Kamis, 09 Februari 2017

makalah Utang piutang dalam islam

Utang piutang dalam islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Ajaran – ajaran dalam masyarakat kini banyak yang bertentangan  dengan agama islam misalnya praktek utang piutang yang tidak sesuai dengan defenisi utang piutang,  tidak dipentingkannya lagi ilmu pengetahuan, serta hilangnya rasa kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.


B.     Rumusan Masalah
Bagaimana ajaran islam tentang utang piutang, tentang pentingnya ilmu pengetahuan, tentang ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari?

C.      
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Ajaran Islam  Tentang Utang Piutang
Definisi dan Arti : Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga. Contoh hutang piutang modern yaitu kredit candak kulak, perum pegadaian, kpr BTN, Kredit investasi kecil / KIK, kredit modal kerja permanen / KMKP, dan lain sebagainya.
Hukum hutang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi kondisi dan toleransi. Pada umumnya pinjam-meminjam hukumnya sunah / sunat bila dalam keadaan normal. Hukumnya haram jika meminjamkan uang untuk membeli narkoba, berbuat kejahatan, menyewa pelacur, dan lain sebagainya. Hukumnya wajib jika memberikan kepada orang yang sangat membutuhkan seperti tetangga yang anaknya sedang sakit keras dan membutuhkan uang untuk menebus resep obat yang diberikan oleh dokter.
Dalam Hutang Piutang Harus Sesuai Rukun yang Ada :
1.      Ada yang berhutang / peminjam / piutang / debitor
2.      Ada yang memberi hutang / kreditor
3.      Ada ucapan kesepakatan atau ijab qabul / qobul
4.      Ada barang atau uang yang akan dihutangkan
Hutang piutang dapat memberikan banyak manfaat / syafaat kepada kedua belah pihak. Hutang piutang merupakan perbuatan saling tolong menolong antara umat manusia yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT selama tolong-menolong dalam kebajikan. Hutang piutang dapat mengurangi kesulitan orang lain yang sedang dirudung masalah serta dapat memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak.
Sebagaimana dijelaskan diatas Hutang Piutang ialah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. Misalnya, berhutang uang Rp. 1000, maka akan dibayar Rp. 1000 pula.
Firman Alloh SWT :
“ Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”
(Al-Maidah : 2).
Mempiutangkan sesuatu kepada seseorang berarti telah menolongnya. Sabda Rasululloh SAW :
Dari Ibnu Mas’ud, Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda, “Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya satu kali” (HR. Ibnu Majah).
“Allah akan menolong hambaNya selama hambaNya itu menolong saudaranya” (HR. Muslim)
ü  Hukum memberi hutang
Memberi hutang hukumnya sunah, bahkan dapat menjadi wajib, misalnya mengutangi orang yang terlantar atau yang sangat membutuhkannya. Memang tidak diragukan lagi bahwa hal ini adalah suatu pekerjaan yang amat besar manfaatnya terhadap masyarakat. Karena tiap-tiap orang dalam masyarakat biasanya memerlukan pertolongan orang lain.
ü  Menambah bayaran
Melebihkan bayaran dari sebanyak hutang, kalau kelebihan itu memang kemauan yang berhutang dan tidak atas perjanjian sebelumnya, maka kelebihan itu boleh (halal) bagi yang menghutangkannya, dan menjadi kebaikan untuk orang yang membayar hutang.
Sabda Rasululloh SAW :
“Maka sesungguhnya sebaik-baik kamu ialah orang yang sebaik-baiknya pada waktu membayar hutang” (Muttafaqun ‘Alaih).
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rosululloh telah berhutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya daripada hewan yang yang beliau hutang itu”, dan Rasululloh bersabda, “Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar hutangnya dengan yang lebih baik”. (HR. Ahmad & Tirmidzi).
Adapun tambahan yang dikehendaki oleh yang berpiutang atau telah menjadi perjanjian sewaktu akad, hal itu tidak boleh. Tambahan itu tidak halal atas yang berpiutang untuk mengambilnya. Umpamanya yang berpiutang berkata kepada yang berutang, “Saya hutangi engkau dengan syarat sewaktu membayar engkau tambah sekian.”
Sabda Rosululloh SAW :
“Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu salah satu dari beberapa macam riba” (HR Baihaqi).
Diceritakan oleh Anas, “Seorang laki-laki di antara kami telah menghutangkan suatu barang kepada temannya, kemudian ia diberi hadiah oleh temannya itu, lalu ia ditanya dalam soal ini. Maka ia berkata, “Rasulullah SAW telah bersabda : Apabila salah seorang di antara kamu mengutangkan sesuatu, kemudian diberi hadiah atau dinaikkan di atas kendaraannya, hendaklah jangan diterimanya hadiah itu, dan janganlah ia naik kendaraan itu kecuali jika memang antara keduanya berlaku demikian sebelum terjadi hutang piutang” (HR. Ibnu Majah)

B.     Ajaran Islam Tentang Pentingnya Ilmu Pengetahuan
Sejak lebih seribu empat ratus tahun dahulu Islam telah mengajar kita bahawa tiap-tiap satu perkara yang ingin kita laksanakan dengan sempurna mestilah didahului dengan ilmu. Ilmu adalah asas kepada kesempurnaan. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan. Menjadikan manusia dari segumpal darah.” Itu adalah ayat AlQuran yang mempastikan bahawa Muhammad SAW itu adalah seorang nabi lagi rasul.Itulah ayat AlQuran yang pertama didengungkan ketelinganya.Ayat-ayat itu pula menyentuh tentang Ilmu. Tentu saja membaca itu adalah suatu ilmu. Dan yang dibaca juga bersifat ilmu. Demikianlah AlQuran menggambarkan kedudukan Ilmu dalam Islam.
Sebab itu dalam tradisi Islam, orang yang berilmu amat dimuliakan. Kedudukannya dalam masyarakat adalah amat mulia.Bahkan merekalah pengganti para nabi dan rasul yang sudah tiada lagi di dunia ini. Dalam satu hadith yang dinukilkan oleh AlGhazali dalam kitabnya Ihya Ulumidin bermaksud “Sheikh itu adalah seperti nabi bagi kaumnya,’ menggambarkan betapa kedudukan seorang Sheikh (seorang ketua kaum/ahli Ilmu) itu setelah ketiadaan para nabi. Ahli ilmulah pengganti para nabi dan rasul. Demikianlah tradisi Islam.
Dalam satu permasalahan yang lain, Takwa misalnya, ianya tidak akan dapat dicapai oleh seseorang manusia Muslim melainkan mestilah dengan Ilmu pengetahuan.
Ilmu itulah yang menentukan kedudukan takwa seseorang. Dan takwa itu pula tidak dapat dipisahkan dari seorang ulama. Ini bermakna hanyalah orang yang bertakwa sahajalah yang dianggap ulama yang sebenar. Dan Ulama yang sebenar msetilah bertakwa dan berilmu. Kata “ulama “ itu sendiri adalah kata jamak (plural) dari perkataan “alim”, iaitu orang yang mengetahui, orang yang berilmu. Sebab itu Islam menggalakkan umatnya mempunyai ilmu yang cukup dalam melaksanakan satu-satu tugas seperti sembahyang misalnya. Perlaksanaan sembahyang tidak akan sempurna jika seseorang itu tidak mengetahui tentang cara-cara mengambil wudu’, bersuci, membaca AlQuran dengan betul (tartil) dan segala rukun sembahyang yang lainnya. Ini menunjukkan betapa Islam itu meletakkan martabat ilmu di atas segala yang lain, iaitu sebelum seseorang itu melaksanakan sesuatu perkara.
Bahkan Islam sebenarnya mewajibkan setiap anggota masyarakatnya memiliki ilmu. Dalam satu hadith disebutkan” menuntut ilmu itu adalah wajib ke atas setiap orang Muslim. Dengan demikian, untuk menjadi seorang Muslim yang sempurna kita mestilah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Islam itu sendiri, iaitu berilmu.
Allah berfirman dalam QS. Al Isra:36 yang berbunyi "Janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.".
Dalam islam, belajar adalah kewajiban dan harus dilaksanakan sejak dari buaian hingga akhir hayat, ilmu yang dipelajari meliputi ilmu umum dan ilmu agama, tidak memisahkan diantara keduanya. Dengan belajar, seseorang akan mendapatkan ilmu pengetahuan, dan dengan memiliki ilmu pengetahuan maka ia akan memiliki kedudukan berbeda dengan masyarakat awam, setidak-tidaknya dengan ilmu itu ia dapat menjaga dirinya dengan baik.
Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW mengatakan bahwa : "Barang siapa ingin bahagia di dunia maka ia harus berilmu pengetahuan, barangsiapa ingin bahagia di akherat harus memiliki ilmu pengetahuan dan barang siapa ingin bahagia dunia akherat harus memiliki ilmu pengetahuan." Hal ini berarti tanpa ilmu tidak mungkin kebahagiaan dunia, akherat atau keduanya dapat kita raih.
Ada suatu gambaran nyata dan sederhana yang pernah terjadi. Ada seseorang berusia dewasa sekitar 45 tahun. Ia tidak pernah mengecap dunia pendidikan, kalau pun pernah hanya untuk beberapa saat saja, sehingga membaca dan berhitung pun ia tidak bisa, namun ia tahu jenis dan nilai mata uang (rupiah). Suatu saat ia ingin bekerja, tapi ia bingung, apa yang mesti ia lakukan. Jangankan ijazah keahlian pun tidak ia miliki.
Akhirnya ia memutuskan untuk berjualan makanan kecil keliling kampung. Ketika ada pembeli yang memanggilnya, ia pun menghampiri dan memperlihatkan makanan yang ia jual dan nilai atau harga makanan itu. Berapa jumlah makanan yang diambil dan berapa rupiah yang harus dibayar pembeli ia tidak tahu. Ia hanya mengiyakan dengan hitungan si pembeli. Jika si pembeli jujur maka ia akan menerima uang sesuai dengan jumlah makanan yang diambil si pembeli, tetapi bila si pembeli curang, maka kerugian yang ia dapatkan. Tidak mengherankan apabila hampir setiap hari ia menderita kerugian.
Itulah gambaran sulitnya hidup dalam mencari nafkah ketika seseorang tidak memiliki ilmu pengetahuan. Dalam kepahaman ilmu, setiap manusia memiliki kemampuan dan kualifikasi ilmu pengetahuan/keahlian yang berbeda, boleh jadi seseorang memiliki kemampuan/keahlian dalam beberapa bidang tertentu. Namun mutlak mereka harus bekerja sesuai dengan keahlian/ilmu yang mereka miliki. Kemampuan/keahlian itu hanya akan didapat setelah seseorang melalui proses belajar yang terus menerus, baik melalui pendidikan formal, informal atau belajar sendiri (otodidak).
Ada juga pengalaman yang bila didengar cukup menggelitik. Ada seseorang yang berprofesi sebagai guru, suatu saat datanglah seorang tamu ke sekolah yang membagi-bagikan formulir untuk menjadi anggota suatu organisasi. Untuk menarik minat para guru, paparan profil organisasi itu pun disampaikan. Semua teman-temannya tertarik, kemudian mengisi dan mengebalikan formulir tersebut. Hanya dia dan salah satu temannya tidak mengisi formulir tersebut, ketika sang teman menanyakan mengapa formulir itu belum juga diisi. Ia menjawab singkat, bahwa "untuk menjadi anggota suatu organisasi, maka mereka harus mengetahui dan memahami Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi itu".
Beberapa bulan kemudian, semua teman-temannya yang mengisi/mengembalikan formulir tersebut ditangkap aparat, karena bergabung dengan organisasi terlarang. Ia pun selamat dan kemudian diangkat menjadi PNS. Pengalaman si Bapak membuka wawasan, jangan suka mengikuti sesuatu jika kita tidak memiliki ilmu tentang hal itu.
Dalam Islam, yang sangat vital adalah bahwa seseorang yang ada didalamnya harus memahami dengan baik qoidah-qoidah/aturan-aturan Islam secara Komprehensif. Dalam tingkatan sederhana, ketika membaca Al Qur'an seseorang harus paham qoidah tajwid dan segi makhrajul huruf, panjang pendek, tipis tebal bacaan dan tempat-tempat washal serta wakofnya. Pada saat seseorang akan menyampaikan ayat-ayat Allah SWT pun, maka ia setidak-tidaknya harus membaca asbabun nuzul ayat itu atau mungkin harus membaca tafsir ayat, sehingga ia mengerti sebab-sebab dan makna dalam ayat itu.
Begitu juga disaat seseorang ingin menyampaikan/mengemukakan hadits-hadits Rasulullah SWT, sikap kehati-hatian harus betul-betul ditanamkan. Banyaknya hadist yang ada dan tidak adanya kemampuan kebanyakan kita untuk memilah, mana hadist ahad, hasan, mutawati maupun dhoif, mengharuskan kita lebih menggunakan hadist-hadist shohih yang telah dikaji oleh ulama-ulama hadist. Kalau kita tidak memperhatikan hal itu, bisa jadi kita akan terjebak menggunakan hadist-hadist dhoif atau cerita-cerita Israiliyat.
Dan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah hal mutlak untuk meminimalkan kita dari jalan yang salah, karena dengan belajar kita akan bisa memisahkan mana yang benar dan mana yang salah. Dan dengan ilmu pengetahuan yang kita miliki kita dapat meraih kesenangan duniawi dan ukhrawi. Amin.

C.     Ajaran Islam Dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari ajaran agama islam selalu menganjurkan untuk selalu berbuat baik dalam kondisi apapun. Adapun sifat terpuji yang sangat perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari antara lain yakni:
1.      Adil
Adil adalah memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya tanpa ada pengurangan, dan meletakkan segala urusan pada tempat yang sebenarnya tanpa ada aniaya, dan mengucapkan kalimat yang benar tanpa ada yang ditakuti kecuali terhadap Allah swt saja. Allah swt. berfirman dalam surat an-Nisa ayat 135 :
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” (Q.S. an-Nisa : 135)
Adil disejajarkan dengan perbuatan kebajikan, karena adil sendiri adalah memberikan hak kepada yang punya. Sehingga orang yang diberikan hak merasa senang dan bahagia. Allah swt. berfirman dalam Q.S. an-Nahl (16) ayat 90 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (Q.S. an-Nahl : 90)
Adil dalam arti “seimbang”. Keseimbangan sangat diperlukan dalam suatu kelompok yang didalamnya terdapat beragam bagian yang bekerja menuju satu tujuan tertentu. Dengan terhimpunnya bagian-bagian itu, kelompok tersebut dapat berjalan atau bertahan sesuai tujuan kehadirannya.
2.      Ridho
ridho adalah perilaku terpuji menerima dengan senang apa yang telah diberikan Allah kepadanya, berupa ketentuan  yang diberikan kepada manusia.
Dalam kehidupan seserorang ada beberapa hal yang harus menampilkan sikap ridha, minimal empat macam berikut ini:
ü  Ridha terhadap perintah dan larangan Allah
Artinya ridha untuk mentaati Allah dan Rasulnya. Pada hakekatnya seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, dapat diartikan sebagai pernyataan ridha terhadap semua nilai dan syari’ah Islam.
ü  Ridha terhadap taqdir Allah.
Ada dua sikap utama bagi seseorang ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan yaitu ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar adalah keharusan dan kemestian yang perlu dilakukan oleh seorang muslim.
Perbedaan antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu dan mengekangnya dari kebencian, sekalipun menyakitkan dan mengharap akan segera berlalunya musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima taqdir Allah swt. Dan menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya. Sebab didalam hatinya selalu tertanam sangkaan baik (Husnuzan) terhadap sang Khaliq bagi orang yang ridha ujian adalah pembangkit semangat untuk semakin dekat kepada Allah, dan semakin mengasyikkan dirinya untuk bermusyahadah kepada Allah.
ü  Ridha terhadap perintah orang tua.
Ridha terhadap perintah orang tua merupakan salah satu bentuk ketaatan kita kepada Allah swt. karena keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua,  sebagaiman perintah Allah dalam Q.S. Luqman (31) ayat 14. Bahkan Rasulullah bersabda : “Keridhaan Allah tergantung keridhaan orang tua, dan murka Allah tergantung murka orang tua”. Begitulah tingginya nilai ridha orang tua dalam kehidupan kita, sehingga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah, mempersyaratkan adanya keridhaan orang tua. Ingatlah kisah Juraij, walaupun beliau ahli ibadah, ia mendapat murka Allah karena ibunya tersinggung ketika ia tidak menghiraukan panggilan ibunya.
ü  Ridha terhadap peraturan dan undang-undang Negara
Mentaati peraturan yang belaku merupakan bagian dari ajaran Islam dan merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah swt. karena dengan demikian akan menjamin keteraturan dan ketertiban sosial. sebagaimana firman Allah yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa:59. Ulil Amri artinya orang-orang yang diberi kewenangan, seperti ulama dan umara (Ulama dan pemerintah). Ulama dengan fatwa dan nasehatnya sedangkan umara dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

3.      Rela berkorban
Rela berarti bersedia dengan ikhlas hati, tidak mengharapkan imbalan atau dengan kemaun sendiri. Berkorban berarti memiliki sesuatu yang dimiliki sekalipun menimbulkan penderitaan bagi dirinya sendiri. Rela berkorban dalam kehidupan masyarakat berarti bersedia dengan ikhlas memberikan sesuatu (tenaga, harta, atau pemikiran) untuk kepentingan orang lain atau masyarakat. Walaupun dengan berkorban akan menimbulkan cobaan penderitaan bagi dirinya sendiri
adapun bentuk rela korban dalam kehidupan sehari-hari sebagai berikut:
§  Rela berkorban dalam lingkungan keluarga ;
a.       Biaya untuk sekolah yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya
b.      Keikhlasan orang tua dalam memelihara, mengasuh, dan mendidik anak-anaknya
§  Rela berkorban dalam lingkungan kehidupan sekolah :
a.       Pemberian dari siswa berupa sumbangan pohon, tanaman dan bunga untuk halaman sekolah
b.      Para siswa dan guru mengumpulkan sumbangan pakaian layak pakai untuk meringankan beban warga yang tertimpa bencana.
§  Rela berkorban dalam lingkungan kehidupan masyarakat :
a.       Warga masyarakat bergotong royong meperbaiki jembatan yang rusak karena longsor
b.      Warga masyarakat yang mampu menjadi guru sukarelawan bagi anak-anak yang terlantar putus sekolah dan tidak mampu
§  Rela berkorban dalan lingkungan kehidupan berbangsa dan bernegara:
a.       Para warga negara atau masyarakat membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti pajak kendaraan bermotor, pajak bumi dan bangunan
b.      Warga masyarakat merelakan sebagian tanahnya untuk pembangunan irigasi dengan memperoleh penggantian yang layak


BAB III
KESIMPULAN

Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama
Bahkan Islam sebenarnya mewajibkan setiap anggota masyarakatnya memiliki ilmu. Dalam satu hadith disebutkan” menuntut ilmu itu adalah wajib ke atas setiap orang Muslim. Dengan demikian, untuk menjadi seorang Muslim yang sempurna kita mestilah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Islam itu sendiri, yaitu berilmu.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari ajaran agama islam selalu menganjurkan untuk selalu berbuat baik dalam kondisi apapun.









DAFTAR PUSTAKA

Miftahul Huda. Buletin Cahaya, Nomor 22 Tahun Ke-14 22 Jumadil Akhir 1431 H / 4 Juni 2010



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas pertolongan hidayah, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Makalah yang berjudul “Ajaran-ajaran Dalam Islam”. makalah ini merupakan makalah yang berisi tentang pemahaman terhadap ajaran-ajaran islam bagi  masyarakat.
Makalah ini disusun berdasarkan dari internet untuk melihat pembaharuan dalam pemahaman  dan untuk mengetahui sejauh mana ajaran islam berperan dalam dunia yang luas.
Oleh karena itu, materi ini diungkapkan dengan bahasa yang sederhana agar mudah dipahami serta mampu dikuasai serta mandiri sehingga tujuan-tujuan uang ingin dicapai dalam pembuatan makalh ini dapat terwujud.
Akhirnya, penyusun mengharapkan semoga keberadaan makalah ini dapat memperdalam pemahaman kita tentang islam dan pemahaman tradisional. Namun demikian penyusun sangat menyadari bahwa dalam penyajian makalah ini masih banyak kekurangan oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.

Pinrang, Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar