Kamis, 09 Februari 2017

Hukum Perkawinan Dalam Hal Kawin Lari di Indonesia

Hukum Perkawinan Dalam Hal Kawin Lari di Indonesia
Oleh : Jon Efendy Purba, S.Pd., SH
1.       Azas-azas Perkawinan.
a.      Azas-azas Perkawinan Menurut Hukum Adat.
Menurut Hukum Adat, perkawinan bisa merupakan urusan kerabat,keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Bagi kelompok-kelompok yang mengatakan diri sebagai kesatuan-kesatuan sebagai persekutuan-persekutuan hokum (bagian clan, kaum, kerabat) perkawinan para warganya adalah sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib teratur, sarana yang dapat melahirkan generasi-genarasi baru yang melanjutkan garis hidup kelompoknya. Namun di dalam lingkungan persekutuan kerabat itu perkawinan juga selalu merupakan cara meneruskan (yang diharapkan dapat meneruskan) garis keluarga tertentu yang termasuk persekutuan tersebut : jadi merupakan urusan keluarga, urusan bapak, ibu nya selaku inti keluarga yang bersangkutan.
Didalam persekutuan (kelompok masyarakat) hokum yang merupakan kesatuan-kesatuan susunan rakyat, yaitu persekutuan desa, dan wilayah, maka perkawinan para warganya merupakan unsur penting di dalam peralihannya kepada inti sosial dari masyarakat sepanjang ada kemungkinan untuk masuk yang sepenuhnya menikmati hak dan memikul kewajiban serta tanggung jawab penuh atas kesejahteraan masyaraka.
Namun meskipun urusan keluarga, urusan kerabat, dan urusan persekutuan  bagaimanapun juga perkawinan itu tetap merupakan urusan hidup pribadi dari pihak-pihak individual yang kebetulan tersangkut di dalamnya ; jadi soal sukasuka atau benci jalannya proses perkawinan pinang, lebih-lebih bentuk kawin lari bersama, dan kawin lari bersama mencerminkan ketegangan tersebut antara kelompok warga dan warga selaku oknum.

b. Azas-azas Perkawinan Dalam Undang-Undang Perkawinan

Di dalam suatu perkawinan perlu adanya suatu ketentuan yang menjadi dasar atau prinsip dari pelaksanaan suatu perkawinan. Azas-azas mengenai perkawinan, yang diatur dalam penjelasan umum dari Undang_undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974).
1.      Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan memcapai kesejahteraan spritual dan material.
2.      Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan sah bilamana dilakukan menuru hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.      Undang-Undang ini menganut azas monogamy, hanya apabila dikehendaki yang bersangkutan mengijinkan seorang suami dapat beristrikan lebih dari seorang.
4.      Undang-Undang ini menganut prinsip bahwa calon suami-istri harus telah siap jiwa raga untuk dapat melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera maka Undang- Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
Sedangkan prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam adalah
1.      Pilihan jodoh yang tepat.
2.      Perkawinan yang didahului dengan peminangan
3.      Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan
4.      Ada persaksian dalam akad nikah
5.      Perkawinan tidak ditentukan untuk waktu tertentu
6.      Ada kewajiban membayar maskawin atas suami
7.      ada kebebasan mengajukan syarat dalam akad nikah.
8.      Perkawinan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang bersangkutan.

2. Pengertian Perkawinan
         Pengertian perkawinan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 adalah :” ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalm rangka mewujudkan kebahagian hidup keluarga, yang diliput rasa ktentraman serta kasih ayang dengan cara yang diridhoi oleh Allah SWT.
Perkawinan itu diyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akherat, dibawah naungan cinta kasih dan ridho Illahi.

3. Syarat Sahnya perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 Undang –Undang Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi :
  1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
  2. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tua.
  3.  dalam hal seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka ijin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
  4. dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatkan kehendaknya maka ijin diperoleh dari wali, ortang yang mememlihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darahdalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
  5. dalamnhal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3, 4, pasal ini atau sdalah seorang atau lebih dianatra mereka tidak menyatakan pendaopatnya maka pengadilan dalam daerah hokum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersbut dapat memberi ijin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut
  6. ketentuan tersebut ayat 1 sama pi dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan lain.
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamnya dan kepercayaannya itu, dinyatakan pula tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
Sedangkan Syarat-syarat sahnya perkawinan dalam hukum Islam adalah
a.       Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya.
b.      Dihadiri dua orang saksi laki-laki.
c.       Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad

4. Putusnya perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974.
Menurut hokum perkawinan Nasional , UU No 1 Tahun 1974 dan PP No 9 Tahun 1974 perkawinan dapat diputus karena
a.Kematian.
b. Perceraian
c. atas putusan pengadilan.
putusnya suatu perkawinan yang disebabkan karena kematian salah satu dari kedua suami istri pada umumnya tidak banyak menimbulkan persoalan sedangkan perceraian sebagai penyebab putusnya suatu perkawinan seperti yang tercantum dalam pasal 39 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 menyebutkan tentang perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan setelah siding yang bersangkutan berusha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak untuk melakukan suatu perceraian harus berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
  1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
  3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan pihak yang lain.
  5. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri
  6. Anatar suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga

5.       Pencegahan perkawinan.
Pencegahan perkawinan ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Undang-undang memberikan hak kepada beberapa orang untuk mencegah atau menahan dilangsungkannya perkawinan, yang diatur dalam :
  1. Pasal 13, pernikahan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
  2. Pasal 14 dan Pasal 15, yakni pencegahan pernikahan dapat diajukan ke pengadilan dalam daerah hokum dimana pernikahan akan dilangsungkan oleh pihak keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
  3. Pasal 17, pencegah memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat perkawinan dalam daerah dimana perkawinan akan dilangsungkan dan pegawai penctat perkawinan memberitahukan adanya permohonan pencegahan perkawinan kepada masing-masing calon mempelai.
  4. Pasal 18 pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada pengadilan oleh yang menvegah.
  5. Pasal 19, perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

6.       Pembatalan Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melngsungkan perkawinan. Hal ini berarti bahwa perkainan itu dilarabg bila tidak memenuhi syarat-syarat, sedangkan apabila perkawinan itu sudah terlaksana dapat dibatalkan, yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah :
a.       Para keluarga dalam garis keturunan ketas dari suami atau istri;
b.      Suami atau istri.
c.       Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
d.      Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat 2 pasal 16 Undang-Undang dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hokum secara langsung terhadap perkawinan tersebut tetapi hanya setelah perkawinan itu diputus.
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hokum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri.
7.       Perjanjian Perkawinan.
Perjanjian perkawinan diatur pada Pasal 29 dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu :
a.       Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
b.      Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hokum, agama dan kesusilaan.
c.       Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
d.      Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat di rumah kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketigas









Perkawinan Lari Di dalam Hukum Adat dan Didalm KUHPidana.
Pada umunya yang dimaksud perkawinan lari atau melarikan adalah bentuk perkawinan yang tidak didasrkan atas persetujuan lamaran orang tua, tetapi didasarkan kemauan sepihak atau kemauan kedua pihak yang bersangkutan. Lamaran dan atau persetujuan untuk perkawiann diantarakedua belah pihak orang tua terjadi setalh kejadian melarikan
Sebab-sebab terjadinya kawin lari antara lain ;
  1. dikarenakan tidak mau atau tidak untuk melamar.
  2. kartena lamaran ditolak
  3. karena perkawiana tidak disetujui orang tua.
  4. karena keadaan terpaksa.
  5. karena merasa dirugikan.
  6. karena mempunyai suatu tujuan.
Pada prinsip adapt yang prinsipnya kekerabatnnya patrilineal seperti di tanah batk dan lampung perkawinan lari merupakan pelanggaran tatatertib adapt yang tidak dapat dituntut, melainkan diselesaikan secara musyawarah antar kerabat yang bersangkutan atas dasar hokum adat perdata. Pada ,asyarakat adapt yang prinsipnya kekerabatannya matrilineal atau parental perkawinan lari adalah pelanggaran adat yang melanggar kekuasaan orang tua tetapi sudah banyak terjadi bahwa kasus yang serupa diselesaikan dalam perundingan antara kedua belah pihak kerabat orang tua berangkutan atas dasr persetujuan untuk kawin di antara si perempuan dan si lelaki yang melakukan kawin lari itujadi penyelesaian berdasrkan hokum perdata adapt atau hokum antar perdata adapt dengan jalan musyawarah di luar pengadilan negeri. Penyelesaian di luar pengadilan lebih dirasakan keadilannya daripada di dalam pengadilan.

Melarikan orang prempuan dalam KUH Pidana.
Hukum adapt berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Hokum adapt didalam kehidupan sehari-hari selalu mengikuti perubahan masyarakat Pasal 332 ayat 1 KUH pidana yang berbunyi : Karena melarikan perempuan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, barang siapa melarikan perempuan yang dibawah umur tanpa persetujuan orang tuanya atau walinya tetapi dengan kemauan perempuan itu sendiri dengan maksud untuk memiliki perempuan itu baik dengan perkawinan maupun tanpa perkawinan
Dari pasal tersebut terdapat istilah melarikan yang berarti membawa pergi perempuan di bawah umur tanpa izin orang tua atau walinya walaupun atas kemauan perempuan itu sendiri dan atau membawa pergi perempuan yang belum cukup umur dikarenakan akal tipu, kekerasan atau anacaman kekerasan.Maksud membawa lari ialah untuk mempunyai perempuan itu dalam atau luar perkawinan

Menurut Pasal 332 KUHPidana walaupn perempaun yang dibawa lari itu atas kemauan sendiri tetapi karena ia masih dibawah umur dan tanpa izin orang tua atau walinya maka maka yang melarikan karena salahnya dihukum..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar