BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penggunaan sistem peradilan moderen sebagai sarana pendistribusi keadilan terbukti menjumpai sangat banyak hambatan. Adapun yang menjadi penyebab adalah karena peradilan moderen sarat dan beban formalitas, prosedur, birokrasi, serta metodologi yang ketat. Oleh karena itu, keadilan yang didistribusikan melalui lembaga peradilan diberikan melalui keputusan birokrasi bagi kepentingan umum karena cenderung berupa keadilan yang rasional. Maka tidak heran jika keadilan yang diperoleh masyarakat moderen tidak lain adalah keadilan birokratis.
Penyelesaian sengketa menggunakan pengadilan telah terbukti banyak menimbulkan ketidak puasan pada pihak-pihak yang bersengketa maupun masyarakat luas. Ketidak puasan masyarakat dilontarkan dalam bentuk pandangan sinis, mencemooh, dan mengujat terhadap kinerja pengadilan karena dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang bersengketa, menjauhkan pihak-pihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya perdagangan putusan hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada lembaga peradilan.
Kalangan masyarakat bisnis yang memerlukan kepastian hukum serta keamanan di dalam investasi maupun aktivitas perdagangannya takala terjadi sengketa menyangkut bisnis mereka, sangat kuatir terhadap kondisi badan peradilan yang dianggap telah carut marut semacam itu.
Dilatar belakangi oleh kondisi semacam itulah, muncul keinginan dari komunitas bisnis khususnya, untuk kemudian berpaling dan memiih model lain dalam penyelesain sengketa. Meskipun bentuk penyelesain yang dipilih itu tergolong masi serumpun dengan mekanisme pada badan peradilan, namun forum lain yang dipilih itu dianggap dapat memberikan alternatif serta ruang kebebasan kepada pihak-pihak dalam menentukan penyelesaian sengketa bisnis mereka. Pada gilirannya model yang dipilih tersebut memberikan peluang untuk mendapatkan rasa keadilan yang lebih manusiawi dan bermartabat.
B. Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang dan tujuan makalah di atas, maka dapat di tarik beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain :
1. Apa Pengertian Keadilan ?
2. Berbagai Macam Keadilan
3. Jelaskan Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan?
4. Apa Pengertian Hukum Keadilan?
5. Apa Kondisi Hukum Keadilan?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi tugas sekolah
2. Memberikan penjelasan mengenai pengertian Hukum dan Keadilan .
3. Menjelaskan Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan.
4. Memberikan Penjelasan tentang Pengadilan apakah tempat mencari keadilan atau kemenangan.
5. Mengajak masyarakat / pembaca dalam melakukan perbuatan agar sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Keadilan
Keadilan berasal dari bahasa Arab adil yang artinya tengah. Keadilan berarti menempatkan sesuatu di tengah-tengah, tidak berat sebelah atau dengan kata lain keadilan berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Adil adalah sifat perbuatana manusia. Menurut arti katanya “adil” artinya tidak sewenang-wenang pada diri sendiri maupun kepada pihak lain. Maksud dari ketidak sewenang-wenangnya dapat berupa keadaan :
· Sama (seimbang), Nilai yang tidak berbeda
· Tidak berat sebelah, perlakukan yang sama dan tidak pilih kasih
· Wajar, seperti apa adanya, tidak menyimpang, tidak lebih dan tidak kurang
· Patut / layak, dapat diterima karena sesuai, harmonis dan proporsional
· Perlakuan pada diri sendiri sama seprti perlakuan kepada pihak lain dan sebaliknya
Dalam konsep adil berlaku tolak ukur yang sama kepada pihak yang berbuat dan kepada pihak lain yang berbuat dan kepada pihak lain terhadap mana perbuatan itu ditujukan. Implikasinya, perlakuan kepada diri sendiri, seharusnya sama pula dengan perlakuan kepada pihak lain. Bagaimana berbuat adil kepada pihalk lain jika kepada diri sendiri saja tidak adil. Konsep adil (tidak sewenang-wenang) baru jelas bentuknya apabila sudah diwujudkan dalam perbautan nyata dan nilai yang di hasilkan atau akibat yang ditimbulkannya. Situasi dan kondisi juga ikut melakuakn perbuatan adil manusia.
Keadilan adalah pengakuan dan perilaku seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keserasian menuntut Hak dan Kewajiban atau dengan kata lain adalah keadilan adalah keadaan dimana setiap orang mendapatkan atau memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama. Ada hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban, hak haruslah di sertai dengan kewajiban begitu juga sebaliknya kewajiban haruslah disertai dengan hak.
Keadilan itu merupakan suatu perlakuan antara hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan secara bersamaan dan seimbang. Setiap orang ingin merasakan keadilan yang sama antar sesamanya. Adil dalam melaksanakan suatu situasi dan kondisi atau masalah jiwa seseorang yang memiliki jiwa sosial tinggi. Setiap warga Negara Indonesia wajib dan layak menerima atau memperoleh keadilan yang merata satu dengan yang lain sesuai dengan Hak Asasi Manusia baik dalam berbagai bidang.
Keadilan dan ketidakadilan tidak dapat di pungkiri karena dalam kehidupan manusia itu sendiri sering kali dan hampir setiap hari merasakan keadilan dan ketidakadilan. Oleh sebab itu keadilan dan ketidakadilan menimbulkan banyak perbincangan dan menjadi kreativitas tersendiri. Maka dari itu keadilan sangatlah penting dan untuk kehidupan sehari – hari karena akan menciptakan kesejahteraan untuk semua masyarakat bumi.
Keadilan tercantum dalam Pancasila dan yang paling utama ada dalam sila kelima yang berbunyi “ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang memiliki arti dan makna bahwa warga negara Indonesia berhak dan layak untuk mendapatkan keadilan yang merata dari pihak yang berwenang.
B. Mencari Keadilan
Pengadilan di sini bukan diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu “hal memberikan keadilan.” Hal memberikan keadilan berarti yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan konkritnya kepada yang mohon keadilan – apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya.
Eksistensi pengadilan sebagai lembaga yang berfungsi menyelenggarakan proses peradilan dalam menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat, tugas-tuganya diwakili oleh hakim. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta institusi peradilan dinegara ini ditentukan oleh kredibilitas dan profesionalitas hakim dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa serta menegakkan keadilan.
Jadi, para hakim dituntut untuk secara total melibatkan dirinya pada saat membuat putusan, bukan hanya mengandalkan kemahirannya mengenai perundang-undangan. Menurut Roeslan Saleh, seorang hakim diharapkan senantiasa menempatkan dirinya dalam hukum, sehingga hukum baginya merupakan hakekat dari hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap hukum sebagai suatu rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi kemerdekaannya, melainkan sebaliknya hukum harus menjadi sesuatu yang mengisi kemerdekaannya. Oleh karena “hukum itu bukan semata-mata peraturan atau undang-undang, tetapi lebih daripada itu: “perilaku.‟ Undangundang memang penting dalam negara hukum, akan tetapi bukan segalanya dan proses memberi keadilan kepada masyarakat tidak begitu saja berakhir melalui kelahiran pasal-pasal undang-undang.”
Seperti telah diutarakan di muka, bahwa dalam sistem hukum di mana pun di dunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan melalui lembaga pengadilannya. Namun demikian kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbul pertanyaan “apakah pengadilan itu tempat mencari keadilan atau kemenangan?”
Keadilan memang barang yang abstrak dan karena itu perburuan terhadap keadilan merupakan usaha yang berat dan melelahkan. Sementara itu, pengadilan sebagai institusi pendistribusi keadilan telah menjadi institusi modern yang dirancang secara spesifik bersamaan dengan munculnya negara modern sekitar abad ke delapan belas. Oleh sebab itu, pekerjaan mengadili tidak lagi hanya bersifat mengadili secara substansial seperti pada masa lampau ketika Khadi Justice, yaitu suatu peradilan yang tidak berorientasi kepada “fixed rules of formally rational law,” melainkan kepada hukum substantif yang bertolak dari postulat-postulat etika, religi, politik, dan lain-lain pertimbangan kemanfaatan. Setelah menjadi institusi modern, pengadilan merupakan penerapan dari prosedur yang ketat.
Berdasarkan optik sosiologi hukum yang lebih memperhatikan fungsi dari badan yang menjalankan fungsi mengadili, maka dalam rangka menemukan keadilan serta dimana keadilan diputuskan, faktor lembaga atau badan pemutus keadilan yang diakui menjadi tidak penting. Putusan tentang keadilan dapat dilakukan dimana saja dalam masyarakat, tidak perlu harus di pengadilan.
C. Keadilan Bagi Masyarakat
Secara teori Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar.
JohnRawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran”
Keadilan juga dapat diartikan sebagai makin sempitnya kesenjangan yang terjadi. Maka keadilan dalam masyarakat adalah terciptanya keseimbangan dan makin sempitnya kesenjangan yang terjadi dalam kehidupan. Jika makin sempitnya kesenjangan yang terjadi adalah kesejahteraan bersama. Ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan dalam kehidupan setiap insan.
D. Keadilan sosial
“Giving to each what he or she is due”, memberikan kepada siapa yang memang pantas mendapatkannya. Kenapa manusia harus berbuat adil? Kenapa harus berusaha juga menegakkan keadilan di muka bumi ini? Tuhan Maha Adil, manusia sebagai ciptaan Tuhan dituntut untuk menegakkan keadilan di dunia ini. Dirinya harus mencoba merealisasikan keadilan sebagaisifat Tuhan, menjadikannya sebagai sifat dirinya.Keadilan sosial mengandung arti memelihara hak-hak individu dan memberikan hak-hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Karena manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa berdiri sendiri dalam memenuhi segala kebutuhannya.Inilah salah satu alasan Tuhanmenciptakan manusia dalam beragam warna kulit danbahasa, suku dan ras, agar tercipta sebuah kebersamaan dan keharmonisan di antaramanusia. Dengan manusia saling memenuhi kebutuhan masing-masing, makakebersamaan dan saling ketergantunganpun tercipta, dan ini merupakan keadilan Tuhan yang Maha Adil.Ketika manusia sebagai makhluk sosial, maka secara otomatis pula ada hak dankewajiban di antara mereka. Hak dan kewajiban adalah dua hal timbal balik, yang tidak mungkin ada salah satunya jika yang satunya lagi tidak ada. Ketika ada hak yang harusdierima, otomatis juga ada kewajiban yang harus diberikan.Keadilan merupakan pokok terpenting untuk menciptakan tatanan dunia yang damaidan makmur, tanpa ada diskriminasi dan pelanggaran HAM di antara sesama.
E. Berbagai Macam Keadilan
- Keadilan Legal atau keadilan moral
Plato berpendapat bahwa keadilan legal atau keadilan moral adalah keadilan yangmengikuti penyesuaian atau pemberian tempat seseorang dalam masyarakat sesuaidengan kemampuannya, dan yang dianggap sesuai dengan kemampuan yangbersangkutan. Keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum darimasyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakatyang adil setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (Than man behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilanmoral, sedangkan Sunoto menyebutnya keadilan legal.
- Keadilan Distributif
Rani saat ini duduk di kelas 1 SMA dan adiknya Leni saat ini duduk di kelas 4 SD. Namun kedua orang tua mereka memberikan uang jajan yang sama besar. Hal tersebut tidak adil karena seharusnya uang jajan Rani dan Leni dibedakan karena usia mereka yang terpaut jauh dan kebutuhan sekolah yang berbeda. Itu adalah contoh dari keadilan distributif seperti Aristoles berpendapat bahwakeadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara samadan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals aretreated equally).
- Keadilan komutatif
Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang samabanyaknya, tanpa mengingat berapa besar jasa-jasa yang telah diberikan (dari katacommute = mengganti, menukarkan, memindahkan). Keadilan ini bertujuanmemelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristotelespengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalammasyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidak adilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
F. Fenomena Keadilan di Indonesia
Setiap manusia berhak memperoleh keadilan, baik itu dari masyarakat maupun dari negara. Seperti yang tercantum dalam pancasila, sila ke-5 yang berbunyi : “keadlian bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hal ini sangat jelas bahwa seluruh rakyat indonesia berhak mendapat keadilan tanpa terkecuali. Tidak pandang bulu, entah itu pejabat, rakyat kecil, orang kaya atau miskin. Semua berhak mendapat keadilan yang merata, maka dari itu keadilan sangat berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi manusia dianggap sebagai hak dasar yang sangat penting untuk dilindungi dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Agar terwujud dengan baik, maka perlu diberlakukan sanksi bagi siapa saja yang telah melanggar hak asasi manusia dan di sinilah peran hukum sangat dibutuhkan.
G. Pengertian Hukum Keadilan
Hukum keadilan adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer.
H. Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan
Membicarakan mengenai perilaku hukum dan budaya hukum tentu tidak dapat menghidarkan diri dari pembicaraan tentang sistem hukum, karena perilaku dan budaya hukum keduanya merupakan unsur dari sistem hukum. Di samping kedua unsur tersebut, Kees Schuit menguraikan unsur-unsur yang termasuk dalam suatu sistem hukum, yaitu:
1. Unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri atas aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut “sistem hukum.”
2. Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasiorganisasi dan lembaga-lembaga, yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Yang termasuk ke dalamnya adalah juga para pengemban jabatan (ambtsdrager), yang berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga.
3. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-perbuatan konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari para pengemban jabatan maupun dari para warga masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem hukum itu.
Sementara itu L.M. Friedman mengungkapkan tiga komponen dari sistem hukum. Ketiga komponen dimaksud adalah: (1) struktur, (2) substansi, dan (3) kultur atau budaya. Pertama, sistem hukum mempunyai struktur, yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas: jumlah serta ukuran pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga mengenai penataan badan legislatif. Kedua, substansi, yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Termasuk ke dalam pengertian substansi ini juga “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Ketiga, adalah kultur atau budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum–kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.
Selanjutnya Friedman merumuskan budaya hukum sebagai sikapsikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum.
Demikian juga kesenangan atau ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian dari budaya hukum. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa yang disebut budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Friedman juga membedakan budaya hukum menjadi external and internal legal culture. Esmi Warassih Pujirahayu mengelaborasi hal ini lebih lanjut yaitu bahwa, budaya hukum seorang hakim (internal legal culture) akan berbeda dengan budaya hukum masyarakat (external legal culture). Bahkan perbedaan pendidikan, jenis kelamin, suku, kebangsaan, pendapatan, dan lain-lain dapat merupakan faktor yang mempengaruhi budaya hukum seseorang. Budaya hukum merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam sistem hukum yang lain. Selanjutnya dikemukakan bahwa, “penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri.”
Mengacu pada pendapat tersebut, tidak ada keraguan kalau penggunaan lembaga pengadilan sebagai tempat menyelesaikan sengketa sesungguhnya tidak cocok dengan nilai-nilai yang hidup dan dihayati masyarakat pribumi Indonesia. Masalahnya, seperti telah diungkapkan di muka dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang digunakan dewasa ini merupakan hasil transplantasi sistem hukum asing (Eropa) ke tengah tata hukum (legal order) masyarakat pribumi Indonesia, sehingga sangat wajar apabila lembaga pengadilan yang merupakan bagian sekaligus penyangga dari sistem hukum modern itu meski telah dintroduksikan ke dalam sistem hukum Indonesia selama enam dekade sejak tahun 1942, namun tetap saja merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.”
I. Kondisi Hukum Keadilan
Di era reformasi ini, kekuasaan kehakiman (lembaga yudikatif), yang sudah lebih dimandirikan berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 1999, justru menjadi lebih korup dibandingkan dengan lembaga eksekutif dan legislatif. Kebebasan lebih luas yang oleh UU kepada para hakim untuk bebas melakukan korupsi peradilan dengan berbagai variasinya (Moh. Mahfud MD, 2010:166).
Pada akhir Juni 2006 yang lalu, hakim Herman Alositandi dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara oleh pengadilan karena terbukti ia menyuruh seorang panitera untuk memeras seorang saksi kasus Jamsostek dengan ancaman saksi tersebut akan dijadikan tersangka. Pada pekan yang sama, mantan Hakim Tinggi, Harini Wijoso, juga divonis 4 tahun penjara karena terbukti berusaha menyuap majelis Hakim Agung (Moh. Mahfud MD, 2010:166).
Harini Wijoso terbukti melakukan permufakatan jahat dengan melakukan percobaan suap terhadap hakim agung di MA untuk memengaruhi putusan kasasi kasus Probosutedjo. Harini dikenai Pasal 6 ayat 1 huruf a UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Tipikor. Selain itu, Harini juga dijerat dengan Pasal 15 dan 13 undang-undang tersebut karena telah berusaha memengaruhi para penyelenggara negara dengan cara memberi hadiah kepada para pejabat atau penyelenggara negara tersebut (Ramli dalam Deni Setyawati, 2008:75)
Tak ada yang membantah tentang bobroknya dunia peradilan sekarang ini. Padahal lembaga peradilan adalah harapan utama untuk tampil sebagai leading sector dalam pemberantasan KKN, dengan logikanya: Indonesia hancur atau terperosok ke dalam krisis karena korupsi, korupsi subur dan sulit diberantas karena lembaga peradilan juga korupsi. Dengan demikian, salah satu persoalan utama terletak di korupnya dunia peradilan. Karena korupnya lembaga kekuasaan kehakiman, maka lembaga-lembaga penegak hukum yang lain seperti kejaksaan, kepolisian, dan pengacara juga menjadi semakin korup. Misalnya, banyak pengacara yang lebih mengandalkan lobi dalam menangani kasus, bukan mengandalkan kelihaian dalam membangun argumen yuridis untuk memenangkan perkara. Bahkan untuk kasus-kasus yang melibatkan orang penting, tim pengacaranya dilengkapi juga dengan tim lobi yang mencari peluang-peluang untuk memenangkan perkara secara manipulatif. Lebih buruk lagi, ditengara bahwa sekarang ini saksi ahli pun bisa dipesan untuk mengatakan hal tertentu dengan tarif imbalan tertentu pula (Moh. Mahfud MD, 2010:166).
Beberapa contoh di atas, yang menunjukkan bahwa berbagai peraturan selalu bisa diakali, memperkuat pendapat yang mengatakan bahwa korupsi di Indonesia adalah budaya. Namun, Sabastian Pompe, penulis buku The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, mengatakan “nonsens” menyebut korupsi sebagai budaya bangsa Indonesia. Dalam kaitannya dengan dunia peradilan, menurut Pompe, judicial corruptionbaru muncul setelah peristiwa Malari tahun 1974 ketika lembaga peradilan dibina dengan sistem (dan mulai dimasuki oleh) kepemimpinan militer. Itu terjadi ketika Soeharto mulai melangkah unuk mengokohkan kekuasaannya dengan mengkooptasi kekuasaan kehakiman. Sejak itu, kata Pompe, terjadilah kebiasaan melayani (pemberian amplop atau upeti) di kalangan hakim (Sebastian Pompe dalam Moh. Mahfud MD, 2010).
Pendapat Pompe itu sejalan dengan hasil studi yang pernah penulis (Moh. Mahfud MD) lakukan yang menunjukkan bahwa dalam periode tertentu sejarah Indonesia, tepatnya pada tahun 1950-an, ternyata hukum dapat ditegakkan dengan baik melalui pimpinan yang tegas dan penuh integritas dalam menegakkab hukum. Pada masa itu, tercatat nama harum Jaksa Agung, Soeprapto, yang tegas mengajukan siapapun, termasuk menteri, ke pengadilan karena tindak pelanggaran hukum. Selain itu, pada saat itu muncul hakim-hakim yang jujur dan berani menghukum pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana.
Dengan demikian, pandangan bahwa korupsi adalah budaya bangsa tidak dapat diterima atas dasar dua hal. Pertama, pandangan itu bertentangan dengan fakta sejarah. Kedua, mempercayai pandangan itu berarti percaya pula bahwa apa pun yang akan mengalami kegagalan mengingat budaya itu sangat sulit untuk diubah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai penutup, beberapa simpulan dapat dikemukakan sebagai berikut;
1. Dalam menegakkan hukum dan keadilan sudah seyogianya hal-hal berikut ini menjadi pemandu aparatur yang terlibat dalam penegakan hukum terutama hakim sebagai ujung tombak pendistribusi keadilan kepada masyarakat. Pertama, berani mencari jalan baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara menjalankan hukum yang “lama dan tradisional” yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan; Kedua, dalam kapasitas masing-masing penegak hukum (apakah sebagai hakim, jaksa, birokrat, advokat, pendidik, dan lain-lain) didorong untuk selalu bertanya kepada nurani tentang makna hukum lebih dalam. Apa makna peraturan, prosedur, asas, doktrin, dan lainnya itu? Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan kepedulian dan semangat keterlibatan (compassion) kepada bangsa kita yang sedang menderita.
2. Perasaan kepedulian dan semangat keterlibatan dalam proses penegakan hukum dan keadilan terutama harus dimiliki oleh seorang hakim, karena abatan hakim adalah jabatan terhormat, sehingga hakim merupakan anggota masyarakat yang terkemuka dan terhormat. Melekat pada predikatnya sebagai insan yang terhormat, suatu keniscayaan bagi seorang hakim untuk memayungi dirinya dengan “etika spiritual dan moral” dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil Tuhan di dunia dalam memberikan keadilan. Etika spiritual dan moral ini tercitrakan ada jiwa, semangat, dan nilai „mission sacre‟ kemanusiaan. Suatu keterpanggilan dan pertanggungjawaban suci dari umat manusia dalam menegakkan keadilan dan hukum (law enforcement), toleran, sehingga dapat menerima dan memberi di dalam perbedaan budaya (multicultural), serta mendasarkan diri pada kehidupan beragama.
B. Saran
Selain kesimpulan, penyusun juga ingin menyampaikan beberapa saran demi kesempurnaan makalah ini, antara lain :
· Menjadikan Peraturan yang berlaku di Indonesia sebagai tolak ukur kita dalam melakukan suatu perbuatan yang berkenaan dengan hukum.
· Meningkatkan keadilan terhadap masyarakat tanpa memandang statusnya.
· Selalu menjunjung keadilan dalam menegakkan hukum di Indonesia,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar