Selasa, 07 Februari 2017

UNDANG-UNDANG SISDIKNAS: ANTARA HAM, DEMOKRATISASI, DAN PLURALISME

UNDANG-UNDANG SISDIKNAS: ANTARA HAM,
DEMOKRATISASI, DAN PLURALISME



Abstrak

        Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah disahkan  oleh Presiden Republik Indonesia dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 08 Juli 2003. Hal ini merupakan akhir dan jawaban bagi kalangan/kelompok/organisasi yang selama ini menyatakan pro dan kontra dengan terbitnya undang-undang ini.
        Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sebelumnya) dinilai dan dipandang tidak memadai dan tidak akomodatif lagi sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tantangan global, sehingga perlu dilakukan pemabaharuan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang lama agar hakekat tujuan pendidikan dapat tercapai.
        Guna tercapainya suatu undang-undang sistem pendidikan yang baik tersebut, dalam perjalanannya tidak sedikit mendapat rintangan dan halangan dari berbagai kalangan/kelompok/organisasi baik antara yang pro maupun kontra. Bahkan ada yang menggunakan kesempatan ini untuk menguatkan dan mendukung aksi politiknya (mempolitisasi), sehingga tulisan yang disampaikan ini menyampaikan pandangan/pendapat tentang berbagai kalangan/kelompok organisasi antara yang pro dan kontra terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru dari sudut Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi, dan pluralisme.

Pendahuluan

        “Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) disahkan secara aklamasi”, demikian topik yang menghiasi sebagian besar media cetak lokal dan nasional. Kurang lebih 2 (dua) tahun Pokja Dewan merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut dengan dihujani kontroversial dari berbagai kalangan. Kita patut mengucapkan syukur kepada Allah SWT dan bangga pada anggota Dewan yang secara aklamasi mengesahkan RUU Sisdiknas menjadi Undang-Undang meskipun tanpa kehadiran salah satu fraksi.
        UU Sisdiknas (sebelumnya RUU) telah menjadi perdebatan sengit antara yang pro dan kontra, terutama pada Pasal 13 ayat 1 yang berbunyi : “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut, diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Pasal ini mengandung pengertian bahwa setiap satuan pendidikan yang memiliki karakteristik agama yang berbeda dengan peserta didik yang mengikuti pendidikan di satuan pendidikannya, meskipun jumlahnya tidak signifikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama dan menyediakan pendidiknya yang seagama dengan peserta didik tersebut. Hal inilah yang menjadi kontroversi para tokoh, kalangan, dan berbagai organisasi masyarakat.

Menjunjung Hak Asasi Manusia (HAM)
        Kalangan yang menolak UU Sisdiknas, menegaskan bahwa keharusan menyelenggarakan pendidikan agama bagi satuan pendidikan yang menerima peserta didik yang berbeda agama merupakan pemaksaan kehendak dan intervensi terlalu jauh pihak pemerintah. Inilah yang mereka maksud pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), tidak mencerminkan sikap demokratis dan diskriminatif. Pendidikan agama sebaiknya diserahkan kepada masyarakat dan sudah selayaknya tidak diatur dalam Undang-Undang Sisdiknas. Bahkan pendidikan agama yang dilaksanakan selama ini tidak nampak faedahnya, banyak masyarakat Indonesia dalam mengaplikasikan hidupnya jauh dari nilai-nilai agama, sehingga kegiatan-kegiatan maksiat, kolusi, korupsi semakin merajalela. Hal senada disampaikan oleh kurang lebih 40 (empat puluh) kelompok yang mengatasnamakan lembaga, asosiasi, dan organisasi masyarakat (Media Indonesia, 09/06/03) bahwa RUU/UU Sisdiknas bukan semata-mata pro dan kontra, tetapi sudah merupakan pelanggaran HAM, Tujuan Nasional, UUD 1945, dan miskin filosofi dan substansi.
        Kita sebagai umat dan bangsa beragama merasa prihatin dan nelangsa melihat kondisi seperti itu. Negara Indonesia adalah negara agamis “katanya”, tetapi ketika permasalahan agama (termasuk pendidikan agama) diatur dalam sebuah undang-undang terjadi berbagai kontroversi. Barangkali kontroversi dinilai baik dan sah-sah saja sepanjang substansinya mengarah pada perbaikan hasil yang optimal. Yang menjadi permasalahan adalah terjadinya kontroversi yang tendensius dan dipolitisasi. Kita semua merasa prihatin, sekian tahun kita bernafas di era reformasi dan jauh dari masa orde baru masih ada kelompok-kelompok yang mau dimanfaatkan dan memanfaatkan. Sebaiknya semua pihak harus bisa berlapang dada, legowo, berhati dingin dan berpikiran jernih sehingga semua permasalahan termasuk masalah Pendidikan Agama dalam UU Sisdiknas dapat diselesaikan.
        Kita semua menyadari bahkan sepakat, bahwa pendidikan agama perlu dan penting untuk disampaikan di berbagai satuan pendidikan. Kalau di atas disebutkan dengan adanya pendidikan agama masyarakat masih tetap jauh dengan nilai-nilai agama, maksiat dan kejahatan terjadi di mana-mana, kolusi, korupsi, dan nepotisme, dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi seandainya pendidikan agama di satuan-satuan pendidikan ditiadakan.
        Negara Indonesia bukan negara sekular seperti di Barat atau negara agama di Timur Tengah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila, artinya sebagai filosofi, pandangan hidup dalam berbangsa, bernegara, dan kehidupan beragama. Meskipun negara Indonesia berdasarkan Pancasila, mempersilakan masyarakatnya untuk melaksanakan agama dan kepercayaannya sesuai dengan keyakinannya. Umat Islam dipersilakan bahkan mengharuskan menjalankan agama Islam secara kaffah tidak setengah-setengah agar menjadi muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (sila pertama dalam Pancasila). Demikian pula dengan masyarakat nonmuslim, dipersilakan menjalankan agama dan kepercayaan sesuai dengan keyakinannya agar beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (sekali lagi sila pertama dalam Pancasila). Inilah yang dimaksud Pancasila sebagai dasar negara. Dalam kehidupan beragama dan antar agama dapat hidup rukun, damai, dan berdampingan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
        Mengapa UU Sisdiknas mengatur masalah pendidikan agama? Pancasila dijadikan sebagai landasan filosofis dalam penyusunannya, dalam sila pertamanya menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bermakna setiap warga negara Indonesia wajib beriman dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya setiap warga negara harus memeluk suatu agama atau kepercayaan yang diakui di Indonesia. Pemeluk suatu agama atau kepercayaan akan beriman dan terus bertambah keimanannya kalau terus-menerus belajar dan menambah ilmu agamanya. Dengan kata lain pendidikan agama sangat diperlukan.
        Kaitannya dengan HAM, pasal tentang pendidikan agama dalam UU Sisdiknas tidak bertentangan. Pasal tersebut seiring dan selaras dengan Deklarasi Umum (Universal Declaration of Human Right) PBB, Pasal 18 yang berbunyi “Setiap orang mempunyai hak dan kebebasan dalam berpikir, berhati nurani, dan beragama; sesorang juga bebas mengubah agama atau kepercayaan sesuai keyakinannyaserta berhak mendapat kesempatan untuk mengaplikasikan agama dan keyakinannya dalam pengajaran, peribadatan, dan kehidupan sehari-hari” (dalam Kuntjoro Purbopranoto, 1969). Demikian pula dalam UUD 1945, Pasal 29, ayat 1 dan 2, bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya. Jelaslah, pasal tentang pendidikan agama dalam UU Sisdiknas tidak melanggar HAM dan UUD 1945, justru sebaliknya sebagai wujud pengejawantahan HAM dan UUD 1945.

Menjamin Pemerataan Kesempatan (Demokratisasi) dan Pluralisme
        Mengatur pendidikan agama melalui UU Sisdiknas sebagai langkah antisipatif pemerintah terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran praktik pendidikan agama oleh satuan-satuan pendidikan. Tidak dibenarkan satuan pendidikan yang berkarakteristik agama nonmuslim menerima peserta didik muslim tetapi tidak menyelenggarakan pendidikan agama Islam dan tetap tidak dibenarkan meskipun menyelenggarakan pendidikan agama Islam tetapi diajarkan oleh pendidik nonmuslim. Hal ini dipandang dapat merusak pemahaman spiritual peserta didik yang berakibat semakin menjauhkan diri individu bersangkutan tergadap nilai-nilai Ketuhanan. Ahmad Fuad Fanani (Pikiran Rakyat, 04/06/03) menegaskan bahwa pengajaran agama oleh guru yang seagama adalah kenyataan objektif  yang harus diterima semua orang. Dengan begitu, pemahaman agama seseorang akan sesuai dengan sumber aslinya dan terjamin dari reduksi tertentu.
        Undang-Undang Sisdiknas telah disahkan, pasal dan ayat yang mengatur pendidikan agama merupakan wujud nyata penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam beragama dan mendapatkan pengajaran agama, mengatur dan menjamin kebebasan untuk memilih dan menentukan agama dan kepercayaan yang diyakininya. Melalui undang-undang ini diharapkan masyarakat disiapkan sejak dini memiliki kebebasan demokratis dengan saling menghargai dan menghormati serta menanamkan sikap pluralis; hidup damai sejahtera di tengah-tengah keanekaragaman beragama.

Penutup

        Kita sependapat bahwa perbedaan pendapat tidak dilarang, bahkan dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi yang berharga sebagaimana yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Yang menjadi permasalahan adalah penyampaian pendapat yang tendensius dan cenderung dipolitisasi yang perlu diwaspadai karena hanya menguntungkan pihak tertentu, tetapi mengorbankan kepentingan masyarakat banyak.
        UU Sisdiknas telah memuat pasal-pasal universal dan komprehensif, menghargai HAM dan pluralisme, serta demokratisasi bagi semua agama. Yang perlu diantisipasi selanjutnya adalah terjadinya pelanggaran-pelanggaran UU Sisdiknas, inilah yang menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi kita semua.
* * *

Kepustakaan :

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Fuad Fanani, Ahmad. RUU Sisdiknas, Problem Relasi Agama dan Negara?. Pikiran Rakyat, 04 Juni 2003.
Purbopranoto, Kuntjoro. Hak-hak Asasi Manusia dan Pancasila. Jakarta: Pradnya Paramita. 1969.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar