UNDANG-UNDANG SISDIKNAS: ANTARA HAM,
DEMOKRATISASI, DAN PLURALISME
Abstrak
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 08 Juli 2003. Hal ini merupakan akhir dan
jawaban bagi kalangan/kelompok/organisasi yang selama ini menyatakan pro dan
kontra dengan terbitnya undang-undang ini.
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sebelumnya) dinilai dan
dipandang tidak memadai dan tidak akomodatif lagi sesuai dengan amanat
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sistem
pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan dalam
menghadapi tantangan global, sehingga perlu dilakukan pemabaharuan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang lama agar hakekat tujuan
pendidikan dapat tercapai.
Guna tercapainya suatu undang-undang
sistem pendidikan yang baik tersebut, dalam perjalanannya tidak sedikit
mendapat rintangan dan halangan dari berbagai kalangan/kelompok/organisasi baik
antara yang pro maupun kontra. Bahkan ada yang menggunakan kesempatan ini untuk
menguatkan dan mendukung aksi politiknya (mempolitisasi), sehingga tulisan yang
disampaikan ini menyampaikan pandangan/pendapat tentang berbagai
kalangan/kelompok organisasi antara yang pro dan kontra terhadap Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional yang baru dari sudut Hak Asasi Manusia (HAM),
demokratisasi, dan pluralisme.
Pendahuluan
“Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas)
disahkan secara aklamasi”, demikian topik yang menghiasi sebagian besar media
cetak lokal dan nasional. Kurang lebih 2 (dua) tahun Pokja Dewan merumuskan
Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut dengan dihujani kontroversial dari
berbagai kalangan. Kita patut mengucapkan syukur kepada Allah SWT dan bangga
pada anggota Dewan yang secara aklamasi mengesahkan RUU Sisdiknas menjadi
Undang-Undang meskipun tanpa kehadiran salah satu fraksi.
UU Sisdiknas (sebelumnya RUU) telah menjadi perdebatan sengit
antara yang pro dan kontra, terutama pada Pasal 13 ayat 1 yang berbunyi :
“Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan
agama sesuai dengan agama yang dianut, diajarkan oleh pendidik yang seagama”.
Pasal ini mengandung pengertian bahwa setiap satuan pendidikan yang memiliki
karakteristik agama yang berbeda dengan peserta didik yang mengikuti pendidikan
di satuan pendidikannya, meskipun jumlahnya tidak signifikan wajib
menyelenggarakan pendidikan agama dan menyediakan pendidiknya yang seagama
dengan peserta didik tersebut. Hal inilah yang menjadi kontroversi para tokoh,
kalangan, dan berbagai organisasi masyarakat.
Menjunjung Hak
Asasi Manusia (HAM)
Kalangan yang menolak UU Sisdiknas, menegaskan bahwa
keharusan menyelenggarakan pendidikan agama bagi satuan pendidikan yang
menerima peserta didik yang berbeda agama merupakan pemaksaan kehendak dan
intervensi terlalu jauh pihak pemerintah. Inilah yang mereka maksud pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM), tidak mencerminkan sikap demokratis dan diskriminatif.
Pendidikan agama sebaiknya diserahkan kepada masyarakat dan sudah selayaknya
tidak diatur dalam Undang-Undang Sisdiknas. Bahkan pendidikan agama yang
dilaksanakan selama ini tidak nampak faedahnya, banyak masyarakat Indonesia
dalam mengaplikasikan hidupnya jauh dari nilai-nilai agama, sehingga
kegiatan-kegiatan maksiat, kolusi, korupsi semakin merajalela. Hal senada
disampaikan oleh kurang lebih 40 (empat puluh) kelompok yang mengatasnamakan
lembaga, asosiasi, dan organisasi masyarakat (Media Indonesia, 09/06/03) bahwa
RUU/UU Sisdiknas bukan semata-mata pro dan kontra, tetapi sudah merupakan
pelanggaran HAM, Tujuan Nasional, UUD 1945, dan miskin filosofi dan substansi.
Kita sebagai umat dan bangsa beragama merasa prihatin dan nelangsa
melihat kondisi seperti itu. Negara Indonesia adalah negara agamis
“katanya”, tetapi ketika permasalahan agama (termasuk pendidikan agama) diatur
dalam sebuah undang-undang terjadi berbagai kontroversi. Barangkali kontroversi
dinilai baik dan sah-sah saja sepanjang substansinya mengarah pada perbaikan
hasil yang optimal. Yang menjadi permasalahan adalah terjadinya kontroversi
yang tendensius dan dipolitisasi. Kita semua merasa prihatin, sekian tahun kita
bernafas di era reformasi dan jauh dari masa orde baru masih ada
kelompok-kelompok yang mau dimanfaatkan dan memanfaatkan. Sebaiknya semua pihak
harus bisa berlapang dada, legowo, berhati dingin dan berpikiran jernih
sehingga semua permasalahan termasuk masalah Pendidikan Agama dalam UU
Sisdiknas dapat diselesaikan.
Kita semua menyadari bahkan sepakat, bahwa pendidikan agama
perlu dan penting untuk disampaikan di berbagai satuan pendidikan. Kalau di
atas disebutkan dengan adanya pendidikan agama masyarakat masih tetap jauh
dengan nilai-nilai agama, maksiat dan kejahatan terjadi di mana-mana, kolusi,
korupsi, dan nepotisme, dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi seandainya
pendidikan agama di satuan-satuan pendidikan ditiadakan.
Negara Indonesia bukan negara sekular seperti di Barat atau
negara agama di Timur Tengah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan
Pancasila, artinya sebagai filosofi, pandangan hidup dalam berbangsa,
bernegara, dan kehidupan beragama. Meskipun negara Indonesia berdasarkan
Pancasila, mempersilakan masyarakatnya untuk melaksanakan agama dan
kepercayaannya sesuai dengan keyakinannya. Umat Islam dipersilakan bahkan
mengharuskan menjalankan agama Islam secara kaffah tidak
setengah-setengah agar menjadi muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa (sila pertama dalam Pancasila). Demikian pula dengan masyarakat
nonmuslim, dipersilakan menjalankan agama dan kepercayaan sesuai dengan
keyakinannya agar beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (sekali lagi
sila pertama dalam Pancasila). Inilah yang dimaksud Pancasila sebagai dasar
negara. Dalam kehidupan beragama dan antar agama dapat hidup rukun, damai, dan
berdampingan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengapa UU Sisdiknas mengatur masalah pendidikan agama?
Pancasila dijadikan sebagai landasan filosofis dalam penyusunannya, dalam sila
pertamanya menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bermakna setiap warga negara
Indonesia wajib beriman dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya setiap
warga negara harus memeluk suatu agama atau kepercayaan yang diakui di
Indonesia. Pemeluk suatu agama atau kepercayaan akan beriman dan terus
bertambah keimanannya kalau terus-menerus belajar dan menambah ilmu agamanya.
Dengan kata lain pendidikan agama sangat diperlukan.
Kaitannya dengan HAM, pasal tentang pendidikan agama dalam UU
Sisdiknas tidak bertentangan. Pasal tersebut seiring dan selaras dengan
Deklarasi Umum (Universal Declaration of Human Right) PBB, Pasal 18 yang
berbunyi “Setiap orang mempunyai hak dan kebebasan dalam berpikir, berhati
nurani, dan beragama; sesorang juga bebas mengubah agama atau kepercayaan
sesuai keyakinannyaserta berhak mendapat kesempatan untuk mengaplikasikan agama
dan keyakinannya dalam pengajaran, peribadatan, dan kehidupan sehari-hari”
(dalam Kuntjoro Purbopranoto, 1969). Demikian pula dalam UUD 1945, Pasal 29,
ayat 1 dan 2, bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara
menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya.
Jelaslah, pasal tentang pendidikan agama dalam UU Sisdiknas tidak melanggar HAM
dan UUD 1945, justru sebaliknya sebagai wujud pengejawantahan HAM dan UUD 1945.
Menjamin
Pemerataan Kesempatan (Demokratisasi) dan Pluralisme
Mengatur pendidikan agama melalui UU Sisdiknas sebagai
langkah antisipatif pemerintah terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran
praktik pendidikan agama oleh satuan-satuan pendidikan. Tidak dibenarkan satuan
pendidikan yang berkarakteristik agama nonmuslim menerima peserta didik muslim
tetapi tidak menyelenggarakan pendidikan agama Islam dan tetap tidak dibenarkan
meskipun menyelenggarakan pendidikan agama Islam tetapi diajarkan oleh pendidik
nonmuslim. Hal ini dipandang dapat merusak pemahaman spiritual peserta didik
yang berakibat semakin menjauhkan diri individu bersangkutan tergadap nilai-nilai
Ketuhanan. Ahmad Fuad Fanani (Pikiran Rakyat, 04/06/03) menegaskan bahwa
pengajaran agama oleh guru yang seagama adalah kenyataan objektif yang harus diterima semua orang. Dengan
begitu, pemahaman agama seseorang akan sesuai dengan sumber aslinya dan terjamin
dari reduksi tertentu.
Undang-Undang Sisdiknas telah disahkan, pasal dan ayat yang
mengatur pendidikan agama merupakan wujud nyata penghargaan terhadap hak asasi
manusia dalam beragama dan mendapatkan pengajaran agama, mengatur dan menjamin
kebebasan untuk memilih dan menentukan agama dan kepercayaan yang diyakininya.
Melalui undang-undang ini diharapkan masyarakat disiapkan sejak dini memiliki
kebebasan demokratis dengan saling menghargai dan menghormati serta menanamkan
sikap pluralis; hidup damai sejahtera di tengah-tengah keanekaragaman beragama.
Penutup
Kita sependapat bahwa perbedaan pendapat tidak dilarang,
bahkan dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi yang berharga sebagaimana yang
dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Yang menjadi permasalahan adalah penyampaian
pendapat yang tendensius dan cenderung dipolitisasi yang perlu diwaspadai
karena hanya menguntungkan pihak tertentu, tetapi mengorbankan kepentingan
masyarakat banyak.
UU Sisdiknas telah memuat pasal-pasal universal dan
komprehensif, menghargai HAM dan pluralisme, serta demokratisasi bagi semua
agama. Yang perlu diantisipasi selanjutnya adalah terjadinya
pelanggaran-pelanggaran UU Sisdiknas, inilah yang menjadi pekerjaan rumah (PR)
bagi kita semua.
*
* *
Kepustakaan :
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Fuad Fanani, Ahmad. RUU Sisdiknas, Problem
Relasi Agama dan Negara?. Pikiran Rakyat, 04 Juni 2003.
Purbopranoto, Kuntjoro. Hak-hak Asasi Manusia
dan Pancasila. Jakarta: Pradnya Paramita. 1969.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar