupun sesungguhnya tidak benar, sehingga mengikat sampai tidak dibatalkan oleh pengadilan lain.
Doktrin hukum diatas menempatkan Pengadilan sebagai titik sentral konsep Negara hukum. Indonesia menganut konsep Negara hukum sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, bahwa Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaats).
Sejalan dengan konsepsi Negara hukum, peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman harus memegah teguh azas “Rule of Law”. Untuk mengakkan Rule of Law para Hakim dan Mahkamah Pengadilan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Supremasi hukum
b. Equality Before The Law
c. Human Rights
Ketiga hal tersebut adalah konsekwensi logis dari prinsip-prinsip Negara hukum, yakni :
a. Azas Legalitas (Principle of Legality)
b. Azas perlindungan HAM (Principle of Protection of Human Right)
c. Azas Peradilan Bebas (Free Justice Principle)
Mendasarkan pada fungsi peradilan di atas, maka perilaku jajaran aparat penegak hukum, khususnya Integrated Criminal Justice System dan lebih khusus lagi adalah perilaku Hakim menjadi salah satu barometer utama dari suatu Negara hukum untuk mengukur tegak tidaknya hukum dan undang-undang. Aparat penegak hukum menjadi titik sentral dalam proses penegakan hukum (Law enforcement prosess) yang harus memberikan teladan dan konsekwen dalam menjalankan hukum dan undang-undang.
Kahadiran lembaga peradilan adalah menjadi sebuah syarat mutlak bagi suatu Negara hukum yang dibentuk untuk mengawasi dan melaksanakan aturan hukum dan undang-undang suatu Negara. Pengawasan dilakukan sebagai “balance” terhadap pemerintah di dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, dan bagi rakyat dapat menjadi pedoman dalam hal-hal mana ia harus berbuat sesuai dengan hak-hak dan kewajiban yang ada pada dirinya. Dengan kata lain, lembaga peradilan tidak lain daripada sebuah badan pengawas, pelaksanan hukum dan sekaligus sebagai benteng penegak hukum dan keadilan. Ini makna dan hakikat dari azas peradilan yang bebas. Dengan demikian eksistensi peradialn bebas dalam Negara hukum dan Negara demokrasi merupakan “Conditio Sine Quanon” (harus tidak boleh tidak adanya).
Dalam praktik, prinsip-prinsip peradilan yang bebas tidak selalu konsisten diterapkan dan dilaksanakan dalam kehidupan praktek peradilan. Sering terjadi kesenjangan dalam putusan terhadap pelaku tindak pidana sehingga bermunculan issue-issue yang acapkali menyeruak seperti mafia peradilan, KUHP disingkat (Kasih Uang Habis Perkara), kebobrokan dunia peradilan, suap menyuap, konspirasi dan istilah-istilah lain yang serupa.
Issue-issue semacam ini tentunya tidak akan muncul ketika dalam kenyataan keadilan terwujud atau dengan kata lain issue-issue itu tidak akan muncul ketika tidak terjadi ketidakadilan dalam proses peradilan. Fenomena ini menjadi menarik untuk dikaji dan diteliti lebih mendalam apa sebenarnya yang terjadi dalam proses peradilan dan apa sebenarnya yang menjadi faktor-faktor penyebab sehingga terjadi perbedaaan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana. Muncul dibenak kita mengapa sampai begitu banyak putusan hakim yang menyimpang, itu yang terdeteksi, padahal masih banyak putusan-putusan hakim menyimpang yang belum terlaporkan atau terdeteksi. Apakah penyimpangan putusan tersebut semata-mata hanya karena kecurangan hakim ataukah kecurangan semua yang terlibat di dalam proses penegakkan hukum?
Bahwa salah satu sebab timbulnya diskrepansi dalam praktek peradilan adalah falsafah yang melatarbelakangi system hukum dan perundang-undangan. Sebagaimana diketahui bahwa system hukum dan perundang-undangan Indonesia berlatrbelakang Analytical Legal Positivism yang berlandaskan falsafah liberalisme, indivisudlaisme dan rationalisme. Falsafah ini bersumber dari falsafah Revolusi Industri Perancis abad XVIII yakni Liberty, Egality dan Fraternity, sebuah sistem hukum berkarakter liberal-individual. Maka substansi, doktrin, azas dan lain perlengkapan (konstruksi, sistematika dan interprestasi) diberlakukan untuk mengamankan paradigma nilai liberal tersebut. Dengan demikian tidak mengherankan apabila system hukum berkarakter liberal ini dirancang terutama untuk memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan individu.
Indonesia yang menganut aliran positivesme dalam hukum pidananya yang memberikan kebebasan hakim yang lebih luas sehingga besar kemungkinannya untuk dapat terjadinya disparitas dalam menjatuhkan putusannya, sedangkan Undang-undang hanya dipakai sebagai pedoman pemberian pidana yaitu pedoman maksimal dan minimal saja. Disparitas penjatuhan sanksi pidana akan berakibat buruk, bilamana dikaitkan dengan “correction administration”. Terpidana yang telah memperbandingkan pidana kemudian meras menjadi korban “the judicial caprice”, akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target dalam pemidanaan.
Bahwa disparitas yang mencolok dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana selain menimbulkan ketidakadilan dimata para pelaku tindak pidana pada khususnya dan masyarakat pada umumnya juga akan menimbulkan ketidakpuasan dikalangan para pelaku tindak pidana itu sendiri dan juga di kalangan masyarakat .
Konsekwensi logis dari system hukum berjiwa liberal individual, system hukum memiliki karakter kelas (the class character of law) system hukum adalah mekanisme yang secara langsung atau tidak langsung melayani kepentingan-kepentingan kelas ekonomi dan kelas politik yuang dominan.
Kiranya benar kritikan Unger bahwa praktek yurisprudensi (teeori) hukum liberal gagal mengangani issue-issue seperti diskriminasi ras, gender, ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, peperangan dan seterusnya. Kebutuhan teori hukum liberal mengandung apa yang mereka tuduhkan sebagai “incohenrent internally inconsistent” dan “Self-contradictorry”.
Kritikan yang cukup tajam dari Unger di atas, kiranya cukup atau seringkali mewarnai berbagai putusan Pengadilan. Dengan kata lain, berbagai putusan pengadilan tidak lepas dari kritikan Unger di atas. Kegagalan hukummodern yang notabene liberal kapitalistik ini dibuktikan dengan ketidakmampuan hukum menjangkau kasus-kasus hukum yang melibatkan pejabat tinggi/elit politik, dan dalam dunia peradilan juga gagal total dengan dibuktikan ketidakmampuan pengadilan dalam menjalankan fungsinya sebagai peradilan yang bebas dan mandiri.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah benar timbulnya disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh Pengadilan disebabkan oleh adanya konspirasi antara aparat penegak hukum dengan masyarakat / pihak yang berperkara (pelaku maupun korban).
2. Bagaimana usaha-usaha untuk meminimalisir terjadinya disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh pengadilan?
C. KERANGKA TEORI
1. Fungsi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan
Setiap penelitian haruslah disertai dengna pemikiran teoritis. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan timbale balik antara teori dengan kegiatan-kegiatan pengumpulan data, kontruksi data dan pengolahan data dan analisa data.
Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan, antara yang satu dengan yang lain tidak hanya saling bertentangan tetapi kadang saling bertentangan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya ini manusia bersikap dan berbuat.
Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan orang lain, maka hukum meberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan tertentu, sehingga manusia tidak bebas sebebas-bebasnya untuk berbuat dan bertingkah laku dalam rangka mencapai kebutuhannya itu. Fungsi yang demikianitu terdapat pada setiap jenis hukum termasuk di dalamnya hukum pidana, karena itu fungsi yang demikian disebut fungsi umum hukum pidana.
Pidana dalam hukum pidana adalah salah satu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakn tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana disamping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka membatasi kekuasaan Negara juga bertujuan untuk mencegah (preventif) bagi orang yang berniat untuk melanggar hukum pidana.
Berkaitan dengan hal itu H.I. Packer yang dikutip Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut :
1. Sanksi pidana sangatlah penting diperlukan, karena kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana. (The Criminal sanction is dispensable : We could not now or in the foresseable future, get along without it);
2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (Thecriminal sanction is the best available divice we have for dealing with gross and immediate harms ang threats of harm);
3. Sanksi pidana merupakan “penjamin utama/terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat, cermat, manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime theatener of human freedom, used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is theatener)
Materi/substansi atau masalah pokok dari hukum pidana terletak pada masalah mengenai : a) perbuatan apa yang sepatutnya dipidana, atau dapat disebut masalah “tindak pidana:; b) syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu, atau dapat disebut dengan masalah “kesalahan”; c) Sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang itu, atau dapat disebut dengan masalah “pidana”.
Penggunaan sanksi pidana atau pemidanaan haruslah diarahkan kepada tujuan pemidanaan yang bersifat integrative yaitu : a) perlindungan masyarakat; b) memelihara solidaritas; c) pencegahan (umum dan khusus), dan d) pengimbalan atau pengimbangan.
Sesuai dengan azaz legalitas (Principle of legality), azaz yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege, (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu) . Ucapan Nullum delictum nulla poena sine praevia lege ini berasal dari von Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833).
Azas kesatu dari Pasal 1 ayat (1) KUHP ini hanya menentukan, bahwa sanksi pidananya saja yang harus ditentukan dengan undang-undang. Norma-normanya mengikuti system dalam bidang hukum masing-masing, yaitu hukum perdata, atau hukum tata Negara, atau hukum tata usaha negara, yang semua memberi peranan sepenuhnya kepada adapt kebiasaan dan lain-lain peraturan yang bukan undang-undang, seperti peraturan pemerintah, peraturan Menteri, dan macam instruksi dalam dinas administrasi.
Penentuan syarat perundang-undangan ini ada hubungan dengan kenyataa, bahwa sanksi pidana pada sifatnya keras daripada sanksi perdata atau sanksi administrasi, dan merupakan ultimum remedium atau senjata pamungkas (terakhir) untuk menegakkan tata hukum.
Menurut Mulyatno, istilah “hukuman” yang berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “wordgestraft”, merupakan istilah-istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu “pidana” untuk menggantikan kata “straf” dan “diancam dengan pidana “ untuk menggantikan kata “wordtgestraft”.
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka sekadar melanggar larangan tersebut.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan pengenaan penderitaan atau akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan;
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Mengenai permasalahan pidana yang ketiga, menyangkut soal pidana. Persoalan yang muncul sehubungan dengan pidana, meliputi jenis pidana, ukuran atau lamanya pidana yang dijatuhkan dan pelaksanaan pidana . Hal tersebut menyangkut asas dalam penjatuhan pidana yang hendaknya diperhatikan oleh aparat penegak hukum.
Asas individualisasi pidana, yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pembuat. Bentuk pertanggung jawaban pembuat lebih bersifat tindakan untuk melindungi masyarakat. Jika digunakan pidana, maka harus diorientasikan pada sifat-sifat si pembuat. Harus memperhatikan latar belakang dan seluruh fase kehidupan pembuat dengan tujuan untuk mengadakan resosialisasi pembuat.
Seseorang yang telah melakukan tindak pidana dan telah memenuhi syarat untuk dapat dilakukan pemidanaan atas dirinya maka ia dapat dijatuhi pidana, dan yang berhak menjatuhkan pidana adalah Hakim. Penambahan hukuman dengan tindakan-tindakan tata tertib, yang demikian – merupakan perluasan dengan kewenangan di luar hukuman mengakibatkan batas-batas kewenangan dan hakim pidana menghadapi suatu “vervaging”. Dan jika terdapat suatu kewenangan pada hakim untuk menggabungkan hukuman dengan tindakan, maka perbatasan antara hukuman pokok dan hukuman tambahan akan menjadi samar.
Pembalasan sebagai tujuan pemidanaan kita jumpai pada apa yang dinamakan teori hukum pidana yang absolut. Di dalam kejahatan itu sendiri terletak pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat yang hendak dicapai. Ada pemidanaan, karena ada pelanggaran hukum; ini merupakan tuntutan keadilan. Demikian juga Hegel yang memandang pidana sebagai suatu keharusan yang logis, sebagai konsekuensi dari kejahatan, karena kejahatan adalah suatu pengingkaran terhadap ketertiban umum dari Negara, yang merupakan perwujudan dari cita-susila (sittliche Idee). Jadi pidana merupakan “Negation der Negation”.
Dengan demikian penegakan hukum itu bukan suatu proses logis semata, melainkan sarat dengan keterlibatan manusia di dalamnya. Hal itu berarti, bahwa penegakan hukum tidak dapat dilihat sebagai suatu proses logis linier, melainkan sesuatu yang kompleks. Masuknya faktor manusia menjadikan penegakan hukum sarat dengan dimensi perilaku dengan sekalian factor yang menyertainya. Penegakan hukum lalu bukan lagi merupakan hasil deduksi logis, melainkan lebih merupakan hasil dari pilihan-pilihan. Dengan demikian luaran (output) dari penegakan hukum tidak dapat hanya didasarkan pada ramalan logika semata, melainkan juga hal-hal yang “tidak menurut logika”.
Penegakan hukum dilakukan oleh institusi yang diberi wewenang untuk itu, seperti polisi, jaksa dan pejabat pemerintahan. Sejak hukum itu mengandung peringah dan pemaksaan (coercion), maka sejak semula hukum membutuhkan bantuan untuk mewujudkan perintah tersebut.
Hukum menjadi tidak ada artinya apabila perintahnya tidak (dapat) dilaksanakan. Diperlukan usaha dan tindakan manusia agar perintah dan paksaan yang secara potensial ada di dalam peraturan itu menjadi manifest . Donald Black menamakan dimensi keterlibatan manusia dalam hukum sebagai mobilisasi hukum. Dalam mobilisasi hukum inilah manusia turut campur sehingga hukum tidak hanya mengancam dan berjanji di atas kertas. “The day-by-day entry of cases into any legal system cannot be taken for granted. Cases of alleged illegality and disputes do not move automatically to legal agencies for disposition or settlement”.
Mobilisasi hukum yang dilakukan oleh para pemegang peran dalam penegakan hukum mengakibatkan diskriminasi hukum. Donal Black menyebutkan tentang adanya lima aspek variable yang menyebabkan terjadinya diskriminasi hukum, yaitu Stratifikasi, morfologi, kultur, organisasi, dan pengendalian social.
2. Disparitas Pidana
Menurut Sudarto, KUHP Indonesia tidak memuat pedoman pemberian pidana straftoemetingsleiddraad) yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana yang ada hanya aturan pemberian pidana straftoemetingsleiddraad).
Tidak adanya pedoman pemberian pidana yang umum menyebabkan hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan jenis pidana, cara pelaksanaan pidana dan tinggi atau rendahnya pidana. Bisa terjadi dalam suatu delik yang sama atau sifat berbahayanya sama tetapi pidananya tidak sama. Namun kebebasan ini tidak berarti bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana dengan kehendaknya sendiri tanpa ukuran tertentu.
Berkaitan dengan tidak adanya pedoman pemberian pidana, John Kaplan mengemukakan masalah sanksi pidana bahwa salah satu aspek yang paling kacau balau dari peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pemidanaan ialah kondisi dari KUHP itu sendiri. Secara mudah dapat ditunjukkan, bahwa dikebanyakan Negara sanksi-sanksi yang tersedia untuk delik-delik yang berbeda, sama sekali tanpa suatu dasar atau landasan yang rasional .Inilah yang pada gilirannya merupakan salah satu penunjang utama adanya perbedaan perlakuan terhadap para pelanggar yang kesalahannya sebanding. Tidak hanya di Indonesia saja, tetapi hamper seluruh Negara di dunia, mengalami apa yang disebut sebagai “the disturbing disparity of sentencing” yang mengundang perhatian lembaga legislatif serta lembaga lain yang terlibat di dalam system penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya.
Dalam “Judical attitudes”, dimana R.M Jackson dari Cambrige itu mengadakan suatu tinjauan mengenai Process of Sentencing, maka dikemukakan bahwa apabila pengadilan itu sudah mengetahui secukupnya tentang pelanggaran hukum yang dihadapkan kepadanya, acara yang disediakan kepadanya, ia masih harus menghadapi prinsip-prinsip apakah yang harus diterapkan olehnya. Juga di Inggris ia menghadapi suatu kenyataan, bahwa pada hakekatnya tidak terdapat suatu prinsip umum dalam perundang-undangan (statutes) ataupun dalam yurisprudensi (caselaw) bagi Pengadilan-Pengadilan dalam mengadili pelanggar-pelanggar hukum yang sudah dewasa.
Penjatuhan hukuman dan polanya, merupakan suatu hal yang sangat penting, terutama di dalam proses peradilan. Seorang hakim mempunyai wewenang yang sangat besar di dalam menentukan nasib seseorang, dalam arti, untuk menentukan kehidupan maupun kebebasannya. Penerapan wewenang tersebut secara wajar, merupakan harapan dari segala pihak dalam masyarakat. Dari seorang hakim diharapkan terjadinya keadalan yang benar-benar wajar dan dianggap proporsional.
D. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk menemukan sebuah teori dalam proses peradilan pidana sehingga dapat mencari solusi terbaik guna meminimalisir terjadinya disparitas penjatuhan sanski pidana oleh hakim (pengadilan).
2. Untuk dapat memberikan kontribusi positif bagi pengambil kebijakan guna mencegah atau mengurangi terjadinya disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh hakim pengadilan).
E. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode kwalitatif dengan pendekatan non-doktrinal / empirik. Dipergunakan metode kwalitatif, mengingat dari permasalahan yang ada hendak mencari makna yang mendalam dan rinci terhadap fenomena yang diteliti. Pendekatan non-doktrinal/empirik dimaksudkan sebagai pemaparan dan pengkajian hubungan aspek hukum dengan aspek non hukum dalam bekerjan ya hukum di dalam kenyataan.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah bersifat discpritis sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian ini. Diskriptif ini bukan dalam arti sempat, artinya dalam memberikan gambaran tentang fenomena yang ada dilakukan sesuai dengan metode penelitian. Fakta-fakta yang ada digambarkan dengan interprestasi, evaluasi dan pengetahuan umum karena fakta tidak mempunyai arti tanpa interprestasi, evaluasi dan pengetahuan umum.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Banyumas.
4. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
a. Sumber Data Primair
1. Wawancara yang mendalam (indept interview)
Wawancara yang mendalam yaitu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu atau terpusat penelitian. Wawancara jenis ini merupakan proses menggali informasi secara langsung dan mendalam sebagai data primair.
2. Observasi non partisan (non participant observation)
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder diambil dari peraturan perundang-undangan, buku literatur, dokumen-dokumen serta arsip-arsip yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.
5. Teknik Pengambilan Informasi
Penelitian dilakukan secara terbuka dalam arti peneliti memperkenalkan diri kepada informan sebagai mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto, serta menjelaskan bahwa kajian ini dipergunakan untuk menyelesaikan tugas akhir.
6. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa kualitatif dengan cara berpikir deduktif, yang terdiri dari premis mayor, premis minor dan konklusi. Premis mayor berupa peraturan perundang-undangan yang mempunyai relevansi dengan materi penelitian sedangkan fakta-fakta sebagai premis minor, antara premis mayor dengan premis minor dihubungkan untuk dilakukan pembahasan yang kemudian ditarik suatu kesimpulan sebagai konklusinya.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika dari penulisan tesis yang akan dibuat adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kerangka Teori
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN UMUM
A. Pidana dan Pemidanaan
1. Pengertian Pidana
2. Teori-Teori Hukum Pidana
3. Jenis-Jenis Pidana
B. Tujuan Pemidanaan di Indonesia
C. Putusan Pengadilan
1. Pengertian Putusan
2. Bentuk Putusan Pengadilan
D. Disparitas Pidana
1. Pengertian Disparitas Pidana
2. Dampak Disparitas Pidana
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA
A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Pidana
B. Pengaruh Disparitas Pidana Terhadap Terpidana
C. Pengaruh Disparitas Pidana Terhadap Masyarakat
D. Usaha-Usaha Untuk Mengatasi / Mengurangi Timbulnya Disparitas Pidana.
BAB IV P E N U T U P
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta.
Angkasa, 1993, “Prisonisasi dan Permasalahannya terhadap Pembinaan Narapidana (Suatu Studi di Lembaga Pemasyarakatan Semarang dan Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto)”, Tesis S-2 Hukum UNDIP, Semarang.
Aryadi, Gregorius, 1995, Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.
Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
_______, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
_______, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Faisal, Sanapiah, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi, YA3, Malang.
Hanitijo Soemitro, Ronny, 1998, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Lamintang, P.A.F., 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung.
Moeljatno, 2002, Azaz-azaz Hukum Pidana, Rineke Cipta , Jakarta.
Muladi, 1985, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, Masalah-masalah Hukum, Fakultas Hukum UNDIP , Semarang.
_______, 1986, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Namawi Arief, Barda, 1996, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara.
________ , 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
_________ , 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Prodjodikoro, Wirjono, 2002, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.
Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
_________ , 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sahetapi, J.E 1988, “ Masalah-masalah Korban Ditinjau Dari Segi Viktimologi”, Ceramah Ilmiah, Fakultas Hukum UNTAG Semarang.
Said, Noor Aziz, 2002, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Sebagai Dasar Bagi Teoritisasi Hukum di Era Post Modernism”, Makalah Kuliah Teori Hukum PDIH UNDIP, Semarang.
Seno Adji, Oemar, 1984, Hukum-Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta.
Soche, Herman Harris, 1985, Supremasi Hukum dan Prinsip Demokrasi di Indonesia, PT. Hanindita, Yogyakarta.
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Sutopo, H.B, 1998, Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-dasar Teori dan Praktis, Pusat Penelitian UNS, Surakarta.
Unger, M, 1989, The Critical Legal Studies Movement, Terjemahan Ifdal Kasim, ELASAM, Jakarta.
Wisnubroto, AL, 1997, Hakim dan Peradilan di Indonesia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.
Buku Pintar Penataran P4, Tanpa Tahun, Departemen Kehakiman Repbulik Indonesia.
Berdasarkan catatan Komisi Yudisial (KY) “dalam kurun tahun 2005 sampai 2007tercatat ada 3.120 putusan hakim yang dianggap bermasalah/menyimpang (Suara Merdeka Edisi Senin 31 Desember 2007). Hal ini tentu membuat kita prihatin karena semakin hari nasib penegakan hukum di Negara Indonesia tidak mengalami kemajuan akan tetapi justru sebaliknya mengalami kemunduran.
Sebuah doktrin hukum yang berbunyi “Res Judicate Pro Veritate Hebetur”, yang artinya bahwa apa yang diputus oleh Hakim itu benar walaupun sesungguhnya tidak benar, sehingga mengikat sampai tidak dibatalkan oleh pengadilan lain.
Doktrin hukum diatas menempatkan Pengadilan sebagai titik sentral konsep Negara hukum. Indonesia menganut konsep Negara hukum sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, bahwa Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaats).
Sejalan dengan konsepsi Negara hukum, peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman harus memegah teguh azas “Rule of Law”. Untuk mengakkan Rule of Law para Hakim dan Mahkamah Pengadilan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Supremasi hukum
b. Equality Before The Law
c. Human Rights
Ketiga hal tersebut adalah konsekwensi logis dari prinsip-prinsip Negara hukum, yakni :
a. Azas Legalitas (Principle of Legality)
b. Azas perlindungan HAM (Principle of Protection of Human Right)
c. Azas Peradilan Bebas (Free Justice Principle)
Mendasarkan pada fungsi peradilan di atas, maka perilaku jajaran aparat penegak hukum, khususnya Integrated Criminal Justice System dan lebih khusus lagi adalah perilaku Hakim menjadi salah satu barometer utama dari suatu Negara hukum untuk mengukur tegak tidaknya hukum dan undang-undang. Aparat penegak hukum menjadi titik sentral dalam proses penegakan hukum (Law enforcement prosess) yang harus memberikan teladan dan konsekwen dalam menjalankan hukum dan undang-undang.
Kahadiran lembaga peradilan adalah menjadi sebuah syarat mutlak bagi suatu Negara hukum yang dibentuk untuk mengawasi dan melaksanakan aturan hukum dan undang-undang suatu Negara. Pengawasan dilakukan sebagai “balance” terhadap pemerintah di dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, dan bagi rakyat dapat menjadi pedoman dalam hal-hal mana ia harus berbuat sesuai dengan hak-hak dan kewajiban yang ada pada dirinya. Dengan kata lain, lembaga peradilan tidak lain daripada sebuah badan pengawas, pelaksanan hukum dan sekaligus sebagai benteng penegak hukum dan keadilan. Ini makna dan hakikat dari azas peradilan yang bebas. Dengan demikian eksistensi peradialn bebas dalam Negara hukum dan Negara demokrasi merupakan “Conditio Sine Quanon” (harus tidak boleh tidak adanya).
Dalam praktik, prinsip-prinsip peradilan yang bebas tidak selalu konsisten diterapkan dan dilaksanakan dalam kehidupan praktek peradilan. Sering terjadi kesenjangan dalam putusan terhadap pelaku tindak pidana sehingga bermunculan issue-issue yang acapkali menyeruak seperti mafia peradilan, KUHP disingkat (Kasih Uang Habis Perkara), kebobrokan dunia peradilan, suap menyuap, konspirasi dan istilah-istilah lain yang serupa.
Issue-issue semacam ini tentunya tidak akan muncul ketika dalam kenyataan keadilan terwujud atau dengan kata lain issue-issue itu tidak akan muncul ketika tidak terjadi ketidakadilan dalam proses peradilan. Fenomena ini menjadi menarik untuk dikaji dan diteliti lebih mendalam apa sebenarnya yang terjadi dalam proses peradilan dan apa sebenarnya yang menjadi faktor-faktor penyebab sehingga terjadi perbedaaan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana. Muncul dibenak kita mengapa sampai begitu banyak putusan hakim yang menyimpang, itu yang terdeteksi, padahal masih banyak putusan-putusan hakim menyimpang yang belum terlaporkan atau terdeteksi. Apakah penyimpangan putusan tersebut semata-mata hanya karena kecurangan hakim ataukah kecurangan semua yang terlibat di dalam proses penegakkan hukum?
Bahwa salah satu sebab timbulnya diskrepansi dalam praktek peradilan adalah falsafah yang melatarbelakangi system hukum dan perundang-undangan. Sebagaimana diketahui bahwa system hukum dan perundang-undangan Indonesia berlatrbelakang Analytical Legal Positivism yang berlandaskan falsafah liberalisme, indivisudlaisme dan rationalisme. Falsafah ini bersumber dari falsafah Revolusi Industri Perancis abad XVIII yakni Liberty, Egality dan Fraternity, sebuah sistem hukum berkarakter liberal-individual. Maka substansi, doktrin, azas dan lain perlengkapan (konstruksi, sistematika dan interprestasi) diberlakukan untuk mengamankan paradigma nilai liberal tersebut. Dengan demikian tidak mengherankan apabila system hukum berkarakter liberal ini dirancang terutama untuk memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan individu.
Indonesia yang menganut aliran positivesme dalam hukum pidananya yang memberikan kebebasan hakim yang lebih luas sehingga besar kemungkinannya untuk dapat terjadinya disparitas dalam menjatuhkan putusannya, sedangkan Undang-undang hanya dipakai sebagai pedoman pemberian pidana yaitu pedoman maksimal dan minimal saja. Disparitas penjatuhan sanksi pidana akan berakibat buruk, bilamana dikaitkan dengan “correction administration”. Terpidana yang telah memperbandingkan pidana kemudian meras menjadi korban “the judicial caprice”, akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target dalam pemidanaan.
Bahwa disparitas yang mencolok dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana selain menimbulkan ketidakadilan dimata para pelaku tindak pidana pada khususnya dan masyarakat pada umumnya juga akan menimbulkan ketidakpuasan dikalangan para pelaku tindak pidana itu sendiri dan juga di kalangan masyarakat .
Konsekwensi logis dari system hukum berjiwa liberal individual, system hukum memiliki karakter kelas (the class character of law) system hukum adalah mekanisme yang secara langsung atau tidak langsung melayani kepentingan-kepentingan kelas ekonomi dan kelas politik yuang dominan.
Kiranya benar kritikan Unger bahwa praktek yurisprudensi (teeori) hukum liberal gagal mengangani issue-issue seperti diskriminasi ras, gender, ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, peperangan dan seterusnya. Kebutuhan teori hukum liberal mengandung apa yang mereka tuduhkan sebagai “incohenrent internally inconsistent” dan “Self-contradictorry”.
Kritikan yang cukup tajam dari Unger di atas, kiranya cukup atau seringkali mewarnai berbagai putusan Pengadilan. Dengan kata lain, berbagai putusan pengadilan tidak lepas dari kritikan Unger di atas. Kegagalan hukummodern yang notabene liberal kapitalistik ini dibuktikan dengan ketidakmampuan hukum menjangkau kasus-kasus hukum yang melibatkan pejabat tinggi/elit politik, dan dalam dunia peradilan juga gagal total dengan dibuktikan ketidakmampuan pengadilan dalam menjalankan fungsinya sebagai peradilan yang bebas dan mandiri.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah benar timbulnya disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh Pengadilan disebabkan oleh adanya konspirasi antara aparat penegak hukum dengan masyarakat / pihak yang berperkara (pelaku maupun korban).
2. Bagaimana usaha-usaha untuk meminimalisir terjadinya disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh pengadilan?
C. KERANGKA TEORI
1. Fungsi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan
Setiap penelitian haruslah disertai dengna pemikiran teoritis. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan timbale balik antara teori dengan kegiatan-kegiatan pengumpulan data, kontruksi data dan pengolahan data dan analisa data.
Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan, antara yang satu dengan yang lain tidak hanya saling bertentangan tetapi kadang saling bertentangan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya ini manusia bersikap dan berbuat.
Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan orang lain, maka hukum meberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan tertentu, sehingga manusia tidak bebas sebebas-bebasnya untuk berbuat dan bertingkah laku dalam rangka mencapai kebutuhannya itu. Fungsi yang demikianitu terdapat pada setiap jenis hukum termasuk di dalamnya hukum pidana, karena itu fungsi yang demikian disebut fungsi umum hukum pidana.
Pidana dalam hukum pidana adalah salah satu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakn tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana disamping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka membatasi kekuasaan Negara juga bertujuan untuk mencegah (preventif) bagi orang yang berniat untuk melanggar hukum pidana.
Berkaitan dengan hal itu H.I. Packer yang dikutip Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut :
1. Sanksi pidana sangatlah penting diperlukan, karena kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana. (The Criminal sanction is dispensable : We could not now or in the foresseable future, get along without it);
2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (Thecriminal sanction is the best available divice we have for dealing with gross and immediate harms ang threats of harm);
3. Sanksi pidana merupakan “penjamin utama/terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat, cermat, manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime theatener of human freedom, used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is theatener)
Materi/substansi atau masalah pokok dari hukum pidana terletak pada masalah mengenai : a) perbuatan apa yang sepatutnya dipidana, atau dapat disebut masalah “tindak pidana:; b) syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu, atau dapat disebut dengan masalah “kesalahan”; c) Sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang itu, atau dapat disebut dengan masalah “pidana”.
Penggunaan sanksi pidana atau pemidanaan haruslah diarahkan kepada tujuan pemidanaan yang bersifat integrative yaitu : a) perlindungan masyarakat; b) memelihara solidaritas; c) pencegahan (umum dan khusus), dan d) pengimbalan atau pengimbangan.
Sesuai dengan azaz legalitas (Principle of legality), azaz yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege, (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu) . Ucapan Nullum delictum nulla poena sine praevia lege ini berasal dari von Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833).
Azas kesatu dari Pasal 1 ayat (1) KUHP ini hanya menentukan, bahwa sanksi pidananya saja yang harus ditentukan dengan undang-undang. Norma-normanya mengikuti system dalam bidang hukum masing-masing, yaitu hukum perdata, atau hukum tata Negara, atau hukum tata usaha negara, yang semua memberi peranan sepenuhnya kepada adapt kebiasaan dan lain-lain peraturan yang bukan undang-undang, seperti peraturan pemerintah, peraturan Menteri, dan macam instruksi dalam dinas administrasi.
Penentuan syarat perundang-undangan ini ada hubungan dengan kenyataa, bahwa sanksi pidana pada sifatnya keras daripada sanksi perdata atau sanksi administrasi, dan merupakan ultimum remedium atau senjata pamungkas (terakhir) untuk menegakkan tata hukum.
Menurut Mulyatno, istilah “hukuman” yang berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “wordgestraft”, merupakan istilah-istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu “pidana” untuk menggantikan kata “straf” dan “diancam dengan pidana “ untuk menggantikan kata “wordtgestraft”.
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka sekadar melanggar larangan tersebut.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan pengenaan penderitaan atau akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan;
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Mengenai permasalahan pidana yang ketiga, menyangkut soal pidana. Persoalan yang muncul sehubungan dengan pidana, meliputi jenis pidana, ukuran atau lamanya pidana yang dijatuhkan dan pelaksanaan pidana . Hal tersebut menyangkut asas dalam penjatuhan pidana yang hendaknya diperhatikan oleh aparat penegak hukum.
Asas individualisasi pidana, yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pembuat. Bentuk pertanggung jawaban pembuat lebih bersifat tindakan untuk melindungi masyarakat. Jika digunakan pidana, maka harus diorientasikan pada sifat-sifat si pembuat. Harus memperhatikan latar belakang dan seluruh fase kehidupan pembuat dengan tujuan untuk mengadakan resosialisasi pembuat.
Seseorang yang telah melakukan tindak pidana dan telah memenuhi syarat untuk dapat dilakukan pemidanaan atas dirinya maka ia dapat dijatuhi pidana, dan yang berhak menjatuhkan pidana adalah Hakim. Penambahan hukuman dengan tindakan-tindakan tata tertib, yang demikian – merupakan perluasan dengan kewenangan di luar hukuman mengakibatkan batas-batas kewenangan dan hakim pidana menghadapi suatu “vervaging”. Dan jika terdapat suatu kewenangan pada hakim untuk menggabungkan hukuman dengan tindakan, maka perbatasan antara hukuman pokok dan hukuman tambahan akan menjadi samar.
Pembalasan sebagai tujuan pemidanaan kita jumpai pada apa yang dinamakan teori hukum pidana yang absolut. Di dalam kejahatan itu sendiri terletak pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat yang hendak dicapai. Ada pemidanaan, karena ada pelanggaran hukum; ini merupakan tuntutan keadilan. Demikian juga Hegel yang memandang pidana sebagai suatu keharusan yang logis, sebagai konsekuensi dari kejahatan, karena kejahatan adalah suatu pengingkaran terhadap ketertiban umum dari Negara, yang merupakan perwujudan dari cita-susila (sittliche Idee). Jadi pidana merupakan “Negation der Negation”.
Dengan demikian penegakan hukum itu bukan suatu proses logis semata, melainkan sarat dengan keterlibatan manusia di dalamnya. Hal itu berarti, bahwa penegakan hukum tidak dapat dilihat sebagai suatu proses logis linier, melainkan sesuatu yang kompleks. Masuknya faktor manusia menjadikan penegakan hukum sarat dengan dimensi perilaku dengan sekalian factor yang menyertainya. Penegakan hukum lalu bukan lagi merupakan hasil deduksi logis, melainkan lebih merupakan hasil dari pilihan-pilihan. Dengan demikian luaran (output) dari penegakan hukum tidak dapat hanya didasarkan pada ramalan logika semata, melainkan juga hal-hal yang “tidak menurut logika”.
Penegakan hukum dilakukan oleh institusi yang diberi wewenang untuk itu, seperti polisi, jaksa dan pejabat pemerintahan. Sejak hukum itu mengandung peringah dan pemaksaan (coercion), maka sejak semula hukum membutuhkan bantuan untuk mewujudkan perintah tersebut.
Hukum menjadi tidak ada artinya apabila perintahnya tidak (dapat) dilaksanakan. Diperlukan usaha dan tindakan manusia agar perintah dan paksaan yang secara potensial ada di dalam peraturan itu menjadi manifest . Donald Black menamakan dimensi keterlibatan manusia dalam hukum sebagai mobilisasi hukum. Dalam mobilisasi hukum inilah manusia turut campur sehingga hukum tidak hanya mengancam dan berjanji di atas kertas. “The day-by-day entry of cases into any legal system cannot be taken for granted. Cases of alleged illegality and disputes do not move automatically to legal agencies for disposition or settlement”.
Mobilisasi hukum yang dilakukan oleh para pemegang peran dalam penegakan hukum mengakibatkan diskriminasi hukum. Donal Black menyebutkan tentang adanya lima aspek variable yang menyebabkan terjadinya diskriminasi hukum, yaitu Stratifikasi, morfologi, kultur, organisasi, dan pengendalian social.
2. Disparitas Pidana
Menurut Sudarto, KUHP Indonesia tidak memuat pedoman pemberian pidana straftoemetingsleiddraad) yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana yang ada hanya aturan pemberian pidana straftoemetingsleiddraad).
Tidak adanya pedoman pemberian pidana yang umum menyebabkan hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan jenis pidana, cara pelaksanaan pidana dan tinggi atau rendahnya pidana. Bisa terjadi dalam suatu delik yang sama atau sifat berbahayanya sama tetapi pidananya tidak sama. Namun kebebasan ini tidak berarti bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana dengan kehendaknya sendiri tanpa ukuran tertentu.
Berkaitan dengan tidak adanya pedoman pemberian pidana, John Kaplan mengemukakan masalah sanksi pidana bahwa salah satu aspek yang paling kacau balau dari peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pemidanaan ialah kondisi dari KUHP itu sendiri. Secara mudah dapat ditunjukkan, bahwa dikebanyakan Negara sanksi-sanksi yang tersedia untuk delik-delik yang berbeda, sama sekali tanpa suatu dasar atau landasan yang rasional .Inilah yang pada gilirannya merupakan salah satu penunjang utama adanya perbedaan perlakuan terhadap para pelanggar yang kesalahannya sebanding. Tidak hanya di Indonesia saja, tetapi hamper seluruh Negara di dunia, mengalami apa yang disebut sebagai “the disturbing disparity of sentencing” yang mengundang perhatian lembaga legislatif serta lembaga lain yang terlibat di dalam system penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya.
Dalam “Judical attitudes”, dimana R.M Jackson dari Cambrige itu mengadakan suatu tinjauan mengenai Process of Sentencing, maka dikemukakan bahwa apabila pengadilan itu sudah mengetahui secukupnya tentang pelanggaran hukum yang dihadapkan kepadanya, acara yang disediakan kepadanya, ia masih harus menghadapi prinsip-prinsip apakah yang harus diterapkan olehnya. Juga di Inggris ia menghadapi suatu kenyataan, bahwa pada hakekatnya tidak terdapat suatu prinsip umum dalam perundang-undangan (statutes) ataupun dalam yurisprudensi (caselaw) bagi Pengadilan-Pengadilan dalam mengadili pelanggar-pelanggar hukum yang sudah dewasa.
Penjatuhan hukuman dan polanya, merupakan suatu hal yang sangat penting, terutama di dalam proses peradilan. Seorang hakim mempunyai wewenang yang sangat besar di dalam menentukan nasib seseorang, dalam arti, untuk menentukan kehidupan maupun kebebasannya. Penerapan wewenang tersebut secara wajar, merupakan harapan dari segala pihak dalam masyarakat. Dari seorang hakim diharapkan terjadinya keadalan yang benar-benar wajar dan dianggap proporsional.
D. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk menemukan sebuah teori dalam proses peradilan pidana sehingga dapat mencari solusi terbaik guna meminimalisir terjadinya disparitas penjatuhan sanski pidana oleh hakim (pengadilan).
2. Untuk dapat memberikan kontribusi positif bagi pengambil kebijakan guna mencegah atau mengurangi terjadinya disparitas penjatuhan sanksi pidana oleh hakim pengadilan).
E. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode kwalitatif dengan pendekatan non-doktrinal / empirik. Dipergunakan metode kwalitatif, mengingat dari permasalahan yang ada hendak mencari makna yang mendalam dan rinci terhadap fenomena yang diteliti. Pendekatan non-doktrinal/empirik dimaksudkan sebagai pemaparan dan pengkajian hubungan aspek hukum dengan aspek non hukum dalam bekerjan ya hukum di dalam kenyataan.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah bersifat discpritis sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian ini. Diskriptif ini bukan dalam arti sempat, artinya dalam memberikan gambaran tentang fenomena yang ada dilakukan sesuai dengan metode penelitian. Fakta-fakta yang ada digambarkan dengan interprestasi, evaluasi dan pengetahuan umum karena fakta tidak mempunyai arti tanpa interprestasi, evaluasi dan pengetahuan umum.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Banyumas.
4. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
a. Sumber Data Primair
1. Wawancara yang mendalam (indept interview)
Wawancara yang mendalam yaitu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu atau terpusat penelitian. Wawancara jenis ini merupakan proses menggali informasi secara langsung dan mendalam sebagai data primair.
2. Observasi non partisan (non participant observation)
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder diambil dari peraturan perundang-undangan, buku literatur, dokumen-dokumen serta arsip-arsip yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.
5. Teknik Pengambilan Informasi
Penelitian dilakukan secara terbuka dalam arti peneliti memperkenalkan diri kepada informan sebagai mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto, serta menjelaskan bahwa kajian ini dipergunakan untuk menyelesaikan tugas akhir.
6. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa kualitatif dengan cara berpikir deduktif, yang terdiri dari premis mayor, premis minor dan konklusi. Premis mayor berupa peraturan perundang-undangan yang mempunyai relevansi dengan materi penelitian sedangkan fakta-fakta sebagai premis minor, antara premis mayor dengan premis minor dihubungkan untuk dilakukan pembahasan yang kemudian ditarik suatu kesimpulan sebagai konklusinya.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika dari penulisan tesis yang akan dibuat adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kerangka Teori
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN UMUM
A. Pidana dan Pemidanaan
1. Pengertian Pidana
2. Teori-Teori Hukum Pidana
3. Jenis-Jenis Pidana
B. Tujuan Pemidanaan di Indonesia
C. Putusan Pengadilan
1. Pengertian Putusan
2. Bentuk Putusan Pengadilan
D. Disparitas Pidana
1. Pengertian Disparitas Pidana
2. Dampak Disparitas Pidana
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA
A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Pidana
B. Pengaruh Disparitas Pidana Terhadap Terpidana
C. Pengaruh Disparitas Pidana Terhadap Masyarakat
D. Usaha-Usaha Untuk Mengatasi / Mengurangi Timbulnya Disparitas Pidana.
BAB IV P E N U T U P
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta.
Angkasa, 1993, “Prisonisasi dan Permasalahannya terhadap Pembinaan Narapidana (Suatu Studi di Lembaga Pemasyarakatan Semarang dan Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto)”, Tesis S-2 Hukum UNDIP, Semarang.
Aryadi, Gregorius, 1995, Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.
Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
_______, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
_______, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Faisal, Sanapiah, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi, YA3, Malang.
Hanitijo Soemitro, Ronny, 1998, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Lamintang, P.A.F., 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung.
Moeljatno, 2002, Azaz-azaz Hukum Pidana, Rineke Cipta , Jakarta.
Muladi, 1985, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, Masalah-masalah Hukum, Fakultas Hukum UNDIP , Semarang.
_______, 1986, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Namawi Arief, Barda, 1996, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara.
________ , 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
_________ , 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Prodjodikoro, Wirjono, 2002, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.
Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
_________ , 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sahetapi, J.E 1988, “ Masalah-masalah Korban Ditinjau Dari Segi Viktimologi”, Ceramah Ilmiah, Fakultas Hukum UNTAG Semarang.
Said, Noor Aziz, 2002, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Sebagai Dasar Bagi Teoritisasi Hukum di Era Post Modernism”, Makalah Kuliah Teori Hukum PDIH UNDIP, Semarang.
Seno Adji, Oemar, 1984, Hukum-Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta.
Soche, Herman Harris, 1985, Supremasi Hukum dan Prinsip Demokrasi di Indonesia, PT. Hanindita, Yogyakarta.
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Sutopo, H.B, 1998, Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-dasar Teori dan Praktis, Pusat Penelitian UNS, Surakarta.
Unger, M, 1989, The Critical Legal Studies Movement, Terjemahan Ifdal Kasim, ELASAM, Jakarta.
Wisnubroto, AL, 1997, Hakim dan Peradilan di Indonesia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.
Buku Pintar Penataran P4, Tanpa Tahun, Departemen Kehakiman Repbulik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar