Minggu, 05 Februari 2017

MAKALAH INDONESIA HUKUM

MAKALAH INDONESIA HUKUM


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang


Pembangunan hukum pada dasarnya merupakan upaya untuk membangun tata hukum nasional yang berlandaskan kepada jiwa dan dan kepribadian bangsa. Dalam konkritisasinya  pembangunan hukum berarti pembentukan kaidah-kaidah hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, untuk mengatur berbagai bidang kehidupan masyarakat. Pembuatan peraturan perundang-undangan hendaknya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang sedang membangun, mengarahkan dan mengantisipasi perubahan sosial guna mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu peraturan yang dibuat tersebut harus sesuai dengan aspirasi masyarakat sehingga dapat berlaku secara efektif.

Salah satu unsur penting dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah penggunaan “Bahasa Hukum” atau “Bahasa Perundang-undangan yang sesuai dengan kaidah tata Bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik yang menyangkut pembentukan kata, menyusun kalimat, maupun pengejaannya. Artinya bahwa dalam pemilihan kata atau kalimat tidak menimbulkan penafsiran yang salah atau multi tafsir.

Menurut Bob Robert Seidman, bahwa peranan seorang perancang (drafter) akan terlihat dalam proses penyusunan rancangan peraturan, walaupun sistem pembuatan peraturan berbeda di setiap negara.[1] Selanjutnya beliau mengatakan bahwa hal yang penting adalah bahwa penulis peraturan perundang-undangan harus benar-benar bertujuan agar pembaca memahami apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh undang-undang.[2]

Untuk mengetahui dan memahami isi, maksud dan tujuan suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dapat dipelajari dari struktur, pengaturan muatan materi dan bahasa. Bahasa yang tertulis (verbal) dalam suatu peraturan perundang-undangan memilki peran penting. Pertama, sebagai salah satu alat komunikasi antara perancang dengan subjek dan objek yang akan diatur. Kedua, memberikan umpan balik, apakah suatu peraturan perundang-undangan dapat dimengerti, diterima atau dilaksanakan oleh pelaku pelaksana yang dituju dan/atau oleh masyarakat luas. Bahasa peraturan perundang-undangan yang mudah dimengerti, lugas dan sederhana akan memberikan kemudahan bagi setiap pembaca untuk memahami isi, maksud dan tujuan dari suatu peraturan perundang-undangan.

Bahasa peraturan perundang-undangan adalah termasuk bahasa Indonesia yang tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, maupun pengejaannya. Namun perlu disepakati bahwa bahasa peraturan perundang-undangan tersebut sesungguhnya mempunyai corak atau gaya bahasa yang khas yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan azas sesuai dengan kebutuhan hukum.

Menurut Hamid Attamimi, bahwa, dalam membicarakan bahasa Indonesia dalam perundang-undangan, semua pihak yang berkepentingan agar susunan kata dan bentukan kalimat yang dituangkan dalam proses pembentukan peraturan negara itu harus terbebas dari ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan.[3]

Penyusunan rancangan peraturan yang merupakan tugas di bidang legislasi, baik dilaksanakan oleh para legislator, maupun pihak aparat pemerintah yang ada di instansi pemerintahan. Oleh karena itu para perancang (drafter) setidak-tidaknya harus memiliki minimal 3 (tiga) kemampuan: 

  1. Harus memahami substansi materi yang menjadi materi peraturan yang akan dirancang karena beragamnya peraturan perundang-undangan yang dirancang, maka bergam pula materi yang dimuat di dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
  2. Memahami ilmu perancangan peraturan perundang-undangan (legislative drafting), yaitu ilmu, teori dan teknik merancang peraturan perundang-undangan termasuk di dalamnya asas-asas hukum di dalam perundang-undangan dan asas-asas penyusunan peraturan perundang-undangan, dan;
  3. Harus memahami bahasa hukum, yaitu bahasa perundang-undangan, karena tidak sedikit peraturan kurang baik karena rumusan kalimat perundang-undangannya sangat buruk.

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penyusunan draf peraturan yaitu: bagaimana memahami ragam bahasa perundang-undangan dan menggunakannya dalam penyusunan peraturan perundang-undangan; bagaimana menjelaskan siapa (subjek) yang melakukan perbuatan apa dalam merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan.

B. Rumusan Masalah


1. Bagamaimana ragam bahasa dalam peraturan peundang-undangan?
2. Bagaimana penerapan bahasa peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan khaidah Bahasa Indonesia?

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Sifat Bahasa Perundang-Undangan


Ragam bahasa peraturan perundang-undangan ialah gaya bahasa yang dipergunakan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga ia merupakan bahasa Indonesia yang tunduk pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia, akan tetapi di dalamnya terkandung ciri-ciri khusus yaitu, adanya sifat keresmian, kejelasan makna, dan kelugasan.

  1. Sifat keresmian: sifat ini menunjukkan adanya situasi kedinasan, yang menuntut ketaatan dalam penerapan kaidah bahasa, dan ketaatan kepada kaidah bahasa.
  2. Sifat kejelasan makna: sifat ini menuntut agar informasi yang disampaikan dinyatakan dengan kalimat-kalimat yang memperlihatkan bagian-bagian kalimat secara tegas, sehingga kejelasan bagian-bagian kalimat itu akan memudahkan pihak penerima informasi dalam memahami isi atau pesan yang disampaikan. Sifat kejelasan makna ini menuntut agar kalimat-kalimat yang dirumuskan harus menunjukkan dengan jelas mana subyek, predikat, obyek, pelengkap, atau keterangan yang lainnya.
  3. Sifat kelugasan: sifat kelugasan ini menuntut agar setiap perumusannya disusun secara wajar, sehingga tidak berkesan berlebihan atau berandai-andai. [4]

Menurut Driedger dengan mengutip pendapat J. Stephen menyatakan bahwa dalam bahasa peraturan perundang-undangan “tidaklah cukup sekedar mencapai kecermatan yang menjadikan seseorang yang beritikad baik dapat memahaminya, melainkan apabila mungkin perlu mencapai tingkat kecermatan yangmenjadikan seseorang yang beritikad tidak baik tidak dapat salah memahaminya”.Sutan Takdir Alisyahbana mengemukakan bahwa bahasa yang dipergunakan untuk hukum adalah bahasa Indonesia yang sublim, yaitu jernih dan murni (sublim artinya menampakkan keindahan di bentuknya yang tertinggi; amat indah; mulia; utama).[5]

Khusus untuk bahasa dalam undang-undang, Anton M. Moeliono mengatakan sebagai berikut: “Bahasa dalam undang-undang, yang dituntut harus jelas, tepat dan tidak boleh bermakna ganda, serta tidak menyapa orang secara pribadi. Selain itu, kalimat dalam Undang-Undang cenderung mirip suatu formula, seperti contoh berikut: ”Barangsiapa yang ... dihukum/dipidana dengan hukuman...”

Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa pentingnya kedudukan seorang perancang Peraturan Perundang-Undangan (legislatif/legal drafter) dalam memilih dan menentukan kata dan susunan kalimat yang menghasilkan ungkapan yang tepat sebagaimana dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang (legislator) dan tidak menimbulkan multi tafsir bagi subjek dan objek yang melaksanakan, serta pembaca.

Suatu peraturan perundang-undangan dapat terdiri atas ketentuan-ketentuan yang berupa norma hukum tunggal, dan dapat pula merupakan norma hukum yang berpasangan. Jika norma hukum tersebut merupakan norma hukum tunggal, di dalamnya hanya dirumuskan pedoman bagaimana seseorang harus bertingkah laku di dalam masyarakat; sedangkan jika dirumuskan dalam norma hukum yang berpasangan, maka selain ia merumuskan pedoman bagaimana seseorang harus bertingkah laku dalam masyarakat (yang merupakan norma hukum primer), dirumuskan pula tentang bagaimana tindakan yang harus dilakukan oleh penguasa.[6]

B. Syarat-Syarat Bahasa Perundang-Undangan


Dalam perumusan suatu peraturan perundang-undangan Montesquieu mengemukakan beberapa batasan sebagai berikut: 
  1. Gaya bahasa hendaknya selain ringkas juga sederhana;
  2. Istilah yang dipilih sedapat-dapat bersifat mutlak dan tidak relatif, dengan maksud agar meninggalkan sedikit mungkin timbulnya perbedaan pendapat secara individual;
  3. Hendaknya membatasi diri pada riil dan aktual, serta menghindarkan diri dari yang kiasan dan dugaan;
  4. Hendaknya tidak halus sehingga memerlukan ketajaman pikiran pembacanya, karena rakyat banyak mempunyai tingkat pemahaman yang sedang-sedang saja; hendaknya tidak untuk latihan logika, melainkan untuk pikiran sederhana yang ada pada rata-rata manusia;
  5. Hendaknya tidak merancukan yang pokok dengan yang pengecualian, atau pengubahan, kecuali apabila dianggap mutlak perlu;
  6. Hendaknya tidak memancing perdebatan/perbantahan; adalah berbahaya memberikan alasan-alasan yang terlalu rinci karena hal ini dapat membuka pintu pertentangan;
  7. Di atas segalanya, hendaknya betul-betul dipertimbangkan apakah mengandung manfaat praktis; hendaknya tidak menggoyahkan dasar-dasar nalar dan keadilan serta kewajaran yang alami; Jeremy Bentham mengemukakan adanya ketidaksempurnaan (imperfections) yang dapat mempengaruhi undang-undang, dan ketidaksempurnaan ini dapat dijadikan asas-asas bagi pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.[7]

Menurut Hamid Attamimi, di dalam merumuskan peraturan perundang-undangan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Tidak boleh mempunyai arti yang kembar;
  2. Harus menggunakan ungkapan-ungkapan yang jelas (jangan berpuisi);
  3. Jangan menggunakan ungkapan yang tidak sempurna;
  4. Gaya bahasa harus padat dan sederhana;
  5. Penggunaaan istilah yang sudah mutlak/tetap;
  6. Jangan mengacaukan yang pokok dengan pengecualian-pengecualian;
  7. Hindarkan ketidakteraturan dalam menggunakan kata-kata;
  8. Jangan menggunakan kalimat terlalu panjang;
  9. Pertimbangkan baik-baik perlu tidaknya peraturan tersebut agar jangan sampai suatu saat hukum itu menjadi korban.[8]
Pada akhirnya, selain pedoman-pedoman tersebut di atas, maka hal-hal yang harus diperhatikan bagi seorang penyusun peraturan perundang-undangan adalah kemampuan dalam mengantisipasi atau menafsirkan apa yang mungkin terjadi dengan perumusan-perumusan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

Demikian pula gagasan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undanganharus dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Untuk itu, setiap perancang hendaknya menyadari adanya tiga kebenaran dasar, yaitu: 

1. Bahwa apa yang disampaikan dalam tulisan itu tidak selalu dapat diterima sama atau dengan baik oleh setiap orang. Ada yang menangkap hanya sedikit dari apa yang disampaikan, dan ada yang sama sekali tidak mampu menerima isi tulisan itu. Adapula yang menangkap tulisan itu dengan mudah untuk dapat dimengerti.

2. Bahwa makna yang akan disampaikan itu berada dalam pikiran perancangperaturan perundang-undangan bukan dalam kata atau simbol yang akan digunakannya. Bagaimana cermatnya makna itu dialihkan kepada orang lain tergantung pada keterampilan perancang untuk memilih kata-katanya, dan sejauh mana kecermatan pembaca menginterpretasikan kata-kata itu. Oleh karena itu, perancang harus melihat hal-hal dibalik kata-kata yang digunakan, dan juga harus mempertimbangkan kemampuan komunikasi dari mereka yang menerima pesan melalui tulisan itu, dalam hal ini pengguna peraturan perundang-undangan.

3. Bahwa komunikasi selalu tidak sempurna. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kata-kata itu terbatas dan sangat kasar untuk mewakili obyek atau hal yang akan dikomunikasikan. Kata “dapat” dan “boleh” dalam suatu norma dapat menimbulkan persoalan hukum yang berkepanjangan. Arti kata “dapat” menunjukkan adanya kewenangan yang melekat pada seseorang, sedangkan kata “boleh” menunjukkan kewenangan yang tidak melekat pada seseorang. Kata “wajib” dan “harus” kadangkala menimbulkan pula keraguan karena keduanya menyatakan keharusan (gebod) namun berbeda pengenaan sanksinya jika keharusan itu dilanggar. Kita berketetapan bahwa kata “wajib” digunakan untuk menyatakan keharusan, dan kata “harus” digunakan untuk pemenuhan persyaratan. Komunikasi juga tidak sempurna karena para komunikator sendiri memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk mengalihkan pikirannya. Ada orang yang dengan mudah mengerti suatu kata yang diterima olehnya, namun ada pula yang sebaliknya. Ada orang yang dengan mudah mengartikan kata-kata “kepentingan umum”, “stabilitas nasional”, “kerawanan”, “keadaan darurat”, “penyesuaian”, dan “keadilan”, dan lain-lain.[9]

C. Pemilihan Kata yang Tepat dalam Bahasa Perundang-Undangan


Perancang peraturan perundang-undangan dituntut untuk mampu memilih kata-kata yang tepat. Pemilihan kata oleh perancang peraturan bukan justru untuk mengaburkan pengertian kata itu sendiri atau dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda bagi pengguna peraturan, seperti, dalam penggunaan kata “kepentingan umum” di atas. Untuk dapat memilih kata-kata yang tepat, perancang peraturan perundang-undangan harus menguasai dan memiliki kosa kata atau perbendaharaan kata dan ungkapan-ungakapan tersebut. Pemilihan kata-kata yang tidak tepat, maka bahasanya akan terasa kaku dan tidak mempunyai rasa.

Dalam membentuk peraturan perundang-undangan, perancang harus mempunyai perbendaharaan kata-kata (vocabulary) yang memadai, disamping menguasai ungkapan-ungkapan dan penyusunan kalimat serta ejaannya. Pilihan kata yang diserap (dari bahasa asing), perlu lebih berhati-hati untuk menempatkannya karena kemungkinan satu kata berasal dari bahasa asing tersebut mempunyai banyak pengertian jika diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kata “maksimum”, misalnya, yang sering digunakan dalam menentukan sanksi pidana, sebaiknya menggunakan kata “paling”.

Di samping kata serapan, yang banyak timbul masalah adalah penggunaan kata-kata yang salah penempatannya dalam suatu kalimat norma. Kita sering rancu dalam menggunakan kata-kata “kecuali”, “selain” dan “di samping”. Pembentukperaturan perundang-undangan kadang-kadang menempatkan kata “kecuali” dalam kalimat “pengandaian” yang sering diungkapkan dengan kata-kata ”jika”, “dalam hal”, “apabila”, atau “pada saat”.

Pernah kita jumpai pula isi peraturan yang menyatakan “Kecuali dalam hal putusan hakim...” yang mungkin oleh pembentuk peraturan dimaksudkan kalimat norma tersebut mengandung makna “pengecualian”. Padahal jika dibaca secara cermat, kalimat tersebut sesungguhnya mengandung “pengandaian” karena menggunakan kata-kata “dalam hal”. Seharusnya pembentuk peraturan langsung saja menyatakan “Dalam hal putusan hakim..., maka...”.

Ada kemungkinan penempatan kata kecuali di belakang suatu kata tertentu, jika yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan, misalnya, “Yang dimaksud dengan anak buah kapal adalah mualim, juru mudi, koki, kecuali koki magang, dan pelaut”. Kalimat norma “pengandaian”, kadangkala menimbulkan ketidakkonsistenan karena ada empat jenis kata pengandaian yang digunakan, yaitu: “dalam hal”, “jika”, “apabila”, dan “pada saat”. Penggunaaan jenis kata pengandaian tersebut harus dipilah-pilah sesuai dengan rasa bahasa yang dikaitkan dengan penalarannya.

Kata-kata (frase) “dalam hal” digunakan untuk satu keadaan kemungkinan kondisi yang mungkin terjadi ataupun tidak mungkin terjadi. Contoh: “Dalam hal Presiden berhalangan tetap, maka...”. kata “jika” digunakan untuk kemungkinan atau keadaan yang akan terjadi lebih dari sekali, contoh: “Jika perusahaan itu melanggar kewajiban yang dimaksudkan dalam Pasal ... berturut-turut, maka ...”. Frase “pada saat” digunakan untuk kemungkinan atau keadaan yang pasti akan terjadi pada suatu saat pada suatu masa yang akan datang, misalnya, “Pada saat seorang anak mencapai umur 18 tahun, maka ...”. Kata “apabila” digunakan untuk pengandaian yang berhubungan dengan waktu, misalnya, “Apabila dalam waktu tiga bulan, penggugat tidak mengajukan gugatannya ke pengadilan, maka ...”.

Perancang kadangkala dibingungkan pula oleh kata kumulatif dan alternatif dalam kalimat norma, yaitu kata “dan” dan “atau”. Penggunaan kedua kata ini sering-menimbulkan interpretasi jika dipraktikkan di luar peraturan, dalam kata lain, di dunia praktisi hukum. Penggunaan kata ”dan” adalah untuk menentukan sifat komulatif, sedangkan kata ”atau” adalah untuk menentukan sifat alternatif. Sementara untuk menentukan sifat komulatif dan alternatif, gunakan saja kata ”dan/atau”.

D. Teknik Pengacuan dan Tanda Baca


1. Teknik Pengacuan

Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun untuk menghindari pengulangan rumusan dapat digunakan teknik pengacuan. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari Peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan atau Peraturan Perundang-Undangan yang lain dengan menggunakan frase sebagaimana dimaksud dalam pasal ... atau sebagaimana dimaksud pada ayat ...

Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal atau ayat demi ayat yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frase sampai dengan:

Contoh :

1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (4)

Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali.

Meskipun tidak dilarang, pengacuan sebaiknya digunakan terhadap pasal atau ayat terdahulu atau yang terletak sebelumnya. Hal ini penting agar tidak membingungkan pembaca, karena harus membuka lembar lain untuk melihat pasal atau ayat yang diacu. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu dan dihindarkan penggunaan frase pasal yang terdahulu atau pasal tersebut diatas.

2. Tanda Baca

Menurut Budi Riyanto, bahwa penggunaan dan penempatan tanda baca erat hubungannya dengan pemilihan dan penyusunan kata dan kalimat dalam perumusan pasal dan ayat. Penggunaan atau pemakaian tanda baca sebagai berkut:

a) Tanda Titik (.):

1) Dipakai jika pernyataan gagasan sudah selesai atau pada akhir kalimat bukan pertanyaan atau seruan;

2) Dipakai pada akhir singkatan nama orang, gelar, jabatan, pangkat, dan sapaan serta singkatan kata atau ungkapan yang sudah sangat umum (contoh: R. Suparman, Kepala.., Pembina.., Saudara, y.l, dan sebagainya), dan

3) Tidak dipakai dibelakang tanggal, nama, jabatan.

- Juli 1947
- Suparman
- Menteri Dalam Negeri

4) Tanda Koma (,):

a) Untuk memisahkan unsur-unsur dalam perincian atau pembilangan;
b) Untuk memisahkan anak kalimat yang mendahului induk kalimat dalam kalimat majemuk; dan
c) Untuk mengapit keterangan tambahan atau kalimat sisipan dalam kalimat yang lebih luas.

5) Tanda Titik Koma (;):

a) Menghubungkan suku kalimat yang sejenis dan setara yang tidak dirangkaikan oleh kata penghubung ( dan, atau, tetapi);
b) Suku kalimat yang dirangkaikan oleh kata seperti, karena itu, meskipun, demikian, walaupun begitu, tambahan lagi;
c) Suku kalimat atau gabungan kata (frasa) dalam seri yang sekaligus memerlukan pemakaian tanda titik koma, atau bahkan dalam seri yang unsur-unsurnya diberi penegasan khusus.

6) Tanda Titik Dua (:)

a) Dipakai pada akhir suatu pernyataan yang lengkap jika diikuti rangkaian keterangan atau penjelasan;
b) Tidak dipakai jika rankaian atau rincian itu merupakan obyek yang melengkapi atau mengakhiri pernyataan tersebut.

7) Tanda Elipsis (... tiga tanda titik) Menunjukkan bahwa dalam suatu petikan ada bagian yang dihilangkan. Jika bagian yang dihilangkan itu mengakhiri kalimat, perlu dipakai empat tanda titik, satu diantaranya yaitu titik yang terakhir untuk menandai akhir kalimat.

8) Tanda Kurung ( ) :

Dipakai untuk mengapit tambahan keterangan atau penjelasan pada singkatan, unsur yang tidak merupakan bagian integral pokok pembicaraan; petikan langsung yang berasal dari pembicaraan, pidato, naskah atau bahan tertulis.[10]

III. PENUTUP
B. Kesimpulan


Dalam penyusunanan peraturan perundang undangan, perancang peraturan selain harus memahami keinginan atau aspirasi masyarakat dan pihak yang terkait sebagai bahan masukan, memahami ilmu legislative drafting, juga menguasai bahasa hukum, sehingga peraturan perundang-undangan yang dihasilkan adalah peraturan yang responsive dan benar-benar bermanfaat bagi pembangunan hukum di Indonesia.

Ragam bahasa perundang-undangan adalah menggunakan bahasa yang tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, maupun pengejaannya. Bahasa perundang undangan tersebut sesungguhnya mempunyai corak atau gaya bahasa yang khas yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan azas sesuai dengan kebutuhan hukum.

C. Penutup


Demikian makalah ini kami susun. Punulis menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan jauh dari kesan “sempurna”. Oleh karena itu, kritik dan saran yang kontruktif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah saya selanjutnya. Akhirnya semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membcanya. Amien

DAFTAR PUSTAKA


Attamimi A. Hamid, Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan, Majalah Hukum dan Pembangunan, Jakarta 1997. 
Riyanto Budi, Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan, Bahan Ajar Diklat Legal Drafting LAN RI, 2006.
Seidman, Robert Bob, Ann Seidman dan Nalin Abeyeserkere, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Edisi I, ELIPS, USF, Juli 2001
Modul 5, Bahasa Perundang-Undangan, Diklat Teknis Penyusunan Praturan Perudang-undangan (Legal Drafting), Tahun 2009.


[1] Robert Bob Seidman, Ann Seidman dan Nalin Abeyserkere, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Edisi I, ELIPS, USF, Juli 2001, hal 18. 
[2] Ibid, hal 289 
[3] Hamid Attamimi, Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan, Majalah Hukum dan Pembangunan, Jakarta 1997, Hal 14 
[4] Modul 5, Bahasa Perundang-Undangan, Diklat Teknis Penyusunan Praturan Perudang-undangan (Legal Drafting), 2009, hal. 20 
[5] A. Hamid Attamimi, Op.cit. hal. 14 
[6] Ibid 
[7] Modul 5, Bahasa Perundang-Undangan, Op. cit., hal. 22 
[8] A. Hamid Attamimi, Op. Cit., hal 14 
[9] Modul 5, Bahasa Perundang-undangan, op. Cit, hal. 4 
[10] Budi Riyanto, Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan, Bahan Ajar Diklat Legal Drafting LAN RI, 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar