Rabu, 08 Februari 2017

BIDANG-BIDANG STUDI HUKUM


BIDANG-BIDANG STUDI HUKUM


BAB I Bidang-Bidang Studi Hukum
A. Pengantar
B. Sosiologi Hukum
C. Antropologi Hukum
D. Perbandingan Hukum
E. Sejarah Hukum
F. Politik Hukum
G. Psikiologi Hukum
H. Filasafat Hukum
A.      Pengantar
Hukum hakikatnya merupakan gejala dalam kenyataan ilmu kemasyarakatan yang majemuk, yang mempunyai banyak aspek, dimensi dan fase tahapan. Hukum berakar dan terbentuk dalam bentuk proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi, sosial, budaya, tekhnologi, keagamaan, dsb), dibentuk dan ikut membentuk tatanan masyarakat, bentuknya ditentukan oleh masyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekaligus ikut menentukan bentuk dan sifat-sifat masyarakat itu sendir
i, jadi dalam dinamikanya hukum itu dikondisi dan mengkondisi masyarakat, karena tujuan utamanya untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan secara konkret dalam masyarakat, mengenal hukum terkandung baik kecenderungan konservatif (mempertahankan dan memelihara apa yang sudah tercapai) maupun kecenderungan modernisme (membawa, mengkanalisasi, dan mengarahkan perubahan). Dengan kata lain menurut Mochtar Kusumatmadja dalam implementasinya hukum memerlukan kekuasaan dan sekaligus menentukan batas-batas serta cara-cara menggunakan kekuasaan itu.
Hukum sejak zaman yunani kuno sudah menarik perhatian dan menjadi diskursus di kalangan cendekiawan. Hal ini karena, kenyataannya bahwa hukum termasuk kebutuhan esensial manusia dan dampaknya terhadap kebutuhan manusia individual. Selain itu ditambah pula dengan kemajemukannya, sehingga menyebabkan hukum itu dapat dipelajari dari berbagai sudut pandang. Masalah fundamental yang pertama-tama tertarik perhatiannya adalah para filsuf. Diskursus kefilsafatan tentang hukum biasanya dikaitkan dengan kekuasaan. Dalam perjalanan waktu, setelah berlangsungnnya perngajaran hukum yang memenuhi persyaratan ke-ilmiahan di berbagai universitas di Eropa pada abad pertengahan, memunculkan diskursus ilmiah tentang hukum pada tatanan ilmu positif. Diskursus ini dipelopori oleh Von Savigny, dalam dinamikanya tatanan ilmu positif ini melahirkan berbagai disiplin ilmu hukum, disamping filsafat hukum dan ilmu hukum, terdapat pula teori hukum, sejarah hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, perbandingan hukum, logika hukum, psikologi hukum.

B.      Sosiologi Hukum
Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa objek telaah sosiologi hukum adalah hukum dari sisi tampak sebagai kenyataan. Yakni, hukum sebagaimana dijalankan sehari-hari oleh orang dalam masyarakat. Artinya, yang dipelajari dalam disiplin ilmiah ini adalah kenyataan hukum. Dalam arti kenyataan kemasyarakatan berkenaan dengan adanya aturan hukum yang mencakup hubungan saling mempengaruhi secara timbal balik antara hukum dan proses kemasyarakatan.
Bernart Arief Sidarta mengemukakan: “Sosiologi hukum didefinisikan sebagai ilmu yang berdasarkan analisis teoritis dan penelitian empiris berusaha menetapkan dan menjelaskan pengaruh proses kemasyarakatan dan prilaku orang terhadap pembentukan, penerapan, yurisprudensi dan dampak kemasyarakatan aturan hukum dan sebaliknya pengaruh aturan hukum terhadap proses kemsyarakatan dan prilaku orang.”
Sejalan dengan rumusan Bernart, Sarjono Soekanto mengemukakan : “sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analisis dan empiris mempelajari hubungan timbal balik antar hukum dan gejala-gejala sosial lainnya.
Definisi ini dipertegas oleh Soedjono Dirjosisworo, : “sosiologi hukum adalah ilmu pengetahuan hukum yang melakukan studi dan analisis empiris tentang hubungan timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial lain.
Bedasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sosiologi hukum merupakan bagian dari ilmu hukum yang mengkaji hubungan timbal balik atau pengaruh timbal balik antara hukum dan gejala sosial yang dilakukan secara analisis dan empiris. Dalam konteks ini yang diartikan adalah suatu kompleksitas daripada sikap tindak manusia yang betujuan untuk mencapai kedamaian di dalam pergaulan hidup.

C.    Antropologi Hukum
Antara studi hukum dan antopologi terdapat suatu hubungan yang erat, karena keduanya berbicara dan mengkaji perihal ketertiban organisasi masyaratkat. Berikut pranata-pranata pengendaliannya yang tergolong kajian-kajian sentral .
Karakteristik antropologi hukum terletak pada sifat pengamatannnya, penyelidikannya dan pemahamannya yang secara menyeluruh terhapa kehidupan manusia (sejarah manusia, lingkungan hidup, kehidupan keluarga, pemukiman , ekonomi, politik,  agama, bangsa) sehingga pengertian-pengertian yang dibentuknya mempunyai nilai universal baik menurut tempat maupun waktu.
Ruang lingkup persoalan yang dikaji oleh ahli antropologi di bidang hukum cukup luas. Satjipto Rahardjo menyebutkan diantaranya sebagai berikut :
1.     Bagaimana tipe-tipe badan yang menjalankan pengadilan dan perantaraan dalam masyarakat
2.     Apakah yang menjadi landasan kekuasaan dari badan-badan itu untuk menjalankan peranannya sebagai penyelesaian sengketa
3.     Dalam keadaan tertentu, macam-macam sengketa yang bagaimanakah yang menghendaki penyelesaian melalui pengadilan dan yang manakah yang menghendaki perundingan.
4.     Fungsi serta efek ekosistemik yang manakah yang bekerja atas suatu proses hukum? (meliputi penyelidikan terhadap jaringan hubungan-hubungan sosial, psikologis, ekonomi dan politik antara para pihak, wakil-wakil atau pendukung mereka dan kepala-kepala mereka) (aspek penegak hukum : aturan, penegak hukum, budaya hukum
5.     Prosedur-prosedur manakah yang dipakai untuk masing-masing jenis sengketa pada kondisi-kondisi tertentu? (penyelidikan terhadap seg-segi sepert penangkapan tersangka, tempat kejadiannya, bukti-bukti dan sebagainya ).
6.     Bagaimana keputusan itu dijalankan
7.     Bagaimana hukum berubah, CB, BB (RUTAN)

Jadi persoalan-persoalan yang banyak di kaji dalam antropologi hukum adalah persoalan-persoalan tentang dan sekitar peneyelesaian sengketa dalam masyarakat.
Dalam hubungan ini Surjono Soekanto dalam bukunya “mengenal antropologi hukum “ bahwa antropolog hukum mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesainnya pada masyarakat sedrhana maupun masyarakat-masyrakat yang sedang mengalami proses modernisasi
Para ahli belum sependapat bahwa antropologi hukum hanya memusatkan perhatian pada masalah sengketa semata. Hal ini diungkapkan secara pnjang oleh Abdurrahman dalam makalahnya yang berjudul “antroplogi hukum, ruang lingkup dan perkembangannya dia Indonesia”, yang disampaikan dalam diskusi antropologi hukum dalam diskusi di Unlam pada tanggal 20 februari 2009 yang menggambarkan bahwa ruang lingkup antropologi hukum itu ternyaata sangat luas sekali, namun secara singakt dapat diakatan, bahwa antropologi hukum adalah Suatu sistem kajian yang mempelajari hukum dengan latar belakang budayanya.

D. Perbandingan Hukum
Perkataan “perbandingan” dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengadakan identifikasi terhadap persamaan dan atau perbedaan antara dua atau lebih gejala terentu.
Dalam literatul ilmu hukum, istilah perbandingan hukum menunjukkan 2 pengertian berbeda. Pertama, perbandingan hukum sebagai metode studi hukum, dan kedua perbandingan hukum sebagai ilmu pengetahuan (yang juga menggunakan metode perbandingan), yang membanding-bandingkan sistem hukum Negara yang satu dengan Negara yang lain. Perbandingan hukum juga dapat diadakan dalam asatu Negara saja yang mempunyai system hukum yang majemuk (pluralistic) seperti Indonesia, dapat diadakan perbandingan hukum antara system hukum adat, atau antara hukum barat dengan system hukum adat.
Menurut Bernart Arief Sidharta mengatakan : perbandingan hukum sebagai disiplin ilmiah adalah ilm yang mempelejarai dua atau lebih system hukum posistif pada negara-negara atau lingkungan-lingkungan hukum yang didalamnya system-sistem hukum yang ditelaah berlaku.
Studi perbandingan hukum dilakukan dengan maksud :
1.     Untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan yang ada diantara sistem hukum atau bidang-bidang  hukum yang dipelajari.
2.     Untuk menjelaskan mengapa terjadi persamaan atau perbedaan yang demikian itu, faktor-faktor apa yang menebabkannya.
3.     Untuk memberikan penilaian terhadap masing-masing system yang digunakan.
4.     Untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa yang bias ditarik sebagai kelanjutan dari hasil-hasil studi perbandingan yang telah dilakukan.
5.     Untuk merumuskan kecenderungan-kecenderungan yang umum pada perkembangan hukum, termasuk didalamnya irama dan ketentuan yang dapat dilihat pada perkembangan hukum tersebut
6.     Untuk menemukan asas-asas yang didapat sebagai hasil dari penyelidikan yang dilakukan dengan cara membandingkan hukum tersebut
Perbandingan hukum sebagai disiplin ilmiah mandiri harus dibedakan dari metode perbandingan hukum. Metode perbandingan hukum adalah salah satu bentuk cara menanganni hukum atau cara melakukan dan pengkajian ilmiah untuk memperoleh pengetahuan hukum. Perbandingan hukum sebagai disiplin ilmiah adalah ilmu yang mempelajari dua atau lebih system hukum positif pada Negara-negara atau lingkungan-lingkungan hukum yang didalamnya system-sistem hukum yang ditelaah berlaku.
Dalam perbandingan hukum, isi dan bentuk system-sistem hukum itu saling diperbandngkan untuk menemukan dan memaparkan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan, serta menjelaskan factor-faktor yang menyebabkannya dan kemungkinan arah perkembangannya.

E.      Sejarah Hukum
Sejarah hukum adalah satu bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu serta memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi waktu yang berbeda pula. Soejono Soekanto mengatakan sejarah hukum adalah bidang studi hukum yang mempelajari tentang perkembangan dan asal usul daripada sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu.
Sejarah adalah suatu proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang bergerak, bukan mati melainkan hidup. Segala yang hidup selalu berubah. Demikian juga masyarakat manusia, dan demikian juga bagian dari masyarakat yang disebut hukum. Ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan, hukum adalah gejala sejarah, ia mempunyai sejarah. Hukum sebagai gejala sejarah berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus-menerus. Pengertian pertumbuhan memuat dua arti, yaitu unsur perubahan dan unsur stabilitas. Demikian dikatakan Van Apeldoorn. Selanjutnya, dikatakannya pula bahwa “hukum tumbuh”, itu terutama berarti ada terdapat hubungan yang erat, sambung-menyambung atau hubungan yang tak terputus-putus antara hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau. Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu kita hanya dapat mengerti hukum pada masa kini dengan mempelajari sejarah. Mempelajari hukum secara ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah.
Selain itu “hukum tumbuh” juga mengandung arti bahwa hukum itu berubah. Hukum sebagai gejala masyarakat tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dengan yang lainnya. Tumbuh, berubah dan lenyapnya lembaga-lembaga hukum ditentukan oleh berbagai faktor masyarakat, faktor ekonomi, politik, agama dan susila.
Satjipto Rahardjo mengatakan, dengan mengetahui dan memahami secara sistematis proses-proses terbentuknya hukum, faktor-faktor yang menyebabkannya, interaksi faktor-faktor yang mempengaruhinya, proses adaptasi terhadap hukum yang baru, fungsi lembaga-lembaga hukum tertentu, faktor-faktor yang menyebabkan hapusnya atau tidak digunakannya lagi suatu lembaga hukum tertentu, perkembangan lembaga-lembaga hukum dari suatu sistem hukum tertentu dan sebagainya, akan memberikan tambahan pengetahuan yang berharga untuk memahami gejala hukum dalam masyarakat. Hal ini dilakukan oleh cabang studi hukum yang disebut sejarah hukum.

F.       Politik Hukum
Setiap masyarakat yang teratur, yang menentukan pola-pola hubungan yang bersifat tetap antara para anggotanya, adalah masyarakat yang mempunyai tujuan yang jelas. Politik adalah bidang yang berhubungan dengan tujuan masyarakat tersebut.
Oleh karena itu maka politik hukum adalah suatu bidang studi hukum, yang kegiatannya memilih atau menentukan hukum mana yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh masyarakat.
Teuku Mohammad Radhie, mengartikan politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah mana hukum hendak diperkembangkan. Selanjutnya dikatakannya, kata “politik” dalam perkataan “politik hukum” dapat berarti (bijaksanaan atau disebut dengan “policy” dan penguasa. Jadi dengan demikian keikutsertaan negara dengan alat-alat perlengkapannya, sebagai penguasa pergaulan hidup negara di dalam politik hukum ada tiga bagian, yaitu: (1) melaksanakan hukum, (2) mempengaruhi perkembangan hukum dan (3) menciptakan hokum yang tidak bertentangan dengan syariat.
Selanjutnya Sudiman Kartohadiprodjo dalam bukunya “Pengantar Tata Hukum di Indonesia” mengatakan, bahwa perhatian negara terhadap hukum dinamakan “politik hukum negara”. Politik hukum negara ini dapat ditujukan kepada “bentuk” yang akan diberikan pada hukum (dibiarkan tidak tertulis sebagai hiasaan dalam masyarakat atau ditulis dalam peraturan perundang-undangan atau kodifikasi). Politik hukum negara dapat pula ditujukan pada isi suatu kaidah hukum yang harus disandarkan padakesadaran hukum masyarakat.
Secara umum Soerjono Soekanto menyebutkan, bahwa pada politik hukum tercakup kegiatan memilih nilai-nilai yang menerapkan nilai-nilai tersebut.
Suatu ketentuan umum mengharuskan agar politik hukum suatu negara berdasarkan kepada “kepentingan rakyatnya”. Dan itulah dasar pokok bagi politik hukum negara RI. Tujuan akhir yang hendak dicapai ialah menjadikan masyarakatnya menjadi masyarakat yang adil dan makmur. Kalau setiap langkah kegiatan penyiapan, penyusunan dan perumusan peraturan serta ketentuan untuk masyarakat telah mengarah terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, maka benarlah politik hukum tersebut.
Politik hukum mencakup kegiatan-kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai undang-undang. Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai. Kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyerasian antara ketertiban dan ketenteraman; antara kelanggengan nilai-nilai lama (konservatisme) dan pembaruan.
Dapat pula ditambahkan bahwa politik hukum selalu berbicara tentang hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) dan berupaya menjadikannya sebagai hukum positif (ius constitutum) pada suatu masa mendatang.

G.     Psikologi Hukum
Psikologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajar hukum sebagai suatu perwujudan daripada jiwa manusia. Ilmu pengetahuan ini mempel ajari perikelakuan atau sikap tindak hukum yang mungkin merupakan perwujudan gejala-gejala kejiwaan tertentu dan juga landasan kejiwaan dari perikelakuan atau sikap tindak tertentu penjelasan.
Menurut teori Lamboroso, seorang penjahat itu sejak lahir telah memiliki cirri-ciri tertentu atau dengan kata lain sifat penjahat dari seseorang merupakan bawaan dari lahirnya. Teori ini sangat terkenal di awal abad 20 namun banyak kritik terhadapnya karena penekanan bahasaan hanya terhadap jasmani prilaku jasmani.
Meskipun psikologi hukum usianya masih sangat mudah, tetap kebutuhan akan cabang ilmu pengetahuan ini sangat dirasakan. Misalnya dalam bidang penekana hukum, psikologi hukum dapat menelaah factor-faktor psikologis apakah yang mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah hukum (berperikelakuan normal), dan meneliti factor-faktor apakah yang mungkin mendorong untuk melanggara kaidah hukum (berperikelakuan abnormal). Walaupun factor lingkungan ada pengaruhnya, tetapi tinjauan utamanya adalah factor pribadi.
Pengungkapan factor-faktor psikologis mengapa seseorang melakukan pelanggaran hukum, mempunyai arti penting dalam penegakan hukum pidana di pengadilan. Dalam hukum pidana misalnya dibedakan ancaman terhadap orang yang menghilangkan jiwa orang lain dengan sengaja dan tidak dengan sengaja. Direncanakan dan tidak direncanakan, yang dilakukan oleh orang yang sehat akal sehatnya dan orang yang gila.
Soejono Soekanto dalam bukunya “beberapa catatan tentang psikologi hukum” menyebutkan secara terprinci pentingnya psikologi hukum bagi penegakan hukum sebagai berikut :
1.     Untuk memberikan atau penfasiran yang tepat pada kaidah hukum, serta pengertiannya, misalnya pengertian etikat baik, etikat buruk, tidak dapat menjalankan kewajiban suami/istri, mempertanggungjawabkan perbuatan dst.
2.     Untuk menerapkan hukum, dengan mempertimbangkan keadaan psikologis pelaku.
3.     Untuk lebih menyeserasikan ketertiban dan ketentraman yang menjadi tujuan utama hukum.
4.     Untuk sebanyak mungkin menghindarkan penggunaan kekerasan dalam penegakan hukum
5.     Untuk memantapkan pelaksanaan fungsi penegakan hukum dengan cara lebih mengenal diri atau lingkungannya.
6.     Untuk menentukan batas-batas penggunaan hukum sebagai sarana pemeliharaan dan pencipataan kedamaian

H.      Filsafat Hukum
Filsafat hukum adalah cabang fislsafat yakni filsafat tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filsafat. Jadi, obyek filsafat hukum adalah hukum yang dikaji secara mendalam.
Filsafat hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hukum. Filsafat hukumdapat juga dikatan sebagai ilmu pengetahuan tentang hakikat hukum.
Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hukum ini misalnya :
1.     Apakah hukum itu sebenarnya?
2.     Mengapa hukum itu mengikat?
3.     Mengapa sebabnya orang menaati hukum?
4.     Bagaimana hukum dan keadilan?
Kalau ilmu hukum hanya melihat hukum sebagai dan sepanjang ia menjelma dalam perbuatan manusia, dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat, yang dapat ditangkap dengan panca indra, maka filsafat hukum menyingkap hakikat hukum itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar