Minggu, 05 Februari 2017

MAKALAH HUKUM PERIKATAN

Makalah Hukum Perikatan


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia hidup dan berkembang dalam suatu susunan masyarakat sosial yang mana di dalamnya terdapat saling ketergantungan satu sama lain, seorang manusia tidak akan dapat hidup sendiri dan akan selalu membutuhkan orang yang lain untuk mendampingi hidupnya.
Berbicara mengenai kehidupan masyarakat tentu tidak terlepas dari yang namanya kehidupan sosial, dalam struktur kehidupan bermasyarakat tentu terdapat berbagai hal yang dianggap sebagai pengatur yang bersifat kekal, mengikat dan memiliki sanksi yang tegas  bagi para pelanggarnya. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai hukum. Hukum yang kini akan kita bahas merupakan hukum yang mengatur segala bentuk tindakan antar perseorangan atau antar sesama manusia, hukum ini dapat kita sebut sebagai hukum perdata.
Dalam hukum perdata ini banyak sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Dalam perikatan terdapat beberapa pokok bahasan diantaranya: Ketentuan Umum Perikatan, Prestasi dan Wanprestasi, Jenis-Jenis Perikatan, Perbuatan Melawan Hukum, Perwakilan Sukarela, Pembayaran Tanpa Utang dan Hapusnya Perikatan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan materi kami, diantaranya :
1.   Apa yang dimaksud dengan ketentuan umum dalam perikatan ?
2.   Apa saja jenis-jenis dari perikatan itu ?
3.   Bagaimana cara menghapuskan perikatan ?
C. Tujuan Penulisan
1.   Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perikatan,
2.   Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai jenis-jenis perikatan,
3.   Untuk mengetahui bagaimana cara untuk menghapuskan perikatan.
D. Manfaat Penulisan
1.   Sebagai tambahan pengetahuan bagi penulis maupun pembaca,
2.   Membuka wawasan tentang perikatan dan bagian-bagian yang lainnya termasuk jenis-jenis maupun cara penghapusannya,
3.   Memberikan fakta dan gambaran yang relevan mengenai hukum perikatan.
E. Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B.  Rumusan Masalah
C.  Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
E.  Sistematika Penulisan
BAB II KAJIAN TEORI
A. Ketentuan Umum Perikatan
B.  Prestasi dan Wanprestasi
C.  Jenis-Jenis Perikatan
D. Perbuatan Melawan Hukum
E.  Perwakilan Sukarela
F.   Pembayaran Tanpa Utang
G. Hapusnya Perikatan
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B.  Saran
DAFTAR PUSTAKA











BAB II
ISI
A.  PERIKATAN
1.   Ketentuan Umum Perikatan
Perikatan adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda verbintenis. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa :
a.    Perbuatan, misalnya jual beli, utang-piutang, hibah.
b.   Kejadian, misalnya kelahiran, kematian,
c.    Keadaan, misalnya rumah susun
Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Dalam hubungan tersebut, setiap pihak memiliki hak dan kewajiban timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu terhadap pihak lainnya dan pihak lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, juga sebaliknya. Dalam hubungan utang-piutang, pihak berutang disebut debitor, sedangkan pihak yang memberi utang disebut kreditor. Dalam hubungan jual-beli, pihak pembeli berposisi sebagai debitor, sedangkan pihak penjual sebagai kreditor. Dalam perjanjian hibah, pihak pemberi hibah berposisi sebagai debitor, sedangkan pihak penerima hibah sebagai kreditor.
2. Pengaturan Perikatan
            Perikatan diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi karena perjanjian dan Undang-Undang. Aturan mengenai perikatan meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi aturan yang tercantum dalam Bab I, Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), dan Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi perikatan umum. Adapun bagian khusus meliputi Bab III (kecuali Pasal 1352 dan 1353) dan Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam bab-bab bersangkutan.
            Pengaturan nama didasarkan pada “sistem terbuka”, maksudnya setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja, baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum ditentukan namanya dalam Undang-Undang. Sistem terbuka dibatasi oleh tiga hal, yaitu :
a.    Tidak dilarang Undang-Undang
b.   Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
c.    Tidak bertentangan dengan kesusilaan
            Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata menetukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik karena perjanijian maupun karena Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber peikatan adalah Undang-Undang dan perikatan. Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang terjadi karena Undang-Undang dirinci menjadi dua, yaitu perikatan yang terjadi semata-mata karena ditentukan dalam Undang-Undang dan perikatan yang terjadi karena perbuatana orang. Perikatan yang terjadi karena perbuatan orang, dalam pasal 1353 KUH Perdata dirinci lagi menjadi perbuatan menurut hukum (rechmatig daad) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
3. Unsur-Unsur Perikatan
a.    Subjek perikatan
            Subjek perikatan disebut juga pelaku perikatan. Perikatan yang dimaksud meliputi perikatan yang terjadi karena perjanjian dan karena ketentuan Undang-Undang. Pelaku perikatan terdiri atas manusia pribadi dan dapat juga badan hukum atau persekutuan. Setiap pelaku perikatan yang mengadakan perikatan harus:
1)   Ada kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri
2)   Tidak ada paksaan dari pihak manapun
3)   Tidak ada penipuan dari salah satu pihak, dan
4)   Tidak ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan



b.   Wenang berbuat
          Setiap pihak dalam dalam perikatan harus wenang berbuat menurut hukum dalam mencapai persetujuan kehendak (ijab kabul). Persetujuan kehendak adalah pernyataan saling memberi dan menerima secara riil dalam bentuk tindakan nyata, pihak yang satu menyatakan memberi sesuatau kepada yang dan menerima seseuatu dari pihak lain. Dengan kata lain, persetujuan kehendak (ijab kabul) adalah pernyataan saling memberi dan menerima secara riil yang mengikat kedua pihak. Setiap hak dalam perikatan harus memenuhi syarat-syarat wenang berbuat menurut hukum yang ditentukan oleh undang-undang sebagai berikut:
1)   Sudah dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun penuh
2)   Walaupun belum dewasa, tetapi sudah pernah menikah
3)   Dalam keadaan sehat akal (tidak gila)
4)   Tidak berada dibawah pengampuan
5)   Memiliki surat kuasa jika mewakili pihak lain
           Perstujuan pihak merupakan perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak untuk saling memenuhi kewajiban dan saling memperoleh hak dalam setiap perikatan. Persetujuan kehendak juga menetukan saat kedua pihak mengakhiri perikatan karena tujuan pihak sudah tercapai. Oleh sebab itu, dapat dinyatakan bahwa perikatan menurut sistem hukum prdata, baru dalam taraf menimbulkan kewajiban dan hak pihak-pihak, sedangkan persetujuan kehendak adalah pelaksanaan atau realisasi kewajiban dan pihak-pihak sehingga kedua belah pihak memperoleh hak masing-masing.
             Bagaimana jika halnya salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sehingga pihak lainnya tidak memperoleh hak dalam perikatan ? dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pihak yang tidak memenuhi kewajibannya itu telah melakukan wanprestasi yang merugikan pihak lain. Dengan kata lain, perjanjian tersebut dilanggar oleh salah satu pihak.
c.    Objek perikatan
          Objek perikatan dalam hukum perdata selalu berupa benda. Benda adalah setiap barang dan hak halal yang dapat dimiliki dan dinikmati orang. Dapat dimilik dan dinikmati orang maksudnya memberi manfaat atau mendatangkan keuntungan secara halal bagi orang yang memilikinya.
          Benda objek perikatan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah benda yang dapat diangkat dan dipindahkan, seperti motor, mobil, hewan ternak. Sedangkan benda tidak bergerak adalah benda yang tidak dapat dipindahkan dan diangkat, seperti rumah, gedung. Apabila benda dijadikan objek perikatan, benda tersebut harus memenuhi syarat seperti yang ditetapkan oleh undang-undang. Syarat-syarat tersebut adalah :
1) Benda dalam perdagangan
2) Benda tertentu atau tidak dapat ditentukan
3) Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud
4) Benda tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang atau benda halal
5) Benda tersebut ada pemiliknya dan dalam pengawasan pemiliknya
6) Benda tersebut dapat diserahkan oleh pemiliknya
7) Benda itu dalam penguasaan pihak lain berdasar alas hak sah
d. Tujuan perikatan
 Tujuan pihak-pihak mengadakan perikatan adalah terpenuhinya prestasi bagi kedua belah pihak. Prestasi yang dimaksud harus halal, artinya tidak dilarang Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat. Prestasi tersebut dapat berbentuk kewajiban memberikan sesuatu, kewajiban melakukan sesuatu (jasa), atau kewajiban tidak melakukan sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).
 4. Ketentuan Umum dan Khusus
   Dalam penerapannya, ketentuan umum dalam Bab I-IV Buku III KUH Perdata diberlakukan untuk semua perikatan, baik yang sudah diatur dalam Bab III (kecuali Pasal 1352 dan 1353) dan Bab V-XVIII maupun yang diatur dalam KUHD. Menurut ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata bahwa: “semua perjanjian yang mempunyai nama tertentu maupun yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada ketentuan umum yang dimuat dalam bab ini dan bab yang lalu”. Yang dimaksud dengan “bab ini dan bab yang lalu” dalam pasal ini adalah bab Bab II tentang perikatan yang timbul dari pejanjian dan Bab I tentang perikatan pada umumnya.
           Penerapan ketentuan umum terhadap hal-hal yang diatur secara khusus, dalam ilmu hukum dikenal dengan adagium iex specialis deroget legi generali. Artinya, ketentuan hukum khusus yang dimenangkan dari ketentuan hukum umum. Maknanya jika mengenai suatu hal sudah diatur secara khusus, ketentuan umum yang mengatur hal yang sama tidak perlu diberlakukan lagi. Jika suatu hal belum diatur secara khusus, ketentuan umum yang mengatur hal yang sama diberlakukan.
B. PRESTASI DAN WANPRESTASI
1. Prestasi
Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor. Namun, jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPdt, selalu ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu:
a.    Memberikan sesuatu, misalnya, menyerahkan benda, membayar harga benda, dan  memberikan hibah penelitian.
b.   Melakukan sesuatu, misalnya, membuatkan pagar pekarangan rumah, mengangkut barang tertentu, dan menyimpan rahasia perusahaan.
c.    Tidak melakukan sesuatu, misalnya, tidak melakukan persaingan curang, tidak melakukan dumping, dan tidak menggunakan merek orang lain.
Pasal 1235 ayat (1) KUHPdt menjelaskan pengertian memberikan sesuatu, yaitu menyerahkan penguasaan nyata atas suatu benda dari debitor  kepada kreditor atau sebaliknya, misalnya, dalam jual beli, sewa menyewa, perjanjian gadai, dan utang piutang. Dalam perikatan yang objeknya “melakukan sesuatu”, debitor wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya, melakukan perbuatan membongkar tembok, mengosongkan rumah, dan membangun gedung. Dalam melakukan perbuatan tersebbut, debitor arus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan. Debitor bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan perikatan. Dalam perikatan yang objeknya “tidak melakukan sesuatu”, debitor tidak melakukan perbuatan yang telah disepakati dalam perikatan, misalnya, tidak membuat tembok rumah yang tinggi sehingga menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila debitor melakukan pembuatan tembok yang berlawanan dengan perikatan ini, dia bertanggung jawab karena melanggar perjanjian dan harus membongkar tembok atau membayar ganti kerugian kepada tetangganya.
Sebagian besar perikatan yang dialami dalam masyarakat terjadi karena perjanjian. Karena itu, Undang-Undang mengatur bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt). Artinya, jika salah satu pihak tidak bersedia memenuhi prestasinya, kewajiban berprestasi itu dapat dipaksakan.
Jika pihak yang satu tidak memenuhi prestasinya, pihak yang lainnya berhak mengajukan gugatan ke muka pengadilan dan pengadilan akan memaksakan pemenuhan prestasi tersebut dengan menyita dan melelang harta kekayaannya sejumlah yang wajib dipenuhinya kepada pihak lain. Perjanjian yang diakui dan diberi akibat hukum itu adalah perjanjian yang tidak dilarang Undang-Undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan masyarakat. Karena itu, ada tiga sumber perikatan, yaitu perjanjian, Undang-Undang, serta ketertiban umum dan kesusilaan.
2. Sifat Prestasi
            Sifat-sifat prestasi yang perlu diketahui oleh debitor adalah:
a.    Prestasi harus sudah tertentu atau dapat ditentukan. Sifat ini memungkinkan debitor memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan, mengakibatkan perikatan itu batal (nietig).
b.   Prestasi itu harus mungkin. Artinya, prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitor secara wajar dengan segala upayanya. Jika tidak demikian, perikatan itu dapat dibatalkan (vernietigbaar)
c.    Prestasi itu harus dibolehkan (halal). Artinya, tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat. Jika prestasi tidak halal, perikatan itu batal (nietig)
d.   Prestasi itu harus ada manfaat bagi kreditor. Artinya, kreditor dapat menggunakan, menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan itu dapat dibatalkan (vernietigbaar)
e.    Prestasi itu terdiri atas satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi berupa satu kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali, dapat mengakibatkan pembatalan perikatan (vernietigbaar). Satu kali perbuatan itu maksudnya pemenuhan mengakhiri perikatan, sedangkan lebih dari satu kali perbuatan maksudnya pemenuhan yang terakhir mengakhiri perikatan.
 3. Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alasan, yaitu:
a.    Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun kelalaian dan
b.   Karena keadaan memaksa (force majeure, diluar kemampuan debitor.Jadi, debitor tidak bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor diakatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Dalam hal ini, ada tiga keadaan, yaitu:
a.    Debitor tidak memnuhi prestasi sama sekali;
b.   Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak baika atau keliru; dan
c.    Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitor dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan jangka waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak? Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasi. Dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan Pasal 1238 KUHPdt debitor dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana cara memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasinya? Debitor perlu diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitor wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitor tidak memenuhinya, debitor dinyatakan telah lalai atau wanprestasi.
Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dan dapat juga secara tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui pengadilan negeri yang berwenang, yang disebut sommatie. Kemudian, pengadilan negeri dengan perantaraan juru sita menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitor yang disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi, misalnya, melalui surat tercatat, telegram, faksimile, atau disampaikan senidri oleh kreditor kepada debitor dengan tanda terima. Surat peringatan ini disebut ingebreke stelling.
Akibat hukum bagi debitor yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum berikut ini:
a.    Debitor diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor (Pasal 1243 KUHPdt).
b.    Apabila perikatan itutimbal balik, kreditor dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui pengadilan (Pasal 1266 KUHPdt)
c.       Perikatan untuk memberikan sesuatu, risiko beralih kepada debitor sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPdt)
d.   Debitor diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPdt)
e.    Debitor wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan negeri dan debitor dinyatakan bersalah
4. Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa debitor tidak dapat disalahkan karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitor. Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
a.    Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda objek perikatan; atau
b.   Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatandebitor untuk berprestasi
c.    Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan
Keadaan memaksa yang memenuhi unsur (a) dan (c), maka keadaan memaksa itu disebut “keadaan memaksa objektif”. Vollmar menyebutnya absolute overmacht.Dasarnya adalah ketidakmungkinan (impossinillity) memenuhi prestasi karena bendanya lenyap/musnah. Dalam hal keadaan memaksa yang memenuhi unsure (b) dan (c) keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa subjektif”, Vollmar menyebutnya relative overmacht. Dasarnya adalah kesulitan memenuhi prestasi karena ada peristiwa yang menghalangi debitor untuk berbuat.
Perbedaan antara ”perikatan batal” dan “perikatan gugur” terletak pada ada tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi. Pada perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh debitor (sifat prestasi). Pada perikatan gugur, objek perikatan ada sehingga mungkin dipenuhi dengan segala macam upaya debitor, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi kreditor. Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh debitor, tetapi kreditor tidak menerima (menolak) karena tidak ada manfaatnya lagi, perikatan dapat dibatalkan (vernietigbaar).Persamaannya adalah pada perikatan batal dan perikatan gugur keduanya itu tidak mencapai tujuan.
            Pembentuk Undang-Undang tidak mengatur keadaan memaksa secara umum dalam KUHPdt. Akan tetapi, secara khusus diatur untuk perjanjian-perjanjian tertentu saja, misalnya pada:
a.  Perjanjian hibah (Pasal 1237 KUHPdt);
b.   Perjanjian jual beli (Pasal 1460 KUHPdt);
c.    Perjanjian tukar-menukar (Pasal 1545 KUHPdt); dan
d.                                           Perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1553 KUHPdt).
Oleh karena itu pihak-pihak bebas memperjanjikan tanggung jawab itu dalam perjanjian yang mereka buat apabila terjadi keadaan memaksa. Risiko keadaan memaksa pada perjanjian hibah ditanggung oleh kreditor (Pasal 1237 KUHPdt). Risiko keadaan memaksa pada perjanjian jual beli ditanggung oleh kedua belah pihak, penjual dan pembeli, (surat edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 mengenai Pasal 1460 KUHPdt). Risiko keadaan memaksa pada perjanjian tukar menukar ditanggung oleh pemiliknya (Pasal 1545 KUHPdt).
Adapun risiko keadaan memaksa pada perjanjian sewa menyewa ditanggung oleh pemilik benda (Pasal 1553 KUHPdt). Menurut Pasal1243 KUHPdt, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, baru diwajibkan jika debitor setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya; atau seseuatu yang harus diberikan atau dikerjakannyam, hanya dapat diberikan atau dikerjakan dalam tenggang waktu yang telah dilewatinya.
Yang dimaksud dengan “kerugian” dalam pasal diatas adalah kerugian yang timbul karena debitor melakukan wanpresatsi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitor terhitung sejak dia dinyatakan lalai. Ganti kerugian itu terdiri atas tiga unsure, yaitu:
a.  Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya materai, dan biaya iklan
b.   Kerugian sesungguhnya karen kerusakan, kehilangan benda milik kreditor akibat kelalaian debitor, misalnya, busuknya buah-buahan Karen terlambat melakukan penyerahan
c.  Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat dilunasi
5. Ganti Kerugian
Ganti kerugian hanya berupa uang bukan barang, kecuali jika diperjanjikan lain. Untuk melindungi debitor dari tuntutan sewenang-wenang dari pihak kreditor, Undang-Undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian yang wajib dibayar oleh debitor sebagai akibat dari kelalainnya (wanprestasi). Kerugian yang harus diabayar oleh debitor hanya meliputi:
a.    Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan
b.   Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi (kelalaian) debitor
c.    Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah utang.
C. JENIS-JENIS PERIKATAN
1. Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi peristiwa (Pasal 1253 KUHP dt). Perikatan bersyarat di bagi tiga yaitu :
a.    Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila syarat peristiwa itu terjadi, maka perikatan di laksanakan (Pasal 1263 KUHP dt). Misalnya  Oki setuju apabila Ramdan adiknya mendiami pavilium rumahnya setelah menikah. Nah, nikah adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan. Jika ramdan menikah, maka Oki wajib menyerahkan pavilium rumahnya untuk didiami oleh Ramdan.
b.   Perikatan dengan syarat batal
Disini justru perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi (Pasal 1265 KUHP dt). Misalnya, Arlita setuju apabila Regi kakaknya mendiami rumah Arlita  selama dia tugas di Perancis dengan syarat bahwa Regi harus mengosongkan rumah tersebut apabila Arlita selesai studi dan kembali ke tanah air. Di sini syarat  “ selesai dan kembali ke tanah air ” masih akan terjadi dan belom pasti terjadi. Akan tetapi, jika syarat tersebut terjadim perikatan akan berakhir dalam arti batal.
c.  Perikatan dengan ketetapan waktu
Syarat ketetapan waktu adalah pelaksaan perikatan itu digantungkan pada waktu yang di tetapkan. Misalnya Anis berjanji kepada Yesi bahwa ia akan membayar utangnya dengan hasil panen sawahnya yang sedang menguning pada tanggal 1 agustus 2014. Dalam hal ini hasil panen yang sedang menguning sudah pasti karena dalam waktu dekat, Anis akan panen sawah sehingga pembayaran utang pada tanggal 1 agustus 2014 sudah dipastikan.
2. Perikatan Manasuka ( Boleh Pilih)
Pada perikatan manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan perikatan mansuka karena, debitor boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Namun, debitor tidak dapat memaksa kreditor untuk menerima sebagian benda yang satu dan benda sebagian benda yang lainnya. Jika debitor telah memenuhi salah satu dari dua benda yang ditentukan dalam perikatan, dia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada debitor jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditor (Pasal 1272 dan 1273 KUHP dt).
Misalnya, Rima memesan barang elektronik berupa radio tape recorder ataustereo tape recorder di sebuah toko barang elektronik dengan harga yang sama, yakni Rp 2.500.000,00. Dalam hal ini, pedagang tersebut dapat memilih yaitu menyerahkan radio tape recorder atau stereo tape recorder. Akan tetapi, jika diperjanjikan bahwa Rima (Pemesan) yang menentukan pilihan, pedagang memberitahukan kepada Rima bahwa barang pesanan sudah tiba, silahkan memilih salah satu dari benda objek perikatan tersebut. Jika Rima telah memilih dan menerima satu dari dua benda itu, peerikatan berakhir.
3. Perikatan Fakultatif
Perikatan Fakultatif yaitu perikatan dimana debitor wajib memenuhi suatu prestasi tertentu atau prestasi lain yang tertentu pula. Dalam perikatan ini hanya ada satu objek. Apabila debitor tidak memenuhi prestasi itu, dia dapat mengganti prestasi lain. Misalnya, Agung berjanji kepada Rian untuk meminjamkan mobilnya guna melaksanakan penelitian. Jika Agung tidak meminjamkan Karena rusak, dia dapat mengganti dengan sejumlah uang transport untuk melaksanakan penelitiannya.
4. Perikatan Tanggung-Menanggung
Pada perikatan tanggung-menanggung dapat terjadi seorang debitor berhadapan dengan beberapa orang kreditor atau seorang kreditor berhadapan dengan beberapa orang debitor. Apabila kredior terdiri atas beberapa orang, ini disebut tanggung-menanggung aktif. Dalam hal ini, setiap kreditor, berhak atas pemenuhan prestasi seluruh hutang. Jika prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitor dibebaskan dari utangnya dan perikatan hapus (Pasal 1278 KUHP dt).
Jika pihak debitor terdiri atas beberapa orang, ini disebut tanggung menanggung pasif, setiap debitor wajib memenuhi prestasi seluruh utang dan dan jika sudah dipenuhi oleh seorang debitor saja, membebaskan debitor –debitor lain dari tuntutan kreditor dan perikatannya hapus (Pasal 1280 KUHP dt)
Berdasarkan observasi, perikatan yang banyak terjadi dalam praktiknya adalah perikatan tanggung-menanggung pasif yaitu :
a.    Wasiat
Apabila pewaris memberikan tugas untuk melaksanakan hibah wasiat kepada ahli warisnya secara tanggung-menanggung.

b.   Ketentuan Undang-Undang
Dalam hal ini undang-undang menetapkan secara tegas perikatan tanggung menanggung dalam perjanjian khusus.
Perikatan tanggung menanggung secara tegas diatur dengan perjanjian khusus, yaitu sebagai berikut ;
a.    Persekutuan firma (Pasal 18 KUHD)
Setiap sekutu bertanggung jawab secara tanggung-menanggung untuk seluruhnya atas semua perikatan.
b.   Peminjaman benda (Pasal 1749 KUHPdt)
Jika bebereapa orang bersama-sama menerima benda karena peminjaman, meka masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab terhadap orang yang memberikan pinjaman benda itu.
c.    Pemberian kuasa (Pasal 1181 KUHPdt)
Seorang penerima kuasa diangkat oleh beberapa orang untuk mewakili dalam suatu urusan yang menjadi urusan mereka bersama. Mereka bertanggung jawab untuk seleruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat pemberian kekuasaan.
d.      Jaminan orang (borgtoch,pasal 1836 KUHPdt)
Jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penjamin sebagai seorang debitor yang sama untuk utang yang sama, mereka itu untuik masing-masing terikat untuk seluruh utang.
5. Perikatan Dapat Dibagi Dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi, sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu berdasarkan pada :
a.    Sifat benda yang menjadi objek perikatan.
b.   Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Perikatan dapat atau tidak dapat dibagi bisa terjadi jika salah satu pihak meninggal dunia sehingga akan timbul maslah apakah pemenuhan prestasi dapat dibagi atau tidak antara para ahli waris almahrum itu. Hal tersebut bergantung pada benda yang menjadi objek perikatan yang penyerahannya atau pelaksanaannya dapat dibagi atau tidak, baik secara nyata maupun secara perhitungan ( Pasal 1296 KUHPdt).
Akibat hukum perikatan dapat atau tidak dapat dibagi adalah bahwa perikatan yang tidak dapat dibagi, setiap kreditor berhak menuntut seluruh  prestasi kepada setiap debitor dan setiap debitor wajib memenuhi prestasi tersebut seluruhnya. Dengan dipenuhinya prestasi oleh seorang debitor , membebaskan debitor lainnya dan perikatan menjadi hapus. Pada perikatan yang dapat dibagi, setiap kreditor hanya dapat menuntut suatu bagian prestasi menurut perimbangannya, sedangkan setiap debitor hanya wajib memenuhi prestasi untuk bagiananya saja menurut perimbangan.
6. Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan ini memuat suatu ancaman hukuman terhadap debitor apabila dia lalai memenihi prestasinya. Ancaman hukuman ini bermaksut untuk memberikan suatu kepastian atas pelaksanaan isi perikatan, seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak. Disamping itu, juga sebagai upaya untuk menetapkan jumlah ganti keruguan jika memang terjadi wanprestasi. Hukuman itu merupakan pendorong debitor untuk memenuhi kewajiban berprestasi dan untuk membebaskan kreditor dari pembuktian tentang besarnya ganti kerugian yang telah di deritanya.
Misalnya, dalam perjanjian dengan ancaman hukuman, apabila seorang pemborong harus menyelesaikan pekerjaan bangunan dalam waktu tiga puluh hari tidak menyelesaikan pekerjaannya, dia dikenakan denda satu juta rupiah setiap hari terkampat itu. Dalam hal ini, jika pemborong itu melalaikan kewajibannya, berarti dia wajib membayar denda satu juta rupiah sebagai ganti kerugian untuk setiap hari terlambat.
7. Perikatan Wajar
Undang-undang tidak menentukan apa yang dimaksud dengan perikatan wajar (natuurlijke verbintenis, natural obligation). Dalam undang-undang hanya dijumpai Pasal 1359 ayat (2) KUHPdt. Karena itu, tidak ada kesepakatan antara para penulis hukum mengenai sifat dan akibat hukum dari perikatan wajar, kecuali mengenai satu hal, yaitu sifat tidak ada gugatan hukum guna memaksa pemenuhannya. Kata wajar adalah terjemaahan dari kata aslinya dalam bahasa Belanda “natuurlijk” oleh Prof. Koesoemadi Poedjosewojo dalam kuliah hukum perdata pada  Fakultas Hukum Universitas  Gadjah Mada Yogyakarta.
Perikatan wajar bersumber dari Undang-Undang dan kesusilaan seta kepatutan (Moral and equity). Bersumber pada Undang-Undang, artinya keberadaan perikatan wajar karena ditentukasn oleh Undang-Undang. Jika Undang-Undang tidak menentukan, tidak ada perikatan wajar. Bersumber dari kesusilaan dan kepatutan, artinya keberadaan perikatan wajar karena adanya belas kasihan, rasa kemanusiaan, dan kerelaaan hati yang iklas  dari pihak debitor. Hal ini sesuai benar dengan sila kedua pancasila dan dasar Negara Republik Indonesia.
Ada contoh-contoh yang berasal dari ketentuan undang-undang adalah seperti berikut ini :
a.    Pinjaman yang tidak diminta bunganya
Jika bunganya dibayar, tidak dapat dituntut pengembaliannya (Pasal 1766 KUHPdt)
b.   Perjudian dan pertaruhan
Undang-Undang tidak memberikan tuntutan hukum atas suatu utang yang terjadi karena perjudian karena perjudian pertaruhan ( Pasal 1788 KUHPdt).
c.    Lampau waktu
Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun perorangan hapus karena kadaluarsa (lampau waktu) dengan lewatnya tenggang waktu tiga puluh hari tahun.
d.   Kepailitan yang di atur dalam undang-undang kepailitan.


D. PERBUATAN MELAWAN HUKUM
1.   Konsep Perbuatan Melawan Hukum
Untuk mengetahui konsep “perbuatan melawan hukum” (onrechtmatige daad), perlu dibaca Pasal 1365 KUHPdt yang sama rumusannya dengan pasal 1401 BW Belanda yang menentukan sebagai berikut:
Setiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Berdasar pada rumusan pasal ini, dapat dipahami bahwa suatu perbuatan dinyatakan melawan hukum apabila memenuhi empat unsur berikut:
a.    Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig);
b.   Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian;
c.    Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan; dan
d.   Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.
Salah satu saja dari unsur-unsur di atas ini tidak terpenuhi, perbuatan itu tidak dapat digolongkan perbuatan melawan hukum.

a.    Perbuatan (daad)   
Kata “perbuatan” meliputi perbuatan positif dan perbuatan negative. Perbuatan positif adalah perbuatan yang benar-benar dikerjakan diatur dalam Pasal 1365 KUHPdt atau Pasal 1401 BW Belanda. Perbuatan negatif adalah perbuatan yang benar-benar tidak dikerjakan, diatur dalam Pasal 1366 KUHPdt. Oleh karena itu, perbuatan positif dikerjakan oleh orang yang benar-benar berbuat, sedangkan perbuatan negatif tidak dikerjakan saama sekali oleh orang yang bersangkutan. Pelanggaran perbuatan dalam dua pasal tersebut  mempunyai akibat hukum sama, yaitu mengganti kerugian.
Rumusan perbuatan positif dalam Pasal 1365 KUHPdt dan perbuatan negatif dalam Pasal 1366 KUHPdt hanya digunakan sebelum ada Putusan Hoge Raad Nederlands 31 Januari 1919 karena pada waktu itu pengertian “melawan hukum” hanya bagi perbuatan positif, dalam arti sempit. Setelah keluar Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, pengertian “melawan hukum” diperluas, mencakup juga perbuatan negatif, tidak berbuat.
Dengan demikian, pengertian “perbuatan melawan hukum” Pasal 1365 KUHPdt diperluas mencakup juga perbuatan negatif Pasal 1366 KUHPdt, yaitu berbuat atau tidak berbuat. Jadi, perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPdt adalah berbuat atau tidak berbuat yang merugikan orang lain. Berbuat, contohnya merusak barang milik orang lain. Tidak berbuat, contohnya tidak mengerjakan pekerjaan borongan yang telah disanggupi. Kedua perbuatan tersebut menimbulkan akibat hukum sama, yaitu merugikan orang lain. Contoh lain, membakar kebun tetangga atau membiarkan bayi tidak diberi susu. Kedua perbuatan itu berakibat merugikan orang lain.

b.   Melawan hukum (onrechtmatig)
Sejak tahun 1890 para penulis hukum telah menganut paham yang luas tentang pengertian melawan hukum, sedangkan dunia peradilan (Mahkamah Agung) masih menganut paham yang sempit. Hal itu dapat diketahui dari Putusan Hoge Raad Nederlands sebelum tahun1919, yang merumuskan:
Perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang melanggar hak orang lain atau jika orang berbuat bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.”
Dalam rumusan ini, yang perlu dipertimbangkan hanya hak dan kewajiban hukum berdasar pada undang-undang (wet). Jadi, perbuatan itu harus melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan undang-undang (wet). Dengan demikian, melanggar hukum (onrechtmatig) sama dengan melanggar undang-undang (onwetmatig). Melalui tafsiran sempit ini banyak kepentingan masyarakat dirugikan, tetapi tidak dapat menuntut apa-apa.

2.   Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Pribadi
Apabila perbuatan melawan  hukum ditujukan kepada diri pribadi orang lain, perbuatan melawan hukum dapat menimbulkan kerugian fisik ataupun kerugian nama baik (martabat). Kerugian fisik, misalnya, luka, cedera, dan cacat tubuh. Kerugian nama baik, misalnya, dijauhi teman dalam pergaulan, hilang kewibawaan karena tidak dihormati orang lagi, atau putus hubungan baik karena difitnah pihak lain.
Apabila seseorang mengalami luka atau cacat pada salah satu anggota badan disebabkan oleh kesengajaan atau kelalaian orang lain, undang-undang memberikan hak kepada korban untuk memperoleh penggantian kerugian, biaya pengobatan, dan perawatan. Ganti kerugian itu dinilai menurut kedudukan dan kemampuan serta keadaan kedua belah pihak. Ukuran ini pada umumnya berlaku untuk menilai kerugian yang timbul dari suatu kekerasan atau kejahatan terhadap diri pribadi seseorang, misalnya, ditabrak kendaraan bermotor yang mengakibatkan luka parah atau cacat (Pasal 1371 KUHPdt).
Penghinaan adalah perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, yang dapat dimasukkan perbuatan melawan hukum pencemaran nama baik seseorang. Oleh karena itu, dapat dituntut berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt. Penghinaan itu menimbulkan kerugian terhadap nama baik, martabat, harga diri, dan kedudukan dalam masyarakat. Menurut ketentuan Pasal 1372 KUHPdt, gugatan berdasar pada penghinaan bertujuan untuk memperoleh ganti kerugian serta pemulihan nama baik. Dalam mempertimbangkan berat ringan ganti kerugian yang dituntut, pengadilan harus mempertimbangkan  berat ringan penghinaan, kedudukan, jabatan, keadaan, dan kemampuan pihak-pihak.
3. Implementasi Pasal 1365 KUHPdt
a.    Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Mahkamah Agung RI dalam putusan perkara perdata ternyata mengikuti juga konsep perbuatan melawan hukum dalam arti luas. Perbuatan melawan norma kesusilaan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang merugikan diri atau nama baik orang lain dapat dituntut secara hukum berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt. Hal ini dapat dikaji melalui Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 3191K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986  antara Masudiati (penggugat) melawan I Gusti Lanang Rejeb (tergugat). Dalam perkara tersebut, setelah penggugat dibawa lari oleh tergugat, tergugat telah berjanji akan menikahi penggugat, baik menjadi istrinya secara adat maupun secara agama dalam tenggang waktu empat bulan.
Ternyata, walaupun penggugat telah mendesak pihak tergugat, tergugat tidak mau juga menikahi penggugat hingga berlangsung sampai 1 tahun 4 bulan mereka hidup bersama. Selama hidup bersama itu, penggugatlah yang menanggung biaya penghidupan keluarga (tergugat, anak, dan orang tua tergugat). Karena tergugat tidak memenuhi perjanjian untuk menikahi penggugat, penggugat merasa bahwa perbuatan tergugat telah merugikan nama baik atau kehormatannya sehingga penggugat menuntut ganti kerugian berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt sejumlah uang Rp5.000.000,00 sebagai pemulihan nama baik atau kehormatan penggugat.
Dalam putusannya tanggal 1 Maret 1984 Nomor 073/PN-Mtr/Pdt.1983, Pengadilan Negeri Mataram (Lombok), antara lain, telah memutuskan:
Mengabulkan gugatan penggugat sebagian. Menyatakan tergugat bersalah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak menepati janjinya untuk menikahi penggugat. Menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian sebagai pemulihan nama baik atau kehormatan penggugat sejumlah Rp2.500.000,00.
Karena merasa tidak puas, tergugat mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Mataram dengan permohonan agar membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Mataram taggal 1 Maret 1984 Nomor 65/Pdt/1984/PT-Mtr, Pengadilan Tinggi Maratam, antara lain, memutuskan:
Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Mataram tanggal 1 Maret 1984 Nomor 073/PN-Mtr/Pdt/1983 dan dengan mengadili sendiri menolak gugatan terbanding seluruhnya.
Karena dalam putusan tingkat banding diperlakukan tidak adil, penggugat terbanding mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung RI, antara lain, menyatakan bahwa dari surat bukti yang diajukan pemohon kasasi sebagai petunjuk terbukti bahwa termohon kasasi telah selalu menyebut pemohon kasasi sebagai istrinya sehingga dapat disimpulkan bahwa termohon kasasi berkeinginan untuk mengawininya.
Dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini pemohon kasasi, termohon kasasi telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan perbuatan termohon kasasi itu adalah suatu perbuatan melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian terhadap nama baik atau kehormatan pemohon kasasi. Maka termohon kasasi wajib memberi ganti kerugian seperti tertera dalam amar putusan.
Dalam putusannya tanggal 8 Februari 1986 Nomor 3191K/Pdt/1984 Mahkamah Agung RI, antara lain, memutuskan:
Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Mataram tanggal 26 Juli 1984 Nomor 65/Pdt/1984/PT-Mtr yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Mataram tanggal 1 Maret 1984 Nomor 073/PN-Mtr/Pdt/1983. Mengadili sendiri mengabulkan gugatan penggugat sebagian. Menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian sebagai pemulihan nama baik atau kehormatan penggugat sejumlah Rp2.500.000,00.
Dalam hubungannya dengan Yurisprudensi yang telah diuraikan di atas, Z. Asikin Kusumah Atmadja seorang hakim agung pada waktu itu menyatakan bahwa untuk pertama kalinya hal tidak menepati perjanjian untuk melakukan pernikahan diselesaikan menurut hukum perdata. Sebelumnya selalu diselesaikan menurut hukum pidana yang selalu tidak memberikan penyelesaian tuntas. Menurut doktrin, perbuatan melawan hukum termasuk perikatan yang bersumber pada undang-undang. Namun, jenis lain adalah perbuatan melwan hukum termasuk perikatan yang termasuk perikatan yang bersumber pada perjanjian seperti pada kasus yang diuraikan di atas.
Oleh karena itu, beliau menyatakan bahwa dalam memutus perkara yang berkaitan dengan perjanjian untuk melangsungkan pernikahan, seyogianya diperhatikan apakah hal tersebut harus dibuktikan secara jelas sudah ditentukan untuk menikah secara resmi, misalnya, sudah ditentukan hari dan tanggal, jangka waktu pernikahan akan dilangsungkan, atau dengan penyebutan dalam setiap peristiwa bahwa wanita yang dibawanya itu adalah istrinya karena sudah hidup bersama.
Selanjutnya Z. Asikin Kusumah Atmadja menyatakan:
“Apabila salah satu pihak tidak datang pada hari yang sudah ditentukan atau hingga lampau tenggang waktu yang diperjanjikan tidak mau melangsungkan pernikahan, dalam hal ini perbuatannya merupakan perbuatan melawan hukum.”
Dalam kasus di atas, majelis hakim berpendapat, pihak wanita sesuai dengan bukti-bukti yang cukup mempunyai alasan untuk mempercayai janji pernikahan dari pihak pria meskipun lembaga hidup bersama belum diakui di Indonesia. Namun, pada pihak lainnya hakim wajib menjaga agar pihak yang dinyatakan sebagai pihak yang lemah (tidak selalu pihak wanita) dilindungi terhadap “keisengan” pihak lainnya.
b. Pelaku perbuatan melawan hukum
Kembali kepada Pasal 1365 KUHPdt, setiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Siapa yang dimaksud dengan orang yang bersalah menimbulkan kerugian dalam konteks Pasal 1365 KUHPdt itu? Orang bersalah dimaksud adalah pelaku perbuatan melanggar hukum, tidak hanya bertanggung jawab karena perbuatannya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab karena perbuatan orang lain yang berada dibawah kekuasaan atau tanggung jawabnya, serta karena barang yang berada dibawah pengawasannya (Pasal 1367 KUHPdt).
Pelaku perbuatan melawan hukum dapat berupa manusia pribadi ataupun badan hukum. Ketentuan Pasal 1367 KUHPdt memberikan rincian orang yang mempunyai kekuasaan atau tanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain seperti diuraikan berikut ini:
a.    Orang tua atau wali terhadap anak yang belum dewasa.
b.   Majikan terhadap orang yang diangkat sebagai bawahannya.
c.    Guru terhadap murid selama berada dibawah pengawasannya.
d.   kepala tukang selama mereka dibawah pengawasannya.
Namun mereka ini dianggap tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berada dibawah kekuasaan atau pengawasannya jika dapat membuktikan bahwa mereka tidak mungkin dapat mencegah perbuatan demikian itu. Siapa yang bertanggung jawab terhadap akibat perbuatan melawan hukum anak yang belum dewasa? Menurut ketentuan Pasal 1367 jo. KUHPdt, orang tua atau wali anak yang bersangkutan bertaggung jawab mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.
4. Perbuatan Melawan Hukum oleh Badan Hukum
Dilihat dari cara pembentukannya, badan hukum dibedakan antara badan hukum perdata dan badan hukum publik. Badan hukum perdata dibentuk berdasar pada hukum perdata, sedangkan pengesahannya dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal yang disahkan itu adalah akta pendirian yang memuat anggaran dasar badan hukum. Badan hukum perdata ini antara lain, perseroan terbatas, yayasan, dan koperasi.
Badan hukum publik adalah badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah berdasar pada hukum publik, yaitu undang-undang atau peraturan pemerintah. Badan hukum publik merupakan badan kenegaraan, misalnya Negara Republik Indonesia, Provinsi (Daerah Tingkat I), Kabupaten/Kota (Daerah Tingkat II), Lembaga Tinggi Negara, Departemen Pemerintahan, dan Badan Usaha Milik Negara. Badan hukum publik dibentuk berdasar pada peraturan perundang-undangan untuk menyelenggarakan kepentingan umum, baik kenegaraan maupun kemasyarakatan. Jika badan hukum publik melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad), dapat digugat berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa badan hukum publik dalam menjalankan kekuasaannya mungkin merugikan orang lain dengan alasan menjalankn undang-undang. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara kebijaksanaan dan pelanggaran undang-undang. Dalam hal ini pengadilan yang akan menentukannya. Jika perbuatan yang dilakukan itu merupakan kebijaksanaan penguasa (pemerintah), hal ini bukan lagi wewenang pengadilan perdata karena sudah masuk ranah politik.
Dulu orang pernah menyangsikan apakah badan hukum itu dapat melakukan perbuatan melawan hukum. Alasannya karena badan hukum tidak dapat melakukan kesalahan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan seperti halnya manusia pribadi. Akan tetapi, badan hukum bertindak dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan orang-orang yang menjadi alat perlengkapannya (orgaan). Alat perlengkapan (orgaan) terdiri atas manusia pribadi. Masalahnya adalah bagaimana cara membedakan antara manusia pribadi yang mewakili badan hukum dan manusia pribadi yang mewakili dirinya sendiri. Bagaimana cara mempertanggungjawabkan badan hukum itu dalam lalu lintas hukum jika dia melakukan perbuatan melawan hukum.
Untuk memecahkan masalah tersebut, terlebih dahulu perlu dikemukakan berbagai teori mengenai badan hukum. Ada tiga macam teori mengenai badan hukum, yaitu:
a.    Fictie theorie (teori anggapan);
b.   Orgaan theorie (teori perlengkapan);
c.    Yuridische realiteits theorie (teori kenyataan yuridis).
Ketiga macam teori tesebut akan dijelaskan satu per satu berikut ini :
a.    Fictie theorie (teori anggapan)
Menurut teori fiksi yang dipelopori oleh von Savigny, badan hukum itu dianggap sebagai badan pribadi yang bersifat fiktif, terpisah dari manusia pribadi yang menjadi pengurusnya. Oleh karena itu, perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurusnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan badan hukum, tetapi perbuatan orang lain yang dipertanggungjawabkan kepada badan hukum itu.
Atas dasar ini, badan hukum itu tidak berbuat secara langsung, tetapi melalui perbuatan orang lain, yaitu pengurusnya. Pengurus tersebut adalah orang yang bertindak atas kuasa dari badan hukum. Jadi, perbuatan pengurus dipertanggungjawabkan kepada badan hukum. Segala perbuatan yang dilakukan oleh pengurus, pengurus bertindak untuk dan atas nama badan hukum yang sifatnya fiktif.
Berdasar pada teori fiksi ini, badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum dapat digugat tidak berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt, tetapi berdasar pada Pasal1367 KUHPdt. Jika mengikuti teori fiksi ini, orang dihadapkan pada keadaan yang bertentangan dengan kenyataan. Kenyataan bahwa semua orang yang melakukan perbuatan hukum dapat digugat melalui Pasal 1365 KUHPdt.

b.   Orgaan theorie (teori perlengkapan)
Menurut teori perlengkapan yang dipelopori von Glerke, badan hukum itu sama dengan manusia pribadi, dapat melakukan perbuatan hukum. Jika badan hukum melakukan perbuatan melawan hukum, badan hukum itu dapat dipertanggungjawabkan. Bertindaknya badan hukum itu melalui perlengkapan (orgaan). Oleh karena itu, badan hukum melalui perlengkapannya secara langsung bertanggung jawab atas semua perbuatan hukum yang dilakukannya.
Berdasar pada teori ini, badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum dapat digugat melalui Pasan 1365 KUHPdt. Akan tetapi, terhadap bawahan perlengkapan badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum, dapat dipertanggungjawabkan melalui Pasal 1367 KUHPdt.

c.    Juridische realiteit theorie (teori kenyataan yuridis)
Menurut teori relitas/kenyataan yuridis ini, badan hukum itu adalah kenyataan yuridis yang dibentuk dan diakui sama seperti manusia pribadi. jadi, badan hukum itu dapat dipertanggungjawabkan dalam setiap perbuatan hukum yang diatur dalam undang-undang. Jika badan hukum melakukan perbuatan melawan hukum, dia dapat digugat berdasar pada Pasal 1365 KUHPdt.
Badan hukum bertanggung jawab secara langsung terhadap setiap perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Setiap badan hukum memiliki organ badan hukum yang bertindak  atas nama dan untuk kepentingan badan hukum sesuai dengan ketentuan undang-undang dan yang dicantumkan dalam anggaran dasar pendirian badan hukum.
Jika organ yang mewakili badan hukum itu sudah ditentukan dalam undang-undang dan dituangkan dalam anggaran dasar badan hukum, ini namanya bukn lagi teori, melainkan sudah merupakan aturan hukum yang bersifat memaksa. Jadi tidak diikuti, berarti melanggar hukum (undang-undang). Jadi, tidak dapat disebut teori yang berlaku secara umum tidak terikat dengan situasi dan kondisi setempat. Ketentuan undang-undang (termasuk anggaran dasar) hanya berlaku pada situasi dan kondisi tertentu dan terikat pada stu badan tertentu.
E. PERWAKILAN SUKARELA
1.   Konsep Perwakilan Sukarela
Menurut ketentuan Pasal 1354 KUH Perdata, jika seseorang dengan sukarela tanpa mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang lain itu, secara diam-diam dia mengikatkan dirinya untuk meneruskan dan menyelesaikan urusan tersebut, sampai orang yang diwakili kepentingannya itu dapat mengerjakan sendiri urusannya.
Figur hukum yang diatur dalam Pasal 1354 KUH Perdata ini disebut perwakilan sukarela (zaakwaameming). Penyelenggaraan urusan itu bersifat sukarela tanpa kuasa dari pihak berkepentingan. Urusan itu dilakukan secara sukarela dengan tujuan agar memperoleh kemanfaatan bagi pihak yang berkepentingan dan perbuatan tersebut diakui serta dibenarkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, ketentuan undang-undang tersebut menciptakan perikatan. Jadi, yang meciptakan perikatan itu bukanlah perbuatan orang, melainkan ketentuan undang-undang itu sendiri.
2. Unsur-unsur perwakilan sukarela
Berdasarkan ketentuan Pasal 1354 KUH Perdata terdapat beberapa unsur-unsur konsep perwakilan sukarela, diantaranya:
a.    Sukarela
Perbuatan yang dilakukan dengan sukarela yang artinya, kesadaran sendiri tanpa mengharapkan suatu apapun sebagai imbalannya.
b.   Tanpa Kuasa
Perbuatan yang dilakukan tanpa mendapatkan perintah (kuasa). Artinya, pihak wakil sukarela itu bertindak atas inisiatif sendiri tanpa adanya pesan, perintah ataupun kuasa dari pihak yang berkepentingan baik itu lisan ataupun secara tertulis.
c.    Mewakili urusan orang lain
Perbuatan dilakukan mewakili urusan orang lain. Artinya pihak wakil sukarela bertindak untuk kepentingan orang lain bukan kepentingan pribadinya. Urusan yang diwakilinya dapat berupa perbuatan hukum atau yang lainnya.
d.   Dengan atau tanpa pengetahuan
Perbuatan dilakukan dengan atau tanpa pengetahuan orang itu. Artinya, orang yang berkepentingan itu tidak mengetahui bahwa kepentingannya diurus oleh orang lain.
e.    Meneruskan dan menyelesaikan
Wakil sukarela wajib meneruskan dan menyelesaikan urusan itu. Artinya, sekali wakil sukarela mengurus urusan kepentingan orang lain, dia wajib meneruskan sampai urusannya selesai sehingga orang yang diurus dapat menikmati manfaatnya atau dapat mengurus sendiri segala sesuatu mengenai urusannya itu.
f. Bertindak menurut hukum
Wakil sukarela harus bertindak menurut hukum. Artinya, dalam mengurus kepentingan orang lain itu harus dilakukan berdasar pada kewajiban undang-undang atau bertindak tidak bertentangan dengan kehendak pihak yang berkepentingan itu.

2.   Kewajiban dan Hak Wakil Sukarela
Perikatan itu bersumber dari Undang-Undang, maka kewajiban dan Hak Wakil Sukarela juga ditetapkan dalam Undang-Undang. Kewajiban dan Hak tersebut adalah wakil sukarela wajib mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan yang diwakilinya itu sampai selesai dengan memberikan pertanggungjawabannya. Wakil sukarela mengurus kepentingan itu, menanggung segala beban biaya atau ongkos pengurusan kepentingan tersebut. Wakil sukarela yang mengurus kepentingan itu berhak memperoleh penggantian dari pihak yang berkepentingan atas segala pengeluaran perikatannya yang dibuat secara pribadi yang bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan (Pasal 1357 KUH Perdata).

3.   Kewajiban dan Hak Pihak Berkepentingan
Pihak berkepentingan wajib memenuhi perikatan yang dibuat oleh wakil sukarela atas namanya, membayar ganti kerugian atau pengeluaran yang telah dipenuhi oleh wakil sikarela (Pasal 1357 KUH Perdata). Pihak berkepentingan berhak atas keringanan pembayaran penggantian atau pengeluaran yang disebabkan oleh kesalahan/kelalaian wakil sukarela mengurus kepentingan berdasar pada pertimbangan peengadilan (Pasal 1357 ayat (2) KUH Perdata). Pihak berkepentingan berhak meminta pertanggungjawaban atas pengurusan kepentingan itu.
Dalam perikatan perwakilan tidak mengenal yang namanya upah, karena ini bersifaat sukarela. Undang-undang menentukan bahwa wakil sukarela yang mengurus kepentingan orang lain tanpa perintah, tidk berhak atas upah (Pasal 1358 KUH Perdata). Perikatan wakil sukarela sesuai dengan falsafah dasar negara Indonesia Pancasila. Perikatan jenis ini perlu dioper dalam hukum perdata nasional.
Ada beberapa perbedaan antara perikatan pemberian kuasa (lastgeving) dengan perikatan perwakilan sukarela (zaakwaarneming), yaitu sebagai berikut :
a.    Pada perwakilan sukarela, perikatan terjadi karena undang-undang, sedangakan pada pemberian kuasa, perikatan terjadi karena perjanjian.
b.      Pada perwakilan sukarela, perikatan tidak berhenti jika pihak yang berkepentingan meninggal dunia, sedangkan pada pemberian kuasa, perikatan berhenti jika pemberi kuasa meninggal.
c.       Pada perwakilan sukarela, tidak dikenal upah karena dilakukan dengan sukarela, sedangkan pada pemberian kuasa, penerima kuasa berhak atas upah karena diperjanjikan.
F. PEMBAYARAN TAK TERUTANG (onverschulddigde betaling)     
            Seseorang yang membayar tanpa adanya utang, berhak menuntut kembali apa yang telah dibayarkan. Dan yang menerima tanpa hak berkewajiban untuk mengembalikan. Hal ini sejalan dengan apa yang ada dalam Pasal 1359 KUH Perdata bahwa setiap pembayaran yang ditujukan untuk melunasi suatu hutang tetapi ternyata tidak ada hutang, pembayaran yang telah dilakukan itu dapat dituntut kembali. Pembayaran yang dilakukan itu bukanlah bersifat sukarela namun karena merasa ada kewajiban yang harus dipenuhi yaitu utang. Kekeliruan bukanlah syarat untuk menuntut pengembalian pembayaran yang tidak terutang. Oleh karena itu seseorang yang dengan sadar membayar tanpa adanya utang berhak menuntut pengembalian. Jika seseorang karena kekhilafan mengira bahwa ia berutang dan telah membayar utang tersebut, dapat menuntut kembali apa yang ia telah bayarkan. Hak untuk menuntut kepada kreditur hilang, jika surat pengakuan utang telah dimusnahkan setelah terjadinya pembayaran. Sekalipun demikian orang yang telah membayar berhak untuk menuntut pengembaliannya dari orang yang sebenarnya berutang (Pasal 1361 KUH Perdata).
Menurut Pasal 1362 KUH Perdata bahwa barang siapa dengan itikad buruk menerima sesuatu pembayaran tanpa hak harus mengembalikan hasil dan bunganya. Selain itu harus pula membayar ganti rugi jika nilai barangnya menjadi berkurang. Jika barangnya musnah di luar kesalahannya ia harus mengganti harga barangnya beserta biaya, kerugian dan bunga kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa barangnya tetap akan musnah sekalipun berada pada pihak yang berhak.
Barang siapa dengan itikad baik menerima pembayaran yang tidak terutang dan telah menjual barang tersebut maka ia hanya wajib membayar kembali harganya. Jika ia dengan itikad baik menghadiahkan barangnya kepada orang lain maka ia tidak wajib mengembalikan apapun. Dalam perikatan pembayaran tanpa utang, tuntutan kembali atas pembayaran yang telah dilakukan itu disebut conditio indebiti. Tuntutan semacam ini dapat dilakukn terhadap badan-badan pemerintah, misalnya pembayaran pajak yang kemudian ternyata tidak ada pajak, maka bisa dilakukan meminta kembali pembayaran tersebut.
G. HAPUSNYA PERIKATAN
Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan. Kespeluh cara tersebut diuraikan satu demi satu berikut ini :
1.  Pembayaran
Yang dimaksud dengan pembayaran dalam hal ini tidak hanya meliputi penyerahan sejumlah uang, tetapi juga penyerahan suatu benda. Dalam hal objek perikatan adalah pembayaran uang dan penyerahan benda secara timbal balik, perikatan baru berakhir setelah pembayaran uang dan penyerahan benda.
2. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penitipan
Jika debitor telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantaraan notaries, kemudian kreditor menolak penawaran tersebut, atas penolakan kreditor itu kemudian debitor menitipkan pembayaran itu kepada panitera pengadilan negeri untuk disimpan. Dengan demikian, perikatan menjadi hapus ( Pasal 1404 KUH Perdata ). Supaya penawaran pembayaran itu sah perlu dipenuhi syarat-syarat :
a.    Dilakukan kepada kreditor atau kuasanya;
b. Dilakukan oleh debitor yang wenang membayar;
c.    Mengenai semua uang pokok, bunga, dan biaya yang telah ditetapkan;
d.   Waktu yang ditetapkan telah tiba;
e.  Syarat dimana utang dibuat telah terpenuhi;
f.    Penawaran pembayaran dilakukan di tempat yang telah ditetapkan atau ditempat yang telah disetujui; dan
g.   Penawaran pembayaran dilakukan oleh notaries atau juru sita disertai oleh dua orang saksi.
3. Pembaruan Utang ( Novasi )
Pembaruan utang terjadi dengan cara mengganti utang lama dengan utang baru, debitor lama dengan debitor baru. Dalam hal utang lama diganti dengan utang baru, terjadilah penggantian objek perikatan, yang disebut “ Novasi Objektif”. Disini utang lama lenyap. Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subyeknya), maka jika debitornya yang diganti, pembaruan ini disebut “Novasi Subjektif Pasif” jika kreditornya yang diganti, pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap.
4. Perjumpaan Utang (kompensasi)
Dikatakan ada penjumpaan utang apabila utang piutang debitor dan kreditor secara timbale balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan itu utang piutang lama lenyap. Supaya utang itu dapat diperjumpakan perlu dipenuhi syarat-syarat :
a.    Berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan dari jenis dan kualitas yang sama;
b.   Utang itu harus sudah dapat ditagih; dan
c. Utang itu seketika dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnnya (pasal 1427 KUH Perdata)
Setiap utang apapun sebabbnya dapat diperjumpakan, kecuali dalam hal berikut ini :
a.    Apabila dituntut pengembalian suatu benda yang secara melawan hukum dirampas dari pemiliknya, misalnya karena pencurian;
b.   Apabila dituntut pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
c.       Terhadap suatu utang yang bersumber pada tunjangan napkah yang telah dinyatakan tidak dapat disita (Pasal 1429 KUH Perdata) ;
d.      Utang-utang Negara berupa pajak tidak mungkin dilakukan perjumpaan utang (yurisprudensi); dan
e.       Utang utang yang timbul dari perikatan wajar tidak mungkin dilakukan perjumpaan hutang (yurisprudensi).
5. Pencampuran Utang
Menurut ketentuan Pasal 1436 KUH Perdata, Pencampuran utang itu terjadi apabila kedudukan kreditor dan debitor itu menjadi satu tangan. Pencampuran utang tersebut terjadi demi hukum. Pada pencampuran hutang ini utang piutang menjadi lenyap.
6. Pembebasan Utang
Pembebasan utang dapat terjadi apabila kreditor dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitor dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perikatan dengan pembebasan ini perikatan menjadi lenyap atau hapus.
Menurut ketentuan pasal 1438 KUH Perdata, pembebasan suatu hutang tidak boleh didasarkan pada persangkaan, tetapi harus di buktikan. Pasal 1439 KUH Perdata menyatakan bahwa pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditor kepada debitor merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
7. Musnahnya benda yang terutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH Perdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdangkan, atau hilang bukan karena kesalahan debitor, dan sebelum dia lalai , menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan; perikatan menjadi hapus (lenyap) akan tetapi, bagi mereka yang memperoleh benda itu secara tidak sah, misalnya, kerena pencurian, maka musnah atau hilangnya benda itu tidak membebaskan debitor (orang yang mencuri itu) untuk mengganti harganya.
Meskipun debitor lalai menyerahkna benda itu dia juga akan bebas dari perikatan itu apabila dapat membuktikan bahwa musnah atau hilangnya benda itu disebabkan oleh suatu keadaan di luar kekuasaannya dan benda itu juga akan mengalami peristiwa yang sama measkipun sudah berada di tangn kreditor.
8.  Karena pembatalan
Menurut ketentuan pasala 1320 KUH Perdata, apabila suatu perikatan tidak memenuhi syarat-syarat subjektif. Artinya, salah satu pihak belum dewasa atau tidak wenang melakukan perbuatan hukum, maka perikatan itu tidak batal, tetapi “dapat dibatalkan” (vernietigbaar, voidable). Perikatan yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilan negeri melalui dua cara, yaitu :
a.    Dengan cara aktif
Yaitu menuntut pembatalan melalui pengadilan negeri dengan cara mengajukan gugatan.
b. Dengan cara pembelaan
Yaitu menunggu sampai digugat di muka pengadilan negeri untuk memenuhi perikatan dan baru diajukan alasan tentang kekurangan perikatan itu.
Untuk pembatalan secara aktif, Undang-undang memberikan pembatasan waktu, yaitu lima tahun (pasal 1445 KUH Perdata), sedangkan untuk pembatalan sebagai pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu.
9. Berlaku Syarat Batal
Syarat batal yang dimaksud disini adalah ketentuan isis perikatan yang disetujui oleh kedua pihak, syarat tersebut apabila dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal(nietig, void) sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut “syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaki surut, yaitu sejak perikatan itu dibuat. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perkatan.
10. Lampau Waktu (Daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah alat untuk memperolah sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang. Atas dasar ketentuan pasal tersebut dapat diketahui ada dua macam lampau waktu yaitu :
a.       Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu benda disebut acquisitieve verjaring.
b.      Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan disebut extinctieve verjaring.
Menurut ketentuan pasal 1963 KUH Perdata, untuk memperoleh hak milik atas suatu benda berdasar pada daluarsa (lampau waktu) harus dipenuhi unsur-unsur adanya iktkad baik; ada alas hak yang sah; menguasai benda it uterus-menerus selama dua puluh tahu tanpa ada yang mengggugat, jika tanpa alas hak, menguasai benda itu secara terus-menerus selama 30 tahun tanpa ada yang mengugat.
Pasal 1967 KUH perdata menentukan bahwa segala tuntutan, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan hapus karena daluarsa, dengan lewat waktu 30 tahun. Sedangkan orang yang menunujukkan adanya daluarsa itu tidak usah menunjukkan alas hak dan tidak dapat diajukan terhadapnya tangkisan yang berdasar pada iktikad buruk.    
Benda bergerak yang bukan bunga atau piuatang yang bukan atas tunjuk (niet aan toonder), siapa yang menguaisainya dianggap sebagai pemiliknya. Walaupun demikian, jika ada orang yang kehilangan atau kecurian suatu benda, dalam jangka waktu 3 tahun terhitung sejak hari hilangnya atau dicurigainya benda itu, dia dapat menuntut kembali bendanya yang hilang atau dicuri itu sebagai miliknya dari tangan siapapun yang menuasainya. Pemegang benda terakhir dapat menuntut pada orang terakhir yang menyerahkan atau menjual kepadanya suatu ganti kerugian (pasal 1977 KUH Perdata).
Daluarsa tidak berjalan atau tertangguh dalam hal-hal seperti tersebut berikut ini:
a.  Terhadap anak yang belum dewasa, orang di bawah pengampuan;
b.   Terhadap istri selam perkawinan (ketentuan ini tidak berlaku lagi)
c.    Terhadap piutang yang digantungkan pada suatu syarat selama syarat itu tidak terpenuhi; dan
d.   Terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu warisan dengan hak istimewa untuk membuat pendaftaran harta peninggalan mengenai hutang-piutangnya (pasal 1987-1991 KUH Perdata).















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.   Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor.
2.   Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alasan
3.   Keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa ebitor tidak dapat disalahkan karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitor.
4.   Ganti kerugian hanya berupa uang bukan barang, kecuali jika diperjanjikan lain. Untuk melindungi debitor dari tuntutan sewenang-wenang dari pihak kreditor, Undang-Undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian yang wajib dibayar oleh debitor sebagai akibat dari kelalainnya (wanprestasi)
5.   Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi peristiwa (Pasal 1253 KUHP dt).
6.   Figur hukum yang diatur dalam Pasal 1354 KUH Perdata ini disebut perwakilan sukarela (zaakwaameming). Penyelenggaraan urusan itu bersifat sukarela tanpa kuasa dari pihak berkepentingan. Urusan itu dilakukan secara sukarela dengan tujuan agar memperoleh kemanfaatan bagi pihak yang berkepentingan dan perbuatan tersebut diakui serta dibenarkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, ketentuan undang-undang tersebut menciptakan perikatan. Jadi, yang meciptakan perikatan itu bukanlah perbuatan orang, melainkan ketentuan undang-undang itu sendiri.
7.   Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan. Yaitu : pembayaran, penawaran, pembayaran tunai diikuti penitipan, pembayaran utang, perjumpaan utang, pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya benda yang terutang, karena pembatalan, berlaku syarat batal dan lampau batas.
B. Saran
            Dari penjelasan yang telah kami paparkan sebelumnya terdapat sebuah kelebihan dan kekurangannya masing-masing, namun untuk meningkatkan pemaparan di atas adapun saran-saran untuk menunjang sebuah peningkatan dari materi maupun penerapannya.
1. Alangkah baiknya jika hukum perikatan ini tidak hanya dijadikan sebagai materi yang membantu proses pemahaman mahasiswa saja namun dapat digunakan langsung atau dipraktekan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari atau dalam proses pembelajaran.
2. Sebaiknya pemerintah dan masyakarat dapat membangun kerja sama yang baik dalam mengarahkan proses berlangsungnya perikatan yang ada di dalam kehidupan sehari-hari.
3. Alangkah baiknya jika setiap individu dapat menerapkan dan mengerti benar mengenai materi yang sudah kami paparkan di atas.







DAFTAR PUSTAKA

Djamali, Abdul. 1983. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.
Setiawan. 1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.
Tirtodiningrat. 1966. Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Jakarta: Gunung Sahari 84.
Abdul Kadir, Muhammad. 1990. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Subekti. 1954. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Interma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar