Rabu, 08 Februari 2017

MAKALAH HUBUNGAN PEMERINTAHAN SIPIL DAN MILITER

MAKALAH HUBUNGAN PEMERINTAHAN SIPIL DAN MILITER

OLEH : JON EFENDY PURBA, S.Pd., SH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Negara adalah sebuah istilah yang secara terminologi berarti organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.[1]
Suatu Negara haruslah memiliki sedikitnya 3 unsur yang menjadikan Negara tersebut berdaulat di tengah-tengah negara lainnya. Mahfud M.D. menyebutkan 3 unsur penting tersebut sebagai unsur konstitutif.[2] Unsur-unsur tersebut antara lain adalah : Rakyat, Wilayah, dan Pemerintah, ditambah dengan pengakuan dari Negara lain.  
Berbicara tentang bentuk pemerintahan, kita mesti faham terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan negara dan perbedaannya dengan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan di awal, sejatinya negara adalah sebuah organisasi. Selayaknya organisasi, maka negara pun memiliki peraturan, selain itu negara juga memiliki sebuah badan yang berfungsi merumuskan, menjalankan dan mengawasi peraturan itu.
Selanjutnya, dalam perjalanannya berkembang menjadi beberapa bentuk pemerintahan, sejarah mencatat banyak negara yang memiliki bentuk pemerintahan yang berbeda-beda karena hal tersebut berdasar kepada para penguasa negara tersebut. Dalam konteks ini  muncul bentuk pemerintahan sipil dan pemerintahan militer. Tentu saja kedua bentuk pemerintahan tersebut mempunyai karakteristik yang satu sama lain berbeda.
Hubungan Sipil-Militer adalah satu perkara yang amat penting bagi satu bangsa karena berpengaruh besar kepada ketahanan nasionalnya. Hal itu juga berlaku bagi bangsa Indonesia. Pengertian HubunganSipil-Militer semula tidak dikenal di Indonesia dan baru dipergunakan setelah pengaruh dunia Barat, khususnya yang berpandangan liberal, makin kuat. Mula-mula itupun terbatas pada kalangan terpelajar yang banyak berhubungan dengan ilmu sosial yang berasal dari dunia barat. Akan tetapi lambat laun pengertian itu menyebar di semua kalangan dan sekarang sudah menjadi pengertian yang diakui dan dipergunakan secara umum di Indonesia. Namun ada satu perbedaan yang menonjol dalam penggunaan pengertian itu antara mereka yang hidup dalam alam sosial barat dengan bangsa Indonesia yang menerima dan menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Di dunia Barat yang berpaham liberal Hubungan Sipil-Militer senantiasa berarti supremasi Sipil atas Militer, sedangkan di Republik Indonesia yang berhaluan Pancasila tidak dengan sendirinya Hubungan Sipil-Militer berarti supremasi sipil atas militer. Bahkan dengan memperhatikan bahwa Panca Sila menekankan faktor kekeluargaan dan kerukunan justru tidak ada supremasi satu golongan masyarakat atas yang lain, melainkan dalam kebersamaan memperjuangkan dan mengusahakan hal yang terbaik bagi bangsa, negara dan masyarakat.

     B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal-hal yang tersurat dalam latar belakang, maka penulis dalam hal ini akan merumuskan permasalahan dalam beberapa pertanyaan:
1.      Pengertian Pemerintahan Sipil dan karakteristiknya
2.      Pengertian Pemerintahan Militer dan karakteristiknya
3.      Hubungan Pemerintahan Sipil dan Militer di Indonesia

     C.    TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Dengan berdasar kepada poin-poin pertanyaan tersebut diatas, maka penulis mempunyai tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu :
1.      Memahami Pengertian Pemerintahan Sipil dan karakteristiknya
2.      Memahami Pengertian Pemerintahan Militer dan karakteristiknya
3.      Memahami Hubungan Pemerintahan Sipil dan Militer di Indonesia



BAB II
PEMBAHASAN


A.  PEMERINTAHAN SIPIL
1.      Pengertian Pemerintahan Sipil
Sebelum berbicara tentang pemerintahan sipil, seyogyanya perlu diketahui arti dari istilah pemerintahan. Menurut CF Strong dalam bukunya yang berjudul Modern Political Construction terbit tahun 1960 dikemukakan bahwa pemerintah itu dalam arti luas meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemerintah juga bertugas memelihara perdamaian dan keamanan. Oleh karena itu pemerintah harus memiliki (1) kekuasaan militer, (2) kekuasaan legislatif, dan (3) kekuasaan keuangan.[3]
Sedangkan menurut SE Filner dalam buku Comperative Gonverment (1974) istilah pemerintahan memiliki 4 arti yaitu :
1.      kegiatan atau proses memerintah;
2.      masalah-masalah kenegaraan;
3.      pejabat yang dibebani tugas untuk memerintah;
4.  cara, metode, atau sistem yang dipakai pemerintah untuk memerintah.[4]
Adapun dalam melaksanakan pemerintahan, sejarah mengenal pula bentuk pemerintahan sipil dan militer. Pembagian bentuk pemerintahan ini berdasarkan kriteria gaya dan sifat memerintah sebuah pemerintah.
Yang pertama adalah Pemerintahan Sipil, dalam laman e-book Makalah/Training Islam Intensif/empiris-homepage.blogspot.com-83- Pengantar Ilmu Negara dan Pemerintahan, disebutkan bahwa pemerintahan sipil adalah pemerintahan di mana gaya pengambilan keputusan diambil dengan gaya sipil. Sebelum sebuah keputusan menjadi perintah, keputusan itu dibicarakan terlebih dahulu, dirembukkan dan kalau perlu diputuskan lewat pemungutan suara (referendum). Setelah itu pun sebuah keputusan harus menunggu pengesahan terlebih dahulu dari lembaga negara yang berwenang lewat sebuah sidang.
Sedangkan Sayidiman Suryohadiprojo menyatakan bahwa Perkataan Sipil merupakan satu pengertian yang menyangkut kewarganegaraan (Website’s Ninth New Collegiate Dictionary : Civil : relating to citizens). Atau dapat dikatakan bahwa Sipil adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan masyarakat, atau warga negara pada umumnya.[5]

2.      Karakteristik Pemerintahan Sipil
            Eric Nordlinger dalam bukunya “Militer dalam Politik” dikemukakan ada 3 bentuk pemerintahan sipil :
                1. Pemerintahan sipil Tradisional
Bentuk pemerintahan sipil ini terjadi karena tidak adanya perbedaan antara sipil dan militer, tanpa perbedaan maka tidak akan timbul konflik yang serius diantara mereka. dengan demikian tidak terjadi campur tangan militer.
Bentuk pemerintahan sipil tradisional begitu berpengaruh di bawah sistem pemerintahan kerajaan pada abad ke-17 dan 18, mereka cenderung untuk tidak menganggap diri mereka sebagai politisi, walaupun ketika sedang memerintah mereka telah dicekoki dengan ciri-ciri sikap politik yang sama, yang ternyata kurang dikembangkan oleh elit sipil.[6] 
2. Pemerintahan sipil Liberal
Model pemerintahan liberal didasarkan pada pemisahan para elit berkenaan keahlian dan tanggung jawab masing-masing pemegang jabatan tinggi di dalam pemerintahan. Tapi sejalan Model liberal akan menutup kemungkinan militer untuk menekuni arena dan kegiatan politik. Didalam tindakan dan pelaksanaannya, pemerintah menghargai kedudukan, kepakaran, dan netralitas pihak militer.[7] 
3. Pemerintahan sipil Serapan
Dalam model serapan ini, pemerintahan sipil memperoleh pengabdian dan kesetiaan dengan cara menanamkan ide untuk menyatakan ideologi, dan para ahli politik ke dalam tubuh angkatan bersenjata mereka. Model serapan ini telah digunakan secara meluas dalam rezim-rezim komunis. Militer dipisahkan dari bidang sipil karena keahlian profesionalnya, tetapi sejalan dari segi ideologi.[8]         
            Dalam sejarahnya, pemerintahan sipil ini banyak dianut oleh negara-negara barat, karena kebanyakan dari mereka berideologi liberal yang memunculkan supremasi sipil atas militer (civilian supremacy upon the military). Dalam kata lain militer adalah subordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis  melalui pemilihan umum. Berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia yang berideologikan Pancasila, sipil dan militer adalah satu bagian, tidak ada supremasi di antara keduanya. Yang harus dimunculkan adalah bagaimana hubungan keduanya dapat menjamin kerukunan hidup rakyat Indonesia itu sendiri. Sehingga tercipta kebersamaan dalam memperjuangkan kepentingan bangsa.
            Dalam hal ini muncul karakteristik pemerintahan sipil yang berpijak atas hubungannya dengan militer, antara lain pemerintahan sipil adalah sebuah bentuk pemerintahan yang  bergaya sipil, semua keputusan pemerintah dapat menjadi perintah apabila telah dimusyawarahkan terlebih dahulu dan diambil keputusannya dalam suatu pemungutan suara (referendum). Dan telah mendapat pengesahan dari lembaga negara yang berwenang.

B.  PEMERINTAHAN MILITER
1.      Pengertian Pemerintahan Militer
Masa Orde Baru di Indonesia telah berakhir dengan tergulingnya Presiden Soeharto dari kursi Presidennya, dan dimulailah masa baru yang dinamakan Masa Reformasi. Sejalan dengan runtuhnya rezim Soeharto, maka runtuh pula dominasi militer dalam politik Indonesia, masa orde baru tersebut dikendalikan dengan sistem otoriter. Pada akhirnya, TNI/ABRI sebagai pucuk militer di Indonesia harus menanggalkan dwifungsinya kembali ke barak dan hanya memainkan peran sebagai alat pertahanan negara dari ancaman luar.
Perkataan Militer merupakan pengertian yang bersangkutan dengan kekuatan bersenjata. Secara kongkrit perkataan Sipil di Indonesia adalah seluruh masyarakat, sedangkan perkataan Militer berarti Tentara Nasional Indonesia, yaitu organisasi yang merupakan kekuatan bersenjata dan yang harus menjaga kedaulatan negara Republik Indonesia. Karena Sipil berarti masyarakat, maka sebenarnya Militer pun bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu di Indonesia sebelum terpengaruh oleh pandangan Barat dipahami bahwa TNI adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Bahkan yang menjadi TNI adalah seluruh Rakyat yang sedang bertugas sebagai kekuatan bersenjata untuk membela Negara.[9]
Adapun yang dimaksud dengan pemerintahan militer adalah pemerintahan yang lebih mengutamakan kecepatan pengambilan keputusan, keputusan diambil oleh pucuk pimpinan tertinggi, sedang yang lainnya mengikuti keputusan itu sebagai perintah yang wajib diikuti -- konsekuensi rantai komando dalam militer.Sebuah undang-undang dalam sebuah pemerintahan militer dibuat oleh pucuk pimpinan tertinggi, tanpamenyerahkan rancangannya kepada parlemen.[10]

2.      Karakteristik Pemerintahan Militer
Pemerintahan militer lebih merujuk ke arah gaya pemimpin suatu organisasi/ institusi/ negara. Dimana kepemimpinan itu sendiri memiliki hubungan  yang erat antara seorang dan sekelompok manusia, karena adanya kepentingan bersama; hubungan itu ditandai tingkah laku yang tertuju dan terbimbing daripada manusia yang seorang itu; manusia atau orang ini biasanya disebut yang memimpin atau pemimpin, sedangkan manusia yang mengikutinya disebut yang dipimpin.
Gaya kepemimpinan pemerintahan militer ini memiliki karakteristik, sebagaimana dikemukakanNinik Widiyantiadalah sebagai berikut:
Dalam pemerintahan militer, untuk menggerakkan bawahannya digunakan sistem perintah yang biasa digunakan dalam ketentaraan, gerak geriknya senantiasa tergantung kepada pangkat dan jabatannya senang akan formalitas yang berlebih-lebihan, menuntut disiplin keras dan kaku dari bawahannya, senang akan upacara-upacara untuk berbagai-bagai keadaan dan tidak menerima kritik dari bawahannya dan lain sebagainya.[11] Dalam militer  tidak ada orang sipil di pemerintahannya, semuanya orang militer, tatanan sosial terlalu ketat, seperti jam malam, tidak boleh demonstrasi, dan cara pemilihan pemimpin dilakukan secara turun temurun
Selain Negara kita yang pernah didominasi oleh Militer, Negara lain yang bisa diambil contoh melaksanakan pemerintahan militer, contoh Junta Militer di Burma (Myanmar)Kuba Korea Utara, dan negara-negara di Amerika Latin.
Junta militer (diucapkan menurut ucapan bahasa Spanyol hun-ta) biasanya merujuk ke suatu bentuk pemerintahan diktator militer. Dalam bahasa Spanyol, junta sendiri berarti "(rapat) bersama", dan biasanya digunakan untuk berbagai kumpulan yang bersifat kolegial (hubungan kerekanan).
Junta militer biasanya dipimpin oleh seorang perwira militer yang berpangkat tinggi. Pemerintahan ini biasanya hanya dikuasai oleh satu orang perwira yang mengendalikan hampir segala-galanya. Bentuk-bentuk junta militer yang terkenal adalah pemerintahan Augusto Pinochet di Chili dan Proceso de Reorganización Nacional, diktator militer yang terkenal karena kekejamannya di Argentina dari 1976 hingga 1983.[12]

C.  HUBUNGAN PEMERINTAHAN SIPIL DAN MILITER DI INDONESIA
Sebagai bangsa Indonesia kita mestinya bangga dengan TNI, karena apa? ternyata Indonesia memperoleh peringkat yang luar biasa dalam bidang kemiliteran. Jadi sebenarnya tidak beralasan kalau kita meremehkan tentara nasional kita. Menurut data yang diambil oleh World Military Strengh Ranking. Militer Indonesia berada pada posisi ke-14 dari seluruh negara di dunia ini, di atas negara-negara maju lainnya seperti Kanada, Australia, dsb.[13]  
Kembali kepada sejarah militer Indonesia, pengambilan alih kekuasaan oleh pihak militer di Indonesia sekiranya sudah lama diramalkan. Militer Indonesia tidak pernah jauh dari politik, sejak dari kemerdekaan pada tahun 1945. Organisasi nasional militer pun diperlukan untuk tugas yang maha penting yakni membangun suatu negara bangsa dari beribu-ribu pulau yang membentuk negeri ini.
Pada masa itu terjadi kompetisi politik antara Militer dan Partai Komunis Indonesia yang kadang kala bersifat keras, Komunis yang dalam hal ini sejak kemerdekaan ada dalam naungan Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno bersaing ketat dengan golongan elit militer. Dan puncaknya adalah terjadinya pemberontakan G30S/PKI.
Sampai munculnya Supersemar pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno dengan ikhlas memberi Jenderal Soeharto wewenang yang diperlukan untuk memulihkan keamanan. Soekarno yang pada saat itu dianggap sebagai presiden seumur hidup kini nyaris hanya merupakan lambang, sampai secara resmi digantikan oleh Jenderal Soeharto pada tanggal 27 Maret 1968.[14]   
Setelah menjadi Presiden, Soeharto memandang tugasnya adalah : memulihkan tingkat partisipasi rakyat dalam pemerintahan, menstabilkan negeri yang secara politis terpecah belah, dan membangun perekonomian yang telah diabaikan. Maka untuk mendukung upaya tersebut Soeharto memutuskan untuk membentuk GOLKAR (Golongan Karya) atau kelompok yang fungsional, mencakup buruh, petani, birokrat sipil, birokrat militer, mahasiswa, dan intelegensia. Jika Soekarno ingin mengusahakan agar kelompok-kelompok fungsional tersebut terlepas dari militer, maka Soeharto lebih suka mengintergrasikan kedua badan tersebut, dalam kata lain Soeharto telah menyertakan militer dalam politik sembari memberi fungsi politik pada militer.[15]
Sejak tahun 1959, menurut suatu penelitian, perwira-perwira angkatan darat secara kasar telah memegang seperempat dari semua portofolio kabinet maupun berbagai posisi penting pada departemen pemerintahan sipil. Pada tahun 1972, 22 dari 26 Gubernur adalah bekas perwira militer, demikian juga 67% dari bupati dan camat, dan 40% dari kepala desa.[16]
Masuk ke Era Reformasi, setelah lengsernya Soeharto, maka kedigdayaan Militer dalam hal ini ABRI/TNI telah usai, Sejak itu nyaris tiada hari tanpa hujatan dan caci maki terhadap ABRI. Jika sebelumnya tidak ada yang berani mengusik, sejak itu keberadaan ABRI mulai banyak dipersoalkan. ABRI bukan cuma dipersalahkan, karena telah membuat banyak orang di Aceh, Lampung, Tanjung Priok, Irian Jaya, Timor Timur, kehilangan anggota keluarganya, tetapi juga karena terlibat penculikan para mahasiswa dan aktivis politik, karena dianggap tidak mampu lagi mengatasi kerusuhan di berbagai tempat yang telah menelan korban ratusan nyawa sejak Mei 1998.
Saat ini ABRI harus menghadapi kenyataan sebaliknya yakni penolakan atas keterlibatannya. Secara historis keterlibatan ABRI tersebut harus dipahami dalam kerangka menjamin stabilitas nasional. Kalau mau jujur, sebenarnya bangsa dan negara manapun di dunia ini membutuhkan stabilitas demi pembangunan dan kemajuan bersama rakyatnya.
Menurut Jenderal Wiranto, ada tiga perkembangan ekstrem yang harus dicegah dalah hubungan sipil militer di Indonesia, yaitu: pertama, military overreach, yaitu militer menguasai berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti pada masa orde baru; yang kedua, subjective civilian control, yaitu kontrol subyektif pemerintahan sipil terhadap militer seperti yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Parlementer; ketiga, pemisahan rakyat dari ABRI.[17]
Dalam pengarahannya kepada peserta Lokakarya Kepemimpinan Pertahanan 2010 di Istana Negara, Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, tidak perlu lagi ada jarak antara militer dan non militer pada era demokrasi. Beliau juga menyatakan saat ini tidak perlu lagi ada dikotomi antara sipil dan militer dalam mengemban tugas untuk negara. "Dulu pernah ada jarak antara militer dan nonmiliter, antara mahasiswa di perguruan tinggi dan taruna di akademi. Tapi dengan era demokrasi ini dengan perubahan di TNI tidak lagi menjalankan politik praktis maka sudah tidak ada perbedaan," tutur Presiden.[18]
Lalu, apakah artinya dalam konteks hubungan sipil-militer di Indonesia? Dalam sejarah Indonesia, dikotomi sipil-militer bukanlah satu isu baru. Jika sejauh ini ABRI terkesan tidak suka dan selalu mengelak adanya dikotomi sipil-militer di Indonesia, sikap semacam itu tidak lepas dari penafsiran diri ABRI dalam konteks sejarah Indonesia. ABRI juga mudah curiga kepada cendekiawan, seniman, aktivis LSM dan kalangan intelektual lain yang memang selalu sangat antusias memperbincangkan hubungan sipil-militer, yang selalu melemparkan isu-isu demokratisasi, kebebasan berpendapat dan HAM.
Namun, benar juga bahwa hal ini lalu membuat penafsiran terhadap batas-batas antara ranah politik dan perang, antara tugas-tugas sipil dan militer, makin tidak jelas. Antara perang dan politik ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Perang adalah jalan lain dari politik. Ini lah yang terjadi pada awal pembentukan Indonesia.
Sejak awal kelahirannya ABRI tidak pernah mempersoalkan presiden dari kalangan sipil dan tidak mendesakkan tampilnya pimpinan nasional dari kalangan militer. Dalam sejarahnya Panglima Besar Soedirman memberikan keteladanan dalam membentuk sikap TNI yang mengakui pemerintahan di tangan sipil. Untuk itu dibuktikan oleh Panglima Besar Soedirman ketika kembali ke Yogyakarta dari medan perjuangan bergerilya, TNI tetap mengakui kekuasaan tertinggi berada di tangan Presiden Soekarno.[19]
Satu hal yang perlu kita (baik militer maupun sipil) refleksikan  bahwa militer Indonesia telah berkembang menjadi militer profesional. Dunia kemiliteran telah berkembang menjadi dunia profesional, yang bekerja dan mengembangkan solidaritas tidak hanya atas dasar "semangat patriotisme" tapi atas dasar penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ketrampilan khusus (profesi) yang terkait dengan kependidikan.
Tanggung jawabnya terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia, dengan demikian, bisa ditafsirkan sebagai tanggung jawab profesi. Kalau dulu tanggung jawab ini ditafsirkan secara politis-ideologis, kini perlu dimaknai sebagai tanggung jawab profesional. Kalau dulu ABRI di identifikasi dan dikenal sebagai tentara rakyat kini harus tampil sebagai militer profesional (TNI adalah tentara professional yang mengabdi kepada rakyat).
Namun, hal ini tidak berarti militer kehilangan peran politiknya. Peran politik TNI, menurut saya, tidak boleh melebihi fungsi dasarnya yaitu pertahanan-keamanan negara, dan hal itu kini bisa ditafsirkan sebagai tanggung jawab profesi. Peran tersebut cukup diletakkan pada tataran "kebijakan" (policy) di tingkat pusat, dan tidak perlu diterjemahkan lebih jauh dengan konsep kekaryaan seperti pada masa Orde Baru. Dengan demikian, militer bukan lah institusi untuk merintis karier politik dan meraih insentif ekonomi melalui model kekaryaan. Jika ada militer yang ingin menjadi bupati, gubernur, menteri bahkan presiden, maka harus melepas jaket hijau-lorengnya.
Mereka adalah warga sipil, sehingga jabatan politik yang didudukinya bukan dalam kerangka doktrin dwifungsi, tapi sebagai hak politik setiap warga negara. Fungsi pertahanan keamanan sebagai TNI professional itu juga menuntut TNI untuk hanya punya komitmen dan tangung jawab moral terhadap eksistensi Negara Kesatuan RI. Konsekuensi moral professional dari komitmen dan tanggung jawab moral ini adalah bahwa TNI hanya mempunyai loyalitas kepada Negara dan bukan kepada pemerintah. Loyalitas TNI kepada pemerintah hanya sejauh pemerintah yang berkuasa. Tidak perduli sipil atau militer, menjalankan kekuasaan negara sesuai dengan tuntutan dan cita-cita moral bangsa, yaitu demi menjamin kehidupan bersama yang demokratis, adil, makmur, berprikemanusiaan dan menjamin hak asasi manusia.
Maka tidak perlu dibicarakan lagi adanya civilian supremacy yang dianut dunia Barat, karena adanya supremasi satu golongan terhadap golongan lain tidak sesuai dengan pandangan Panca Sila dan dapat menjadi benih konflik. Namun secara organisatoris dengan sendirinya setiap unsur negara harus menjalankan keputusan dan perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI. Maka tanpa ada ketentuan supremasi sipildengan sendirinya TNI harus tunduk kepada segala kepatuhan dan perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah, siapapun yang duduk dalam pemerintah itu. Sebaliknya, sesuai dengan jati dirinya TNI wajib dan berhak menyampaikan pendiriannya kepada Pemerintah sekalipun mungkin pendirian itu berbeda dari pandangan Pemerintah. Dalam mengembangkan pendirian itu TNI harus selalu berpedoman pada Panca Sila dan Sapta Marga serta Sumpah Prajurit yang secara hakiki berarti bahwa TNI harus selalu memperhatikan berbagai aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.[20]
Yang sekarang diperlukan adalah tekad untuk melaksanakan proses ini secara konsisten dan sabar serta memelihara hasilnya secara terus menerus. Hubungan Sipil-militer yang dihasilkan kemudian akan merupakan faktor positif dalam perwujudan Ketahanan nasional Indonesia, termasuk pembinaan daya saing nasional bangsa kita.




BAB III
PENUTUP


A.  KESIMPULAN
Dalam melaksanakan pemerintahan, sejarah mengenal pula bentuk pemerintahan sipil dan militer. Pembagian bentuk pemerintahan ini berdasarkan kriteria gaya dan sifat memerintah sebuah pemerintah.
Pemerintahan Sipil adalah suatu bentuk pemerintahan yang menggunakan gaya sipil dalam menjalankan kehidupan pemerintahannya, sedangkan pemerintahan militer adalah suatu pemerintahan yang dipimpin oleh penguasa diktator yang mengandalkan gaya militer yang sarat dengan disiplin dan kental dengan ketentaraan.
Hubungan antara Sipil dan Militer dalam sejarah lebih diungkapkan dalam bentuk ekstrim karena kegagalan pemerintahan sipil yang menyebabkan terjadinya kudeta-kudeta, dan ketidakstabilan rezim militer yang tidak punya opsi memerintah lebih baik dari pemerintahan sipil. Sehingga pada akhirnya kedua hal tersebut tidak dapat berkembang sesuai dengan tujuan yang dimilikinya.
Dan pada saat ini ketika semua hal dihadapkan kepada profesionalisme yang menitikberatkan sejauhmana peran seorang warga negara terhadap negaranya, maka militer memfokuskan diri dalam ranahnya sendiri, demikian pula dengan sipil yang sekarang terintegrasi dalam bentuk yang lebih dinamis. Sehingga tidak akan terjadi supremasi sipil terhadap militer.

B.  SARAN
Pergulatan politik antara ranah sipil dan militer telah menghasilkan supremasi di antara kedua bentuk pemerintahan tersebut, maka seyogyanya untuk menghindari hal tersebut diperlukan langkah perubahan ke  arah yang positif sehingga akan memunculkan hubungan yang baik antara sipil dan militer dan dapat menunjang kepada terciptanya ketahanan nasional.




DAFTAR PUSTAKA

Janowitz, Morri, Hubungan Sipil Militer,Jakarta: Bina Aksara, 1985
Nordlinger,  Eric, Militer Dalam Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 1994
Syarafuddin, Makalah Konsep  Dan Metodologi Perbandingan Pemerintahan, 2010
Ubaedillah,  Ahmad, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Widiyanti, Ninik, YW. Sunindia, Kepemimpinan Dalam Masyarakat Modern,Jakarta: Bina Aksara, 1988
Wirahadikusumah, Agus, E-book Mencari Format Baru Hubungan -Militer,
http: //www.detik.com/berita/199905/sayidiman. Html
http: //www. Wikipedia.com/id/juntamiliter
http//www. Globalfirepower. Com
http//www.antaranews.com/berita/1280488947/ presiden-tidak-perlu-ada-dikotomi-sipil-militer



[1] A. Ubaedillah dkk, Pendidikan Kewargaan, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grup,2008) hal. 84
[2] Ibid, hal 85
[3] Syafaruddin, Makalah KONSEP DAN METODOLOGI PERBANDINGAN PEMERINTAH, disajikan tanggal 5
     Maret 2010, halaman 5
[4] Ibid, hal 6
[5] http://www.detik.com/berita/199905/sayidiman.html
[6] Eric Nordlinger, Militer dalam Politik ( Jakarta : Rineka Cipta 1994) hal 18-19.
[7] ibid, hal 20-21
[8] ibid, hal 24-25
[9] http://www.detik.com/berita/199905/sayidiman.html
[10] Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com-83- Pengantar Ilmu Negara dan Pemerintahan
[11] Dra. Ninik Widiyanti, YW. Sunindhia,SH., Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal 8-9
[12] http://www.wikipedia.com/id/juntamiliter
[13] http://www.globalfirepower.com/
[14] Morris Janowitz, Hubungan Sipil Militer, Bina Aksara, Jakarta,1985, hal. 14
[15] Ibid, hal 17, op cit hal 15-16.
[16] Ibid, hal 17
[17] E-book, Ikrar Nusa Bhakti, Hubungan Baru Sipil Militer, hal 9
[18] http://www.antaranews.com/berita/1280488947/presiden-tidak-perlu-ada-dikotomi-sipil-militer
[19] Mayjen TNI Agus Wirahadikusumah disampaikan dalam seminar nasional "Mencari Format Baru HubunganSipil-Militer" Jurusan Ilmu Politik Fisip UI, 24 - 25 Mei 1999.
[20] http://www.detik.com/berita/199905/sayidiman.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar